Notification

×

Iklan

Iklan

TENTARA Itu Bukan Jabatan

05 Oktober 2016 | 09:55 WIB Last Updated 2016-10-05T02:56:22Z

Oleh: Emha Ainun Najib*

TENTARA itu Bukan Jabatan, melainkan  Jiwa yang melekat pada setiap prajuritnya.

      Menjadi tentara tidak sama dengan menjadi Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Tentara itu jiwa, Presiden itu jabatan.  Jabatan Presiden akan ditinggalkan dan meninggalkan orang yang menyandangnya, sedangkan ketentaraan adalah jiwa yang menyatu dengan manusianya, adalah ruh yang tak bisa dicopot kecuali oleh pengkhianatan dan ketidaksetiaan terhadap satuannya, adalah kepribadian yang mendarah daging sampai maut tiba.  Jabatan sangat disukai oleh manusia yang menyandangnya, tetapi sangat bisa jadi jabatan diam-diam tidak menyukai manusia yang menyandangnya.

Orang dengan jabatan akan dapat mengalami post power syndrome, tetapi orang dengan jiwa ketentaraan tidak mengenal kata ‘post’, tidak mengenal ‘bekas’ atau mantan. Tentara boleh tidak bertugas lagi, boleh menjadi veteran, tetapi itu hanya urusan administrasi dan birokrasi formal, sedangkan kepribadian ketentaraannya tidak bisa dikelupas dari manusianya meskipun oleh kematian.
Dengan pemahaman seperti itu, maka andalan utama Prajurit dalam bermasyarakat bukanlah jabatan dan kekuasaan, bukanlah kegagahan dan kekuatan, melainkan kesetiaan dan sikap yang penuh perhatian kemanusiaan terhadap orang yang dipimpinnya.

    Prajurit memiliki dua pemaknaan. Pertama makna jasad, kedua makna rohani. Dalam pemaknaan jasad, prajurit dibedakan dari perwira. Tetapi di dalam makna rohani, prajurit adalah rohani kepribadian.
Kepribadian Prajurit Sejati tidak berkaitan dan tidak berbanding lurus dengan tingkat kepangkatan. Seorang prajurit dalam arti kepangkatan tidak melogikakan makna bahwa ia kalah sejati keprajuritannya dibanding perwira.
Seorang Jenderal bisa kalah sejati keprajuritannya dibanding seorang Kopral. Kata Prajurit Sejati adalah gelar kepribadian, bukan mengindikasikan tinggi rendahnya pangkat.
Bahkan sesungguhnya kata “Prajurit” tidak bisa dipisahkan atau malah mungkin tidak memerlukan kata “Sejati”, sebab kalau ia tidak sejati maka ia bukan prajurit.
Seorang prajurit bukan hanya “sebaiknya” berkepribadian sejati, melainkan “harus” dan “pasti” sejati. Sebab keprajuritan adalah keteguhan mempertahankan prinsip, keberanian menegakkan keyakinan, serta “ketenangan jiwa” untuk meletakkan kematian pada harga yang tidak lebih mahal dibanding keyakinan akan kebenaran.

Prajurit Sejati tidak menangis oleh kematian, ia hanya menderita oleh pengkhianatan dan ketidak-setiaan.
Dengan demikian bekal utama Prajurit dalam membaurkan dirinya ke tengah masyarakat bukanlah keunggulan dan kehebatan, melainkan keteladanannya dalam keteguhan memegang prinsip, keberaniannya menegakkan kebenaran, ketenangan jiwanya dalam membela nilai-nilai yang baik di antara sesama manusia. Maka kehadiran utama Prajurit di tengah masyarakat adalah kepeloporannya di dalam menegakkan watak adil, jujur, sportif, rendah hati, obyektif, setia dan patuh kepada nilai-nilai sejati.

Jika seorang Prajurit dengan kadar keperwiraannya diletakkan pada suatu tingkat kepangkatan, maka pangkat itu tidak menambah kesejatian keprajuritan serta keperwiraannya, melainkan pangkat itu menguji keprajuritan dan keperwiraannya.

Jika seorang Prajurit dengan wibawa keperwiraannya dijunjung di atas kursi jabatan, maka jabatan itu tidak punya potensi untuk membuat keprajuritan dan keperwiraannya menjadi lebih terpuji, karena justru jabatan adalah medan uji bagi keprajuritan dan keperwiraannya. dan sikap yang penuh perhatian kemanusiaan terhadap orang yang dipimpinnya.

PRAJURIT SEJATI
DIRGAHAYU TNI KE-71

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update