Oleh : Rudy Al Fajri
Semua juga paham , sangat sulit untuk terlepas dari kecanduan rokok. Ribuan orang telah gagal dengan tekadnya untuk berhenti merokok, dan terpaksa berbalik dalam pelukan candu tembakau. Jika dikatakan kebijakan menaikan harga rokok berkali lipat, konon sampai Rp.50.000,-/bungkus untuk menekan jumlah angka perokok, secara ekonomi mungkin ada benarnya, tapi secara fisiologis dan psikologis belum tentu. Berhenti rokok bukan seperti berhenti minum coca cola. Begitu berniat langsung bisa, tapi rokok mengandung candu yang membelit.
Dengan fakta itu, bukan tak mungkin timbul dampak sosial baru yang negatif karena kebijakan itu. Mungkin banyak suami istri yang akan bertengkar gara-gara suami yang perokok tak mampu menahan keinginan merokoknya hingga terus nekad membelanjakan uangnya untuk rokok, akhirnya kondisi keuangan keluarga yang sudah sulit makin morat-marit. Bayangkan juga frustasinya jutaan remaja yang belum berpenghasilan namun sudah terlanjur jadi pecandu rokok, situasi itu akan menciptakan bibit kriminalitas baru dikalangan remaja. Minimal mereka yang tak bisa menahan diri akan nekad mencuri duit teman, duit orang tuanya atau menyelewengkan uang sekolah atau uang kuliah mereka demi sebungkus rokok.
Bayangkan juga, jika harga rokok sampai begitu tingginya maka rokok menjadi barang yang bernilai ekonomi tinggi. Kriminalitas baru bisa terpicu dan akan banyak pengangguran frustasi yang akan memilih berkarir menjadi maling rokok. Satu slof rokok bernilai Rp.500.000,- bayangkan....
Mobil-mobil ekspedisi yang penuh rokok akan menjadi incaran kelompok begal karena ada barang bernilai puluhan juta didalamnya tanpa pengawalan. Oknum-oknum Polantas nakal pun mungkin akan tergiur menaikan 'pungutan' pada sopir mobil ekspedisi rokok dalam sesi razia liar mereka.
Mobil-mobil ekspedisi yang penuh rokok akan menjadi incaran kelompok begal karena ada barang bernilai puluhan juta didalamnya tanpa pengawalan. Oknum-oknum Polantas nakal pun mungkin akan tergiur menaikan 'pungutan' pada sopir mobil ekspedisi rokok dalam sesi razia liar mereka.
Itu baru sedikit kemungkinan buruk yang bisa terjadi, mungkin masih banyak dampak rentetannya jika kita mau menganalisanya. Jika kebiijakan itu terlaksana, yang jadi korban tetap saja rakyat, walaupun dalihnya pemerintah demi melindung kesehatan rakyat. Kalau pemerintah mungkin masih untung, harga naik artinya cukai naik, penerimaan negara akan bertambah. Pengusaha rokok juga tidak bakalan rugi, paling kaget sebentar, habis itu mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian. Label konglomerat masih tetap milik mereka.
Kenapa mereka harus berlindung dibalik topeng "melindungi kesehatan rakyat", padahal ujungnya cuma untuk menambah pundi-pundi negara. Kreatiflah menggali pemasukan negara, itu emas Freeport di biarkan terus mengalir ke Amerika...dan kita cuma dapat limbahnya.
Ilustrasi: marulicenter