Harryadin Mahardika
Kepala Program Magister Manajemen FEBUI
Tanpa berlama-lama, anggaran negara langsung dipangkas oleh Menteri Keuangan yang baru. Logika Bu Menteri sederhana, jika tidak bisa merealisasikan target pendapatan maka pangkaslah besaran pengeluaran.
Dia bergerak cepat dan tidak punya waktu untuk bergenit-genit menyalahkan pembuat target pendapatan negara yang tidak realistis itu.
Delusi Anggaran
Lewat kebijakan pangkas anggaran ini, Sri Mulyani mencoba mengobati penyakit delusional yang tengah melanda pemerintahan Jokowi. Pemerintah yang delusional memang bisa sangat berbahaya. Pertama, karena sering sengaja tidak mengindahkan data dan fakta di lapangan. Kedua, dan karena itu terpaksa terus berkreasi menciptakan kebijakan untuk menyangkal data dan fakta tersebut.
Bahwa pertumbuhan ekonomi kita terus melemah selama tiga tahun terakhir adalah fakta yang tidak bisa dinafikan oleh pemerintah. Kita sedang menuju angka psikologis pertumbuhan yang baru, yaitu di level empat koma sekian persen. Sebagai imbas dari pelemahan ekonomi tersebut, maka logikanya sulit mengharapkan pendapatan dari pajak bisa naik.
Meski tahu benar fakta dan kondisi megkhawatirkan tersebut, pemerintah selalu mengirimkan pesan ke publik bahwa kondisi masih baik-baik saja. Misalnya dengan menetapkan target penerimaan pajak yang tidak realistis (sehingga mustahil terealisasi). Ditambah lagi penggunaan framing yang kurang pas dalam mengkomunikasikan kebijakan, misalnya framingkebijakan tax amnesty yang dikomunikasikan sebagai cara untuk mengejar target realisasi pajak. Padahal tax amnesty punya tujuan yang lebih mulia daripada itu, yaitu memperbaiki fondasi sistem perpajakan yang terlanjur berat sebelah terhadap kepentingan pemodal besar.
Untunglah Sri Mulyani datang membawa gaya no nonsense-nya untuk menyadarkan bahwa selama ini kita hidup dalam delusi segelintir elit negeri. Perekonomian kita tengah genting, dan karenanya tidak bisa memberi ruang lagi pada pendekatan populis. Bu Menteri meneriakkan urgensi untuk memangkas anggaran secara drastis agar kita kembali realistis.
Ilusi Kinerja
Sebagai teknokrat tulen, Sri Mulyani memilih mengambil jalan paling singkat untuk menyelesaikan masalah. Ia memfokuskan pemangkasan anggaran di tiga hal yang menurutnya kurang produktif: konsinyering, perjalanan dinas dan pembangunan gedung (fasilitas). Totalnya Rp. 133 triliun, terdiri dari Rp. 65 triliun kepada Kementerian dan Lembaga dan Rp. 68,8 triliun anggaran transfer daerah.
Pro kontra kemudian muncul, terutama dari Kementerian, Lembaga dan Daerah yang terkena pemangkasan anggaran. Menteri Susi misalnya, senang sekali dengan pemangkasan ini karena punya kesempatan untuk membuktikan kementeriannya tetap efektif dan berprestasi meski anggaran dipangkas.
Namun ada juga yang pejabat yang secara bisik-bisik merasa khawatir kebijakan pangkas anggaran ini akan membuat kinerja instansi mereka menurun. Mereka mengklaim bahwa tiga pos tersebut penting. Tapi benarkah ketiganya berpengaruh signifikan terhadap kinerja? Atau jangan-jangan ada semacam ilusi yang membuat seolah-olah kualitas kinerja mengikuti jumlah anggaran, padahal sebenarnya tidak?
Konsinyering, perjalanan dinas dan fasilitas memang memiliki makna tersendiri bagi pegawai negeri di Indonesia. Ketiganya adalah pos-pos terfavorit seluruh pegawai negeri. Sayangnya belum ada studi resmi yang bisa menunjukkan apakah besaran anggaran ketiga pos tersebut mempengaruhi kualitas kinerja atau tidak.
Agar argumentasi artikel ini tetap berada pada koridor imiah, kita perlu meneruskan diskusi dengan menggunakan studi yang telah dilakukan di sektor swasta sebagai pembanding. Tujuannya sebagai validasi awal tentang ada atau tidaknya ilusi kinerja yang saya sampaikan diatas.
Mari kita mulai dengan melihat pos konsinyering. Konsinyering umumnya semacam rapat kerja yang biasanya dihadiri para pimpinan. Apakah dengan dikuranginya jumlah anggaran konsiyering (yang berarti akan semakin sedikit jumlah rapat yang bisa dilakukan bersama para pimpinan) dapat mengurangi kualitas kinerja sebuah instansi publik?
Untuk menjawabnya, mari kita lihat studi di organisasi swasta yang menguji hubungan antara frekuensi jumlah rapat dengan kinerja. Beberapai studi tentang ini memberikan hasil yang berbeda-beda sesuai dengan konteks dan situasi pasar dimana perusahaan-perusahaan tersebut berada.
Misalnya sebuah studi di Afrika Selatan oleh Collins Ntim dan Kofi Osei terhadap 169 perusahaan terbuka antara tahun 2002-2007. Hasil studi ini menunjukkan bahwa semakin sering suatu perusahaan melakukan rapat direksi, semakin bagus kinerja keuangan perusahaan tersebut. Hasil ini sepintas begitu intuitive, karena memang seharusnya demikianlah hubungan sebab-akibat yang terjadi. Semakin sering kita rapat, semakin intensif komunikasi antar tim dalam menjalankan berbagai aktivitas, sehingga semakin bagus kinerja perusahaan.
Namun dua studi lain, masing-masing di Inggris dan Amerika Serikat, memberikan hasil yang berbeda. Peter Hahn dan Meziane Lasfer meneliti 150 perusahaan terbuka di Inggris antara tahun 1998-2004, dan menemukan adanya korelasi negatif antara jumlah rapat direksi dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan. Studi ini membuktikan bahwa perusahaan yang tumbuh paling tinggi di Inggris pada periode tersebut adalah perusahaan yang paling sedikit melakukan rapat. Begitu juga saat Nikos Vafeas meneliti 307 perusahaan Amerika Serikat yang masuk dalam daftar Forbes antara tahun 1990-1994, dan menemukan hubungan terbalik antara jumlah rapat direksi dengan nilai saham perusahaan. Artinya semakin sering rapat, semakin rendah nilai saham perusahaan. Disebutkan salah satu faktor yang menyebabkan hasil yang counter-intuitive ini adalah karena semakin bagus sistem manajemen sebuah perusahaan, semakin jarang direksi perlu melakukan rapat.
Kontradiksi hasil dari ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa bukan kuantitas rapatlah yang penting, melainkan kualitas dari rapat itu sendiri. Dengan dipangkasnya anggaran konsinyering, maka rapat di Kementerian, Lembaga dan Daerah harus lebih berkualitas. Mereka juga harus meningkatkan kualitas sistem manajemen di masing-masing instansi agar tidak perlu rapat berulang-ulang untuk suatu hal. Terutama jangan lagi menjadi kebiasaan untuk mengakhiri sebuah kegiatan atau program dengan rapat konsinyering di luar kota. Pada banyak kasus, memang konsiyering efektif mempercepat selesainya kegiatan dan tercapainya target yang diharapkan. Namun, jangan lagi disalahgunakan untuk sekedar menjadi alasan untuk bisa ‘jalan-jalan’.
Pemangkasan berikutnya ada pada pos anggaran perjalanan dinas. Anggaran ini secara spesifik terkait dengan masalah koordinasi lapangan. Pejabat Kementerian, Lembaga dan Daerah memang sering harus melakukan perjalanan untuk melakukan koordinasi. Dengan dipangkasnya biaya perjalanan ini maka koordinasi akan semakin jarang dilakukan.
Apakah ini mempengaruhi kualitas kinerja?
Studi tentang hubungan antara frekuensi koordinasi dengan dengan kinerja banyak dilakukan di sektor swasta. Satu studi yang cukup komprehensif dilakukan oleh Jiekun Huang pada tahun 2011. Ia melakukan pengujian hubungan antara biaya koordinasi (yang terkait dengan jarak geografis antar lokasi pemegang saham) dengan nilai saham ribuan perusahaan yang terdaftar di NYSE, AMEX dan NASDAQ pada periode observasi antara 1980-2009.
Para pemegang saham biasa melakukan koordinasi antar mereka dengan saling mengunjungi satu sama lain. Biasanya untuk membahas isu-isu stratejik di perusahaan yang sahamnya sama-sama mereka kuasai. Hasil studi Jiekun Huang menunjukkan bahwa besaran biaya koordinasi berkorelasi negatif dengan nilai saham perusahaan. Artinya, semakin besar biaya koordinasi, semakin kecil nilai saham perusahaan. Semakin sering para investor saling bertemu satu sama lain, semakin turun nilai saham perusahaan yang mereka kuasai. Dalam konteks pemangkasan anggaran perjalanan dinas, hal ini memberikan indikasi bahwa frekuensi koordinasi tidak serta merta menjamin kinerja yang lebih baik.
Khusus untuk pos ini, sebenarnya kita memiliki substitusinya. Perjalanan dinas dalam rangka koordinasi bisa diganti dengan koordinasi via teknologi komunikasi. Substitusi ini sangat murah. Hanya saja, studi Sara Kiesler dan Jonathon Cummings dari MIT menemukan pola bahwa penggunaan teknologi komunikasi akan efektif jika hubungan antar pihak (lembaga atau personel) yang berkoordinasi telah terjalin dengan erat dan baik (kohesif) sebelumnya. Koordinasi via teknologi komunikasi tidak disarankan untuk koordinasi kegiatan baru, atau untuk koordinasi yang sifatnya transaksional tanpa ada lanjutan hubungan setelahnya.
Terakhir, bagaimana dengan fasilitas? Apakah fasilitas juga mempengaruhi kinerja?
Dari tiga pos yang akan dipangkas, fasilitas mungkin satu-satunya pos dimana beberapa studi secara konsisten menemukan hubungan yang positif antara fasilitas yang berkualitas dengan peningkatan kinerja. Jika dikaitkan dengan kondisi banyak gedung pemerintahan yang telah uzur dan tidak layak, maka hal ini bisa jadi ada benarnya. Karena itu, pos ini mesti lebih dipertimbangkan lagi untuk tidak dipangkas secara signifikan. Minimal, perbaikan fasilitas pelayanan publik harus tetap dilanjutkan.
Meminjam hasil dari temuan-temuan studi diatas serta kondisi aktual di lapangan, kita bisa secara umum mengatakan bahwa pemangkasan tiga pos anggaran yang dilakukan oleh Menteri Keuangan cenderung tidak berpengaruh langsung terhadap kualitas kinerja.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah ”what next”? Langkah Menteri Keuangan memangkas anggaran ini perlu diikuti oleh kebijakan follow up dari kementerian, lembaga dan daerah. Masing-masing harus mencari cara untuk meningkatkan kinerja dengan posisi anggaran yag lebih rendah.
Artinya, penghematan ini perlu menjadi program nasional yang tidak hanya bicara pemangkasan anggaran, tapi juga bicara aspek pengelolaan pemerintahan. Ini adalah hal paling mendesak bagi pemerintah dalam menyiapkan diri menghadapi kondisi perekonomian yang semakin tidak menentu.