Sebagian besar masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota mungkin sudah sering
mendengar tentang salah satu tradisi unik yang dilakukan setiap
memasuki hari raya Idul Fitri oleh masyarakat Nagari Gunuang Malintang
Kecamatan Pangkalan ini. Namun bagi yang belum pernah mendengarnya,
akan diuraikan kembali tentang Alek Bakajang Gunuang Malintang yang
tidak hanya sekedar alek biasa ini.
Menurut bahasa melayu kuno kajang berarti perhu/sampan, dan kajang ini
digunakan sebagai alat jalang-manjalang mengarungi dan melintasi Sungai
Batang Mahat untuk silaturahmi yang dilaksanakan setelah Hari Raya Idul
Fitri dengan tujuan meningkatkan silaturahmi antara anak kemenakan 4
(empat) suku yang ada di jorong nagari Gunuang Malintang tersebut.
Adapun keempat suku tersebut sebagai berikut:
- Suku Domo Jorong Koto lamo: Datuak Bandaro ,
- Suku Melayu Jorong Batu Balah: Datuak Sati,
- Suku Piliang Jorong Boncah: Datuak Paduko Rajo
- Suku Pagar Cancang Jorong Koto Masjid: Datuak Gindo Simarajo), dan ditambah
- Petinggi adat Nagari (Tungku Tigo Sajarangan) serta bundo kanduang dengan Pemerintah Kabupaten di Istano (surau/balai) nagari Gunuag Malintang.
Masing-masing Datuak tersebut mempunyai Istano (Surau yang dihias),
begitu juga dengan Pemerintahan nagari. Dan selama 5 (lima) hari
berturut-turut keempat suku tersebut bersilaturahmi ke setiap Istano
Datuak-datuak tersebut. Misalnya, hari pertama yang berlaku sebagai tuan
rumah adalah Suku Domo, maka ketiga suku lainnya (Suku Melayu Jorong
Batu Balah: Datuak Sati, Suku Piliang Jorong Boncah: Datuak Paduko Rajo,
Suku Pagar Cancang Jorong Koto Masjid: Datuak Gindo Simarajo) akan
bersilaturahmi ke Istano Dt. Bandarao, begitu juga sebaliknya dihari ke
dua sampai hari ke empat. Dan pada hari kelima, keempat suku akan
bersilaturahmi ke Istano Pemerintahan Nagari.
Secara sepintas kita melihat alek bakajang ini hanya sebagai silaturahmi
biasa. Namun jika dilihat lebih dalam lagi, para pelaku alek bakajang
ini adalah para pemuda, niniak mamak, alim ulama, pemerintah nagari,
tokoh masyarakat, PKK/Bundo Kanduang, para perantau, dan seluruh aspek
masyarakat dari 4 (empat) suku berbeda yang ada di Gunuang Malintang.
Dalam perbedaan, mereka masih bisa hidup saling bahu-membahu, mulai dari
yang tua sampai ke yang muda, para petinggi dan rakyatnya, kaum
laki-laki dan perempuannya, tentunya dalam keadaan rukun dan damai.
Disitulah letak tidak biasanya Alek bakajang Nagari Gunuang Malintang
ini. Disaat perkembangan zaman mulai menggiring masyarakat Minang
lainnya menjadi manusia yang individualis, Masyarakat Minang yang ada di
Nagari Gunuang Malintang Kecamatan Pangkalan Koto Baru ini justru masih
sanggup menjaga nilai-nilai luhur nenek moyang orang Minang Kabau
dulunya dan bahkan mewarisinya kepada calon generasi penerusnya.
Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, ketika menghadiri
prosesi kegiatan Bakajang dan Manjalang Mamak di Gunuangmalintang,
Sabtu-Minggu (9-10/6) mengatakan, tradisi Bakajang mempunyai nilai
budaya yang tinggi, sehingga berpotensi dikembangkan untuk pariwisata
budaya. “Bakajang harus tetap dilestarikan dan diwariskan ke setiap
generasi,” sebutnya. Jika ditelisik dari perjalanan sejarah serta bahasa, kata Ferizal,
Bakajang memiliki dua pengertian, yakni perahu dan pembaharuan. Perahu,
katanya, merupakan alat transportasi nenek moyang warga Gunuangmalintang
yang tinggal di pinggiran Batang Maek, pada zaman dulu. Sedangkan, pembaharuan, diartikan sebagai kegiatan memperbaharui
silaturrahmi antara mamak dengan kemenakan serta anak nagari, yang
digelar setiap awal bulan Syawal atau setelah Hari Raya Idul Fitri.
Wabup Ferizal yang hadir bersama Kepala Dinas Pariwisata, Novian Burano
dan Camat Pangkalan, Andriyasmen, tampak antusias mengikuti setiap
prosesi Bakajang.
Di aliran Batang Maek, sebanyak lima buah perahu sudah disulap para
pemuda di empat Jorong menjadi kapal berkuran besar. Kapal-kapal
tersebut dirancang berbagai bentuk, menyerupai kapal veri. Guna
merangkai kapal-kapal itu, para pemuda menyebut, menghabiskan biaya
hingga mencapai Rp12-15 juta perunitnya.
Ketua KAN Gunuang Malintang, Dt Paduko Rajo, mengatakan, Bakajang
merupakan salah satu tradisi silaturrahmi yang dilakukan masyarakat
Gunuangmalintang menggunakan perahu/sampan hias. Alek ini biasanya
dilakukan setelah hari raya Idul Fitri, dengan tujuan meningkatkan
silaturrahmi diantara anak kemenakan 4 suku di Batang Mahat.
Acara alek Bakajang, merupakan warisan nenek moyang yang terus
digalakkan masyarakat hingga sekarang. “Bakajang berarti
‘memperbaharui’. Dulu, pelaksanaan manjalang sanak saudaro ini,
dilakukan memakai sampan atau perahu. Ini lah yang dilakukan para
pendahulu, yang kini masih menjadi tradisi di nagari kami,” paparnya.
Adapun Batang Maek yang melintasi Nagari Gunuangmalintang,
lanjutnya, pada zaman dahulu merupakan salah satu akses alternatif yang
digunakan masyarakat, mengingat pada waktu itu belum ada akses jalan
sebagai jalur penghubung antara satu daerah ke daerah lain. “Biasanya,
alek Bakajang digelar 5 hari, dimulai hari ke-4 Bulan Syawal,” tutur Dt
Paduko Rajo. (***)