Notification

×

Iklan

Iklan

Bakajang, Tradisi Adat Di Limapuluh Koto

14 Juli 2016 | 14:06 WIB Last Updated 2016-07-14T07:06:47Z

Sebagian besar masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota mungkin sudah sering mendengar tentang salah satu tradisi unik yang dilakukan setiap memasuki hari raya Idul Fitri oleh masyarakat Nagari Gunuang Malintang  Kecamatan Pangkalan ini. Namun bagi yang belum pernah mendengarnya, akan diuraikan kembali tentang Alek Bakajang Gunuang Malintang yang tidak hanya sekedar alek biasa ini. 

Menurut bahasa melayu kuno kajang berarti perhu/sampan, dan kajang ini digunakan sebagai alat jalang-manjalang mengarungi dan melintasi Sungai Batang Mahat untuk silaturahmi yang dilaksanakan setelah Hari Raya Idul Fitri dengan tujuan meningkatkan silaturahmi antara anak kemenakan 4 (empat) suku yang ada di jorong nagari Gunuang Malintang tersebut. Adapun keempat suku tersebut  sebagai berikut:
  1. Suku Domo Jorong Koto lamo: Datuak Bandaro ,
  2. Suku Melayu Jorong Batu Balah: Datuak Sati,
  3. Suku Piliang Jorong Boncah: Datuak Paduko Rajo
  4. Suku Pagar Cancang Jorong Koto Masjid: Datuak Gindo Simarajo), dan ditambah
  5. Petinggi adat Nagari (Tungku Tigo Sajarangan)  serta bundo kanduang dengan Pemerintah Kabupaten di Istano (surau/balai) nagari Gunuag Malintang.
Masing-masing Datuak tersebut mempunyai Istano (Surau yang dihias), begitu juga dengan Pemerintahan nagari. Dan selama 5 (lima) hari berturut-turut keempat suku tersebut bersilaturahmi ke setiap Istano Datuak-datuak tersebut. Misalnya, hari pertama yang berlaku sebagai tuan rumah adalah Suku Domo, maka ketiga suku lainnya (Suku Melayu Jorong Batu Balah: Datuak Sati, Suku Piliang Jorong Boncah: Datuak Paduko Rajo, Suku Pagar Cancang Jorong Koto Masjid: Datuak Gindo Simarajo) akan bersilaturahmi ke Istano Dt. Bandarao, begitu juga sebaliknya dihari ke dua sampai hari ke empat. Dan pada hari kelima, keempat suku akan bersilaturahmi ke Istano Pemerintahan Nagari. 

Secara sepintas kita melihat alek bakajang ini hanya sebagai silaturahmi biasa. Namun jika dilihat lebih dalam lagi, para pelaku alek bakajang ini adalah para pemuda, niniak mamak, alim ulama, pemerintah nagari, tokoh masyarakat, PKK/Bundo Kanduang, para perantau, dan seluruh aspek masyarakat dari 4 (empat) suku berbeda yang ada di Gunuang Malintang. Dalam perbedaan, mereka masih bisa hidup saling bahu-membahu, mulai dari yang tua sampai ke yang muda, para petinggi dan rakyatnya, kaum laki-laki dan perempuannya, tentunya dalam keadaan rukun dan damai. 

Disitulah letak tidak biasanya Alek bakajang Nagari Gunuang Malintang ini. Disaat perkembangan zaman mulai menggiring masyarakat Minang lainnya menjadi manusia yang individualis, Masyarakat Minang yang ada di Nagari Gunuang Malintang Kecamatan Pangkalan Koto Baru ini justru masih sanggup menjaga nilai-nilai luhur nenek moyang orang Minang Kabau dulunya dan bahkan mewarisinya kepada calon generasi penerusnya. 

Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, ketika menghadiri prosesi kegiatan Bakajang dan Manjalang Mamak di Gunuangmalintang, Sabtu-Minggu (9-10/6) mengatakan, tradisi Bakajang mempunyai nilai budaya yang tinggi, sehingga berpotensi dikembangkan untuk pariwisata budaya. “Bakajang harus tetap dilestarikan dan diwariskan ke setiap generasi,” sebutnya. Jika ditelisik dari perjalanan sejarah serta bahasa, kata Ferizal, Bakajang memiliki dua pengertian, yakni perahu dan pembaharuan. Perahu, katanya, merupakan alat transportasi nenek moyang warga Gunuangmalintang yang tinggal di pinggiran Batang Maek, pada zaman dulu. Sedangkan, pembaharuan, diartikan sebagai kegiatan memperbaharui silaturrahmi antara mamak dengan kemenakan serta anak nagari, yang digelar setiap awal bulan Syawal atau setelah Hari Raya Idul Fitri. Wabup Ferizal yang hadir bersama Kepala Dinas Pariwisata, Novian Burano dan Camat Pangkalan, Andriyasmen, tampak antusias mengikuti setiap prosesi Bakajang.

Di aliran Batang Maek, sebanyak lima buah perahu sudah disulap para pemuda di empat Jorong menjadi kapal berkuran besar. Kapal-kapal tersebut dirancang berbagai bentuk, menyerupai kapal veri. Guna merangkai kapal-kapal itu, para pemuda menyebut, menghabiskan biaya hingga mencapai Rp12-15 juta perunitnya.
Ketua KAN Gunuang Malintang, Dt Paduko Rajo, mengatakan, Bakajang merupakan salah satu tradisi silaturrahmi yang dilakukan masyarakat Gunuangmalintang menggunakan perahu/sampan hias. Alek ini biasanya dilakukan setelah hari raya Idul Fitri, dengan tujuan meningkatkan silaturrahmi diantara anak kemenakan 4 suku di Batang Mahat.
Acara alek Bakajang, merupakan warisan nenek moyang yang terus digalakkan masyarakat hingga sekarang. “Bakajang berarti ‘memperbaharui’. Dulu, pelaksanaan manjalang sanak saudaro ini, dilakukan memakai sampan atau perahu. Ini lah yang dilakukan para pendahulu, yang kini masih menjadi tradisi di nagari kami,” paparnya.

Adapun Batang Maek yang melintasi Nagari Gunuangmalintang, lanjutnya, pada zaman dahulu merupakan salah satu akses alternatif yang digunakan masyarakat, mengingat pada waktu itu belum ada akses jalan sebagai jalur penghubung antara satu daerah ke daerah lain. “Biasanya, alek Bakajang digelar 5 hari, dimulai hari ke-4 Bulan Syawal,” tutur Dt Paduko Rajo. (***)

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update