Published by Syadza Alifa
Di tengah hiruk pikuk pembahasan reshuffle kabinet di Indonesia, pembahasan mengenai Tax Amnesty masih hangat dibicarakan, terutama setelah pergantian Menteri Keuangan Indonesia. Tax Amnesty atau pengampunan pajak saat ini sedang didorong oleh pemerintah karena dianggap dapat meningkatkan pemasukan negara. Perpajakan memang menjadi sumber dana yang besar bagi pembangunan nasional di Indonesia, oleh sebab itu penerimaan pajak yang tinggi akan mempengaruhi pada pembangunan nasional.
Untuk menggali penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya-upaya nyata, serta diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Upaya-upaya tersebut dapat berupa intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan. Intensifikasi pajak dapat berupa peningkatan jumlah Wajib Pajak (WP) maupun peningkatan penerimaan pajak itu sendiri.
Upaya ekstensifikasi dapat berupa perluasan objek pajak yang selama ini belum tergarap. Untuk mengejar penerimaan pajak, perlu didukung situasi sosial ekonomi politik yang stabil, sehingga masyarakat juga bisa dengan sukarela membayar pajaknya. Pemerintah tentu diharapkan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan perpajakan yang bisa menarik minat masyarakat menjadi wajib pajak seperti sunset policy.
Demikian juga, salah satu kebijakan yang perlu dipertimbangkan adalah diberikannya tax amnesty atau pengampunan pajak. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan subyek pajak maupun obyek pajak. Subyek pajak dapat berupa kembalinya dana-dana yang berada di luar negeri, sedangkan dari sisi obyek pajak berupa penambahan jumlah wajib pajak.
Adanya Tax Amnesty didorong dari problem rendahnya penerimaan negara dari aspek pajak yang ada di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Namun rendahnya penerimaan pajak tidak sekadar dipicu oleh rendahnya rasio jumlah wajib pajak dengan jumlah penduduk, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor dominan lainnya seperti tingginya praktik penghindaran pajak (tax avoidance), pelarian pajak (tax evasion),moralitas pajak (tax morality), kesadaran pajak (tax compliance), kerumitan administrasi (administration complexity), kepercayaan pada institusi (institutional trust), dan kemampuan untuk menerapkan (capacity to implement).
Kebijakan Tax Amnesty ini mendapat sambutan baik dari Bank Indonesia karena adanya kebijakan ini berdampak positif terhadap pasar keuangan Indonesia di tengah pelemahan ekonomi global. Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardjojo menjelaskan, BI mengamati kondisi dunia cukup banyak berdampak terhadap ekonomi negara-negara berkembang, seperti Brexit. Ketika referendum di Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa, itu dampak kepada banyak negara guncangannya.
Menurut Agus, saat itu terjadi kondisi flight to quality. Kondisi tersebut menunjukkan banyak sekali investor yang beralih kepada negara-negara tertentu untuk mencari pengamanan yaitu ke Amerika Serikat atau Jepang. Sedangkan kondisi di Indonesia, pada awal hasil referendum di Inggris mengalami satu kondisi yang disebut sebagai risk off yaitu flight to quality.
Namun, pada saat ada pengumuman UU Pengampunan Pajak disahkan justru sangat berdampak positif. Dampak positifnya tersebut salah satunya masuknya dana asing ke Indonesia sampai 24 Juni mencapai ekuivalen Rp 97 triliun, padahal tahun lalu di periode yang sama hanya Rp 57 triliun.
Sambutan positif terhadap Tax Amnesty juga dikemukakan oleh Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada, yang mengatakan bahwa disahkannya RUU Pengampunan Pajak masih menjadi sentimen positif bagi mata uang rupiah kembali terapresiasi terhadap dolar AS. Kebijakan itu membuka peluang dana repatriasi di luar negeri akan masuk ke dalam negeri yang akhirnya dapat menjaga pertumbuhan ekonomi domestik.
Pelaku pasar menunggu realisasi UU Pengampunan Pajak, sehingga diharapkan adanya stimulus tambahan bagi Indonesia. Dengan begitu, tren penguatan rupiah bersifat jangka panjang. Sentimen positif juga datang dari mata uang dunia yang mayoritas mengalami penguatan terhadap dolas AS. Kondisi itu menjadi momentum perbaikan bagi laju rupiah.
Analis PT Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong juga berargumen positif terhadap adanya Tax Amnesty. Lukman melihat spekulasi pelaku pasar terhadap ekonomi domestik setelah kebijakan pengampunan pajak cukup positif, sehingga membuka tren penguatan jangka menengah-panjang bagi rupiah terhadap dolar. Di sisi lain, kekhawatiran pelaku pasar uang terhadap inflasi saat bulan puasa dan Lebaran juga mulai mereda.
BPS melaporkan, inflasi Juni 2016 sebesar 0,66 persen. Sementara inflasi tahun kalender berjalan dari Januari hingga Juni 2016 sebesar 1,06 persen, dan inflasi tahun ke tahun 3,45 persen. Dari ketiga argumen ini terlihat bahwa Tax Amnesty cukup efektif untuk meningkatkan penerimaan negara, yang tentunya nanti akan berdampak pada pembangunan nasional Indonesia.
Namun berbeda halnya dengan dukungan dan argumen positif terhadap Tax Amnesty sebelumnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Setyo Budiantoro justru menilai rencana pemerintah untuk melakukan upaya pengampunan pajak atau Tax Amnesty tak tepat. Ia menilai Tax Amnesty bukan akan meningkatkan pendapatan pajak, upaya itu justru akan berdampak sebaliknya. Keringanan bagi wajib pajak yang enggan membayar akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat yang selama ini taat membayar pajak.
Menurutnya, Tax amnesty justru kontraproduktif karena membuat orang yang taat bayar pajak menjadi tidak termotivasi. Sebaliknya, bagi wajib pajak yang menyembunyikan aset mereka di luar negeri, upaya ini akan mengesankan bahwa pemerintah tak tegas dan bisa ditawar. Menurut Budi, yang perlu dilakukan saat ini adalah menindak tegas para pelaku transfer pricing dan pengemplang pajak. Di Indonesia sendiri, Tax Amnesty sebelumnya sudah pernah diberikan oleh pemerintah. Memang terjadi peningkatan pajak jangka pendek, namun secara keseluruhan rasio pajak tetap menunjukkan penurunan.
Dari kedua argumen diatas terhadap Tax Amnesty, terlihat adanya sisi positif dan sisi negatif dari Tax Amnesty, sehingga pemerintah perlu berhati-hati. Meskipun kebijakan Tax Amnesty (sunset policy) memiliki aspek positif, seperti negara dapat memperoleh tambahan penerimaan dari uang tebusan dan pembukuan perusahaan dapat dimulai dari angka-angka baru yang bersih dari praktik penggelapan pajak.
Namun aspek negatifnya yakni mereka yang menggelapkan pajak justru memperoleh fasilitas dan perlakuan khusus yang dirasakan tidak adil bagi mereka yang membayar pajak secara benar dan jujur. Keadaan ini dapat mendorong pembayar pajak yang jujur, akan melakukan praktek penggelapan pajak, karena mereka berpikir pemerintah pada suatu saat tentu akan memberikan fasilitas pengampunan pajak lagi. James dan Beck (1993) menjelaskan bahwa pengampunan pajak (tax amnesty) sering berhadapan dengan kepatuhan pajak (tax compliance).
Meskipun dalam waktu singkat, tax amnesty mampu menghasilkan penerimaan negara seperti contoh di Italia yang mampu mengumpulkan penerimaan sebesar 1.4 miliar euro di akhir program ini dan mengurangi biaya administrasi serta memecahkan pengindaran pajak untuk kembali ke jalan kejujuran, tetapi dalam jangka panjang seringkali justru akan menurunkan tingkat kepatuhan pajak (tax compliance).
Para pembayar pajak yang jujur mungkin merasa terganggu melalui pengampunan ini dan cenderung menggambarkan bahwa pengampunan sebagai sesuatu yang tidak adil dan rasa kurang dimotivasi untuk tunduk atau patuh ke depannya. Mereka mengintepretasikan pengampunan sebagai penanda bahwa penghindaran pajak adalah dapat dimaafkan.
Dibalik pro kontra ini, Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, ada lima kunci kebijakan untuk menyukseskan tujuan tax amnesty.
Pertama, tax amnesty harus dirancang sebagai titik tolak dari sistem perpajakan yang baru melalui rekonsiliasi data atau tax reform.Kedua, Direktorat Jenderal Pajak harus memiliki data akurat dan membangun administrasi perpajakan yang kuat dan efektif. Wajib pajak yang mendapat amnesti harus dipantau secara ketat. Bahkan harus dipersiapkan peningkatan audit dan pengenaan sanksi yang lebih berat bagi wajib pajak yang mengabaikan kesempatan untuk diamnesti.Ketiga, kebijakan ini harus bersifat mengikat bagi semua pengaju pengampunan pajak dengan pelaksanaan yang jelas. Keempat, pengampunan pajak seharusnya dilakukan secara mendadak dengan durasi yang sangat singkat, yakni maksimal setahun. Dan kelima, kebijakan ini harus diikuti dengan penindakan hukum yang tegas untuk menjamin efektivitas pengampunan yang akan diberikan.
Selain itu, hal penting lainnya juga pemerintah perlu untuk menghitung seberapa besar rasio biaya dan manfaat agar kebijakan ini semakin komprehensif. Salah satu hal penting untuk diperhatikan adalah bagaimana mengelola sisi psikologis dari wajib pajak yang selama ini sudah cukup patuh terhadap aturan perpajakan sehingga Tax Amnestry ini menjadi efektif dan diterima secara adil bagi semua Wajib Pajak.
Daftar Referensi :
Koran Republika edisi tanggal 14 Juli 2016
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-Lepasan%20Naskah%205%20(318-327).pdf
http://nasional.sindonews.com/read/1105641/18/mengapa-harus-tax-amnesty-1462184213
http://nasional.sindonews.com/read/1105641/18/mengapa-harus-tax-amnesty-1462184213/1