Notification

×

Iklan

Iklan

Bebas Rokok Setelah Ramadhan, Mungkinkah?

12 Juni 2018 | 18:24 WIB Last Updated 2021-05-15T03:53:37Z


Ditulis Oleh: Hardisman (Ketua Program Pascasarjana Kesmas Fakuktas Kedokteran Unand)




Asap mengepul dari hembusan dan terselip sebatang rokok di jari tangan adalah pemandangan yang lazim kita didapatkan sehar-hari di lingkungan kita. Sebuah perilaku yang lumrah kita saksikan pada orang-orang yang duduk di warung-warung kopi, rumah makan, di jalanan atau bahkan di kantor-kantor. Kenyataan itu menunjukkan seolah-olah merokok adalah budaya jati diri bangsa. Bahkan, tradisi Minangkabau “Mamaggia baralek” mengundang syukuran pernikahan yang secara tradisi adat menggunakan siriah ada pula yang sudah menggantinya dengan rokok.

Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia Inilah sebuah pergeseran perilaku yang paradoks. Tatkala Bangsa Eropa dan Amerika yang dulunya menjadikan rokok sebagai simbol modernitas dan maskulinitas (macho), sekarang justru sudah meninggalkannya. Perubahan perilaku secara sosial dan perlahan didorong dengan kebijakan publik kearah itu. Hal ini dilakukan sejak diumumkan ke publik hasil penelitian beskala besar Framingham Cohort Heart Study-I tahun 1970, yang juga termasuk dampak negatif yang besar dari merokok.

Bahaya merokok saat ini sudah diketahui oleh masyarakat luas. Rokok mengandung zat-zat kimia berbahaya yang dihisap ke dalam paru kemudian langsung diserap ke dalam darah. Nikotin dan karbonmonoksida sebagai zat utama dapat menggangu pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah, mempercepat kekakuan pembuluh darah dan  merusak sel-sel paru. Melalui mekanesme tersebut, rokok beresiko besar terhadap penyakit jantung koroner, stroke, impotensi, gangguan pertumbuhan janin, dan kanker.

Atas kesadaran bahwa tembakau terutama rokok menyebabkan dampak negatif kesehatan secara global, sejak tahun 1987 yang diprakarsai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), tanggal 31 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari tanpa tembakau sedunia, yang secara umum dapat juga disebut sebagai Hari bebas rokok. Namun ironisnya, meskipun telah diyakini mempunyai dampak negatif yang hebat, kenyataannya industri tembakau dan rokok justru semakin subur di negara-negara berkembang terutama Indonesia.

Tahun ini bertepatan dengan Bulan Ramadhan, yang merupakan bulan kembali ke fitrah kebaikan,  seyogyanya menjadi momen instropeksi terhadap dampak negatif rokok.  Bagi perokok perlu penghayatan bahaya rokok bagi dirinya dan orang-orang disekitarnya, sehingga menjadi dasar langkah berhenti merokok. 

Penghayatan itu diikuti dengan niat dan kebulatan tekat. Bukahkah pada Bulan Ramadhan di siang harinya, para perokok dengan kewajiban agama, ia mampu menahan dirinya untuk tidak merokok. Maka jika niat dan tekad yang sama dilakukan di malam hari dan bulan-bulan selanjutnya, tentulah ini bisa dilakukan. Bulan ini juga sedapatnya pula menjadi momen bagi setiap pemangku kepentingan untuk menerapkan dengan konsisten semua regulasi terkait dengan perlindungan kesehatan terhadap bahaya rokok.

Menakar Untung Rugi Merokok Penataan perilaku merokok di Indonesia tidaklah sederhana yang dibayangkan. Pada aspek individu, adanya faktor aditif (kecanduan) yang sebagian besar perokok dewasa di Indonesia sudah merokok sejak usia remajanya. Lebih dari 65% laki-laki remaja dan dewasa di Indonesia dikategorikan sebagai perokok aktif. Maka dengan penduduk Indonesia hampir 250 juta, maka diestimasi lebih dari 50 juta orang di Indonesia adalah perokok. Jumlah perokok yang cukup tinggi juga beriringan dengan tingginya konsumsi rokok  hingga lebih 500 juta batang perhari, atau mencapai 200 milyar batang pertahun. Artinya, setiap penduduk di Indonesia menjadi perokok aktif ataupun pasif rata-rata 2 batang perhari.

Tingginya jumlah perokok di Indonesia, menjadikan negara ini sebagai pasar yang baik bagi berbagai perusahaan rokok multi nasional. Betapa tidak, dengan jumlah perokok lebih 50 juta orang maka ada omzet penjualan rokok lebih 750 milyar perhari di negara ini dan mencapai 275 triliun pertahun. Perusahan-perusahaan rokok tentu melihat dari aspek bisnis berusaha mempertahankan bisnisnya di negara ini. Sehingga tidaklah mengherankan adanya lobi terkait regulasi dari industri rokok, dengan dalih sebagai penopang ekonomi rakyat dan devisa negara. 

Pada aspek ekonomi, industri rokok memang terlihat telah menjadi penopang kehidupan jutaan penduduk, mulai dari pertanian tembakau, industri kretek rumah tangga, buruh perusahaan rokok, dan pedagang yang menggantungkan dirinya dengan penjualan rokok. Keuntungan ekonomi ini sangat kongrit yang dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Sehingga berdasarkan kenyataan itu, regulasi terhadap pembatasan industi rokok dan perilaku merokok tidak tegas dan sulit diwujudkan.

Negara secara langsung juga mencatat pendapatan dari cukai rokok yang sangat besar dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan penjualan rokok. Badan Pusan Statistik menyebutkan bahwa penerimaan negara mencapai 43,5 triliun pertahun pada tahun 2007 dan 138 triliun tahun 2016 dari cukai rokok. Penerimaan negara ini mencapai 97% dari dari semua penerimaan cukai atau 9% dari total pendapatan negara.

Namun, dibalik keuntungan ekonomi tersebut, prevalensi penyakit terkait dengan rokok sangat tinggi di Indonesia. Berbagai penyakit kronis degeneratif menjadi penyakit pembunuh utama di Indonesia, seperti stroke, hipertensi, penyakit jantung koroner dan penyalit paru obstruktif menahun. Konsumsi rokok berperan penting sebagai faktor risiko utama penyakit-penyakit tersebut.

Jumlah absolut ataupun proporsi penyakit-penyakit ini meningkat dari tahun ke tahun. Ibu hamil, bayi, dan anak-anak banyak yang menjadi perokok pasif juga menderita berbagai penyakit saluran nafas dan gangguan pertumbuhan. Dengan melakukan analisis pembiayaan ekonomi kesehatan secara makro, semua kerugian ekonomi baik langsung dan tidak langsung penyakit akibat rokok jauh lebih besar dari keuntungan ekonomi yang didapatkan. Kerugian langsung dan tidak langsung akibat rokok setara 50% pendapatan negara, atau mencapai 700 triliun pertahun. Biaya ini ditanggung oleh negara ataupun oleh masyarakat, namun tidak dirasakan sebagai kerugian akibat rokok.

Bebas Rokok Gerakan Bersama Melalui momen peringatan hari anti tembakau sedunia yang bertepatan dengan Ramadhan pada tahun ini, seyogyanya menjadikan setiap mukmin yang berpuasa dan mendirikan Ramadhan untuk beperilaku merenungkan kembali bahaya perilaku merokoknya. Dari segala sudut pandang, merokok tidak didapatkan manfaatnya, selain dari kesenangan sementara. Ramadhan sejatinya harus menghantarkan seseorang menghantarkan mukmin menjadi orang yang taqwa. Orang taqwa adalah mereka yang dengan imannya melakukan ibadah dan semua amal kebaikan dan peduli pada sesama (QS Al-Baqarah:2-3).

Kepedulian orang yang bertaqwa mempunyai sikap sikap wara dan iffah yang tidak hanya menjaga diri dari segala yang jelas haramnya, tapi juga menjaga dari yang tidak berguna.

Merokok merupakan perbuatan yang jauh dari sikap taqwa itu. Telah diakui bahwa rokok membawa kepada keburukan, yang pada bungkusnya sudah dituliskan Merokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin dan  diubah dengan Merokok membunuhmu yang disertai dengan gambar yang mengerikan. Jika direnungkan dengan sedikit lebih dalam akan disadari bahwa merokok adalah perbuatan yang mendekatkan diri pada kebinasaan, dan Islam dengan tegas melarang menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan itu (QS Al-Baqarah:194-195). Oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 2009 telah memfatwakan haram merokok bagi anak-anak dan ibu hamil atau dilakukan di tempat umum.

Momen Ramadhan juga menjadi momen penting untuk menerapkan bagi pemangku kebijkan terhadap aturan terkait tentang pembatas rokok, dan momen mulai untuk mematuhinya bagi para perokok. Ini adalah langkah awal yang minimal untuk bisa melindungi keluarga dan orang sekitar.

Secara nasional, telah ada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat aditif berupa produk tembakau bagi kesehatan (sebagai perubahan dari PP sebelumnya, no.81/1999, PP 38/2000, dan 19/2003 tentang Pengamanan rokok bagi kesehatan), yang telah mengatur aspek penjualan rokok, iklan, serta Kawasan Tanpa Rokok (KTR) untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok.

Implementasi KTR di Sumatera Barat juga telah diatur dalam Perda No.8 tahun 2012 yang telah menetapkan kewajiban KTR pada fasilitas pelayanan kesehatan, institusi pendidikan,  taman bermain, tempat ibadah, transportasi umum, tempat kerja dan tempat-tempat umum lainnya. Peraturan yang sama juga dikuatkan dengan beberapa Perda terkait di Kabupaten Kota , misalnya Perda nomor 14 tahun 2012 di Kota Padang dan Perda nomor 4 tahun 2014 sebagai perubahan Perda nomor 8 tahun 2009 di Padang Panjang. Namun saat ini implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.

Langkah kongrit yang harus dan bisa dilakukan adalah menerapkan secara konskuen regulasi KTR dan peraturan terkait rokok lainnya bagi pemerintah terkait, termasuk dengan penerapan sangsinya.

Bagi perokok adalah mematuhi segala aturan terkait, dengan kesadaran untuk melindungi orang-orang sekitar. Perokok harus menyadari dampak negatif rokok bagi dirinya, anak dan keluarganya sebagai perwujudan kepedulian dan kasih sayang yang merupakan cerminan dari orang yang bertaqwa dengan sikap iffah dan wara. Dengan niat dan kebulatan tekad, ia akan berhasil   mengurangi dan berhenti merokok. InsyaAllah.

PILKADA 50 KOTA




×
Kaba Nan Baru Update