Notification

×

Iklan

Iklan

Keramba Jala Apung Antara Harapan, Tangisan dan Kehidupan

06 September 2016 | 14:19 WIB Last Updated 2016-12-14T09:47:59Z

Sejumlah aktivis dan pemerhati lingkungan hidup mulai gerah dengan berulangnya peristiwa kematian ikan secara massal di Danau Maninjau. Hal ini juga diamini sejumlah tokoh masyarakat sekitar Danau Maninjau. Mereka menuntut keberadaan Keramba Jala Apung (KJA) ditutup.
Ketua Ikatan ahli geologi indonesia (IAGI) Sumbar, Ade Edward meminta pemerintah kabupaten (Pemkab) Agam agar mengambil kebijakan tepat dan tegas agar persoalan kematian ikan di danau Maninjau dapat segera terselesaikan.

Dia menyebutkan bahwa Pemkab Agam harus berani mengambil kebijakan dengan menerapkan peraturan untuk menutup Danau Maninjau dari seluruh aktifitas budidaya ikan terutama sistem KJA.
"Agar kondisi Danau Maninjau dapat kembali steril dan normal dari dampak sisa pakan dan kotoran yang sudah mengendap dengan ketebalan tinggi, perlu adanya jangka waktu untuk proses sterilsasi. Teknologi untuk mengeruk dasar danau belum ada, pemulihan secara alami juga tidak memungkinkan jika proses budidaya tidak dihentikan sementara waktu," jelas pria yang juga dikenal sebagai amdalis bidang geologi lingkungan ini, Jumat (2/9).

Ditambahkan Ade, jika aktivitas KJA tidak dilarang, maka tidak menutup kemungkinan fenomena kematian massal ikan di kawasan tersebut akan terus berulang. "Kematian ikan diprediksi bisa lebih sering terjadi dibanding tahun sebelumnya. Sekarang saja sudah sudah tiga hingga empat kali dalam setahun," ujarnya.

Hal yang paling disayangkan Ade, pencemaran Danau Maninjau dapat emnghapus keberadaan Danau Maninjau sebagai satu dari 36 warisan Geologi Indonesia.

"Alam ini bukan harta bagi generasi kini. Tapi titipan generasi selanjutnya.Bercermin ke negara maju, danaunya dijaga agar pengotor tidak masuk ke danau. Sekali pengotor masuk ke dasar danau, maka tak bisa lagi dikelola, kerusakannya bisa menjadi permanen," tegasnya.

Perbincangan Ade Edward dalam tiga hari belakangan ini melalui forum diskusi lingkungan, juga memancing perhatian pengamat pariwisata Sumbar, Zuhrizul. Dia menambahkan bahwa indikasi kehilangan mata pencaharian bagi petani KJA jika diberlakukan pelarangan, membutuhkan data pasti. Perlu ditelusuri berapa warga yang berperan sebagai owner dan berapa yang hanya employer dengan gaji Rp 40.000 hingga Rp 50.000 perhari.

"Para kapitalis telah kuasai keramba. Biasanya setiap fenomena kematian ikan, maka keramba dijual ke kapitalis. Andai danau bersih, maka bisa saja keramba menjadi homestay apung, restourant apung dan wisata kembali hidup. Tapi hal ini memang butuh waktu 2 - 3 tahun ke depan," jelasnya.

Dikatakan Zuhrizul, kepentingan bisnis sekelompok orang telah membuat penderitaan panjang anak cucu salingka danau. Mereka tidak bisa mandi lagi setelah main bola di sawah dengan keceriaan, mereka tidak bisa lompat lagi ke danau dari pohon kelapa yg menjorok ke danau.
"Dalam jangka panjang akan mempengaruhi kecerdasan anak-anak maninjau yang terkenal sukses di seantero dunia," paparnya.

Zuhrizul juga membandingkan penataan danau Maninjau dengan pantai Padang.
"Dalam hal destinasi sebetulnya yang dianggap tidak mungkin untuk dibenahi adalah pantai Padang. Ternyata pantai Padang bisa berubah. Salut untuk walikota yang juga urang Agam," kesannya.
Di sisi lain, Ade Edward tidak menampik bahwa pelarangan aktifitas budidaya ikan keramba apung dengan tujuan menormalisasi kembali Danau Maninjau harus juga disertai dengan solusi tepat, mengingat saat ini usaha budidaya ikan dikawasan itu merupakan mata pencarian masyarakat setempat.

"Pelarangan harus disertai solusi agar masyarakat tidak menjerit, banyak solusi yang bisa diterapkan, salah satunya dengan mengalihkan aktifitas dari budidaya ikan keramba apung, menjadi budidaya ikan kolam deras atau hal serupa lainnya,"imbuhnya.

Tokoh Masyarakat Danau Maninjau, Bujang Sutan Sari Alam menyebut dirinya sudah muak dengan ulah para pengusaha keramba dan pemasok pakan ikan yang selama ini tidak bertanggung jawab atas peristiwa kematian ikan di kampung halamannya itu.

"Ikan yang mati-mati dibiarkan begitu saja tanpa ada yang bertanggung jawab. Masyarakat yang tinggal di seputaran danau Maninjau ini lah yang harus menerima sengsara. Bau udara yang tidak sedap serta pencemaran air, makin hari makin mengkwatirkan kami," ungkap pria yang lebih dikenal Inyiak Danau ini.

"Untuk itu, sebagai tokoh masyarakat kami menuntut Pemkab Agam secara tegas agar hal ini tidak dibiarkan begitu saja. Kami akan terus mengawal kejadian ini hingga tuntas," sambungnya.
Dihubungi terpisah Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Edi Busti menyebut tim satgas penyelamatan Danau Maninjau telah dibentuk Mei 2016 dan telah mulai bekerja dengan pelaksanaan gotongroyong pembersihan danau setiap dua bulan sekali.

"Tujuannya untuk memberi kesadaran masyarakat terkait pencemaran danau. Dari situ diharapkan munculnya kesadaran masyarakat untuk membongkar KJA secara mandiri," ujarnya Jumat (2/9).
Edi Busti juga menargetkan tahun ini berkurangnya sebanyak 2.500 petak KJA, namun dia tidak menampik belum adanya penindakan tegas. "Pemkab agam saat ini masih dalam tahap pembentukan satgas dan masih menunggu pengalokasian dana untuk agenda itu. Kita tunggu dulu APBD perubahan 2016. Terlebih lagi zonasi danau belum ada, kita tunggu dulu hal itu," imbuhnya.

Terkait ancaman pencemaran sumber air PDAM, lanjutnya, pengambilan sampel air sudah dimulai hari ini (Jumat, red). "Prosesnya akan berlangsung seminggu ke depan, dan akan diteliti di laboratorium selama sepekan. Jadi dalam dua minggu akan ada hasil labor yang bisa menjadi referensi PDAM soal ketercemaran air," katanya.

Terpisah, Kepala dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam, Ermanto juga menyebut semenjak tahun 2012, terdapat 8 pengusaha ikan keramba berskala besar (lebih dari 20 petak keramba) di Danau Maninjau. Mereka juga berperan sebagai pemasok pakan ikan dan menjadi pemberi modal kepada penambak lainnya.

Mereka yang delapan orang itu diantaranya Wan Alai, Jon pertiwi, Ita Mayang Taurai, Eri St. Makrup, Anton taruko, An Taruko, Condiak Taruko dan Rajo Ameh.

"Berdasarkan data kami, mereka sekaligus orang-orang yang selalu mengalami kerugian yang cukup banyak. Mereka-mereka ini lah yang harus bertanggung jawab atas kematian ikan ini. Mereka harusnya terlibat dalam membersihkan danau maninjau ketika ikan keramba ini mati," ungkapnya.

Perihal mengangkat bangkai ikan ke luar dari danau, Ermanto mengaku kesulitan untuk mendapatkan lahan untuk menguburkan ikan-ikan mati tersebut. Menurutnya masyarakat seputaran danau maninjau tidak mau lagi memberikan tanahnya untuk mengubur ikan.

"Jika masyarakat menyatakan tidak diuntungkan dalam usaha keramba tersebut, tentu mereka tidak bersedia bangkai ikan dikubur di tanah mereka. Para staff dan pegawai SKPD juga kewalahan melaksanakan goro bangkai ikan. Anggota tentu menyayangkan para petani keramba dan pengusaha ikan yang tidak turut membantu," paparnya.(r)

Dàri beberapa sumber/Padeks

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update