SAWAHLUNTO - Motif usang tenun ikat Silungkang menjadi harapan bagi Heri Retno, pengerajin tenun songket Silungkang, yang menguasai beragam motif usang, untuk kembali bangkit mengembangkan motif-motif yang telah belasan tahun hilang dari peredaran.
Harapan itu muncul, ketika Heri Retno bersama sang adik Epi Ramayanti dijamu Walikota Sawahlunto, Ali Yusuf dan Ketua TP PKK Sawahlunto, Ny. Yenny Ali Yusuf, serta Kepala Dinas Perindagkopnaker, Deswanda, pekan lalu.
Dalam kesempatan itu, Walikota bersama Ketua TP PKK meminta Heri Retno bersama Epi Ramayanti, yang pernah mengembangkan tenun ikat Silungkang dengan mengusung merek Teno Sister, untuk kembali mengangkat motif-motif usang tenun ikat Silungkang.
“Tenun ikat Silungkang yang pernah berkembang, jika diangkat kembali tentu akan memberikan keragaman tersendiri di tengah industri tenun kota ini,” ujar Walikota Sawahlunto, Ali Yusuf.
Pemerintah, lanjutnya, akan berusaha mendorong kerajinan yang ada dan pernah ada di tengah masyarakat, untuk kembali bangkit, diproduksi, dan dipasarkan. Selain menjadi bagian dari sejarah, tentunya juga sangat membantu peningkatan perekonomian.
Bersama Kepala Perindagkopnaker Sawahlunto, Deswanda, Ali Yusuf menyatakan, Pemerintah Sawahlunto akan membantu mesin dan modal kerja, yang akan diusahakan melalui bank ataupun pihak ketiga lainnya.
Ketua TP PKK Sawahlunto, Ny. Yenny Ali Yusuf, yang beberapa waktu lalu memakai selendang tenun ikat Silungkang bermotifkan Bintang Panah itu, mengaku selendang bermotif usang itu sempat mencuri perhatian tamu-tamu dalam acara tingkat Sumbar itu.
“Sangat banyak yang kagum dengan motif selendang tenun ikat Silungkang ini. Bahkan ada yang menyatakan berminat untuk memiliki. Sebab untuk mendapatkan tenun dengan motif itu sangat sulit dan bisa tidak ada di pasaran,” ujar Yenny.
Menurut Yenny, tenun ikat Silungkang memiliki keunggulan dan kelebihan dari tenun songket benang biasanya. Tenun ikat Silungkang, bagian luar dan dalamnya memiliki kesamaan.
Jika bisa diproduksi kembali, terang ibu tiga anak itu, tentu pasar akan sangat menunggu kehadirannya. Bahkan, Yenny juga menyatakan siap untuk menampung seluruh produksi tenun ikat dengan motif-motif usang yang akan diproduksi.
Makanya, lanjut Yenny, bersama Walikota Ali Yusuf, dirinya menjamu Teno Sister, pengerajin yang diyakini memiliki kemampuan dalam memproduksi motif ‘tempo dulu’, untuk kembali diproduksi.
Bagi Yenny, tenun ikat Silungkang dengan beragam motif usang, merupakan kekayaan tak benda, yang dapat mengangkat dan mendukung perekonomian dan sektor pariwisata di Sawahlunto
“Jika dapat kembali diproduksi, tentu pecinta songket yang tahu dengan motif, akan mencari motif-motif tua itu ke Sawahlunto. Sebab, di pasaran sudah tidak bisa lagi ditemukan,” ujarnya.
Meski demikian, Yenny juga menyarankan para pengerajin untuk memproduksi setiap motif tua atau usang dengan jumlah yang terbatas secara berkala. Sehingga dapat mengangkat harga di pasaran.
Sementara itu, Heri Retno dan Epi Ramayanti, kakak adik yang dulu tergabung dalam Teno Sister, mengaku sangat termotivasi untuk kembali mengembangkan motif-motif usang yang kini tidak lagi diproduksi.
Heri Retno, wanita Silungkang kelahiran 20 Juni 1963 itu mengatakan, songket ikat dulu pernah dibuat tahun 1988. Namun, di tahun 2001, produksi itu berakhir, beragam desain tua, usang dan lama itu turut terkubur hingga hari ini.
Bagi Retno, motif usang memiliki tingkat pengerjaan yang rumit, sebut saja motif Tampuak Manggih, Carano, Rangkiang, Itiak Pulang Patang, Sayik Kalamai, hingga Burung Belibis, dan Bintang Panah.
Menurut sulung empat bersaudara itu, yang langka termahal dan jarang ditemukan di pasaran, yakni motif burung belibis. Hal itu dipengaruhi selain memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, pengerajin yang menguasai pembuatan juga sangat langka.
“Butuh ketelitian khusus dan waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan motif burung belibis, sehingga tidak banyak pengerajin yang mau dan mampu untuk mengerjakannya. Itu yang membuatnya langka dan mahal di pasaran,” ujar Retno.(bd/hms)