Padang - Sekitar 40 masyarakat yang menamakan diri Masyarakat Anti Illegal Logging dan Illegal Minning (Martil) Sariak, Sungai Abu, serta Korong Pemuda Pelajar Sariak, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok mendesak Kapolda Sumbar, Brigjend Pol Drs Basarudin merealisasikan janjinya untuk memberantas pelaku penambang liar dan oknum aparat pembeking yang dinilai sudah sangat merugikan kehidupan dan aktifitas warga sekitar.
Hal itu disampaikan dalam orasinya saat berunjuk rasa di depan gedung Mapolda Sumbar, Jumat (25/11) siang sekitar pukul 14.30 WIB. Pemantauan di lapangan, rombongan aktivis Martil datang langsung dari Solok menggunakan bus.
Dalam orasinya, Penanggung Jawab Kasus dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Aulia Rizal mendesak Kapolda Sumbar beserta jajaran untuk mengusut tuntas serta menindak tegas para pelaku (penyandang modal) penambang illegal di hutan Sungai Abu, Kabupaten Solok.
“Kami mendukung penuh upaya kepolisian di Sumatera Barat dalam menegakkan hukum terutama dalam memberantas aktifitas penambangan dan penebangan kayu secara illegal. Namun kami juga mendesak Kapolda Sumbar dan jajaran terkait untuk mengusut secara tuntas dan menindak tegas oknum aparat yang diduga membekingi tempat tersebut,” ucapnya.
Sebutnya, selama tahun 2015, sejumlah warga Sungai Abu telah melakukan sejumlah pelaporan ke Polres Solok Arosuka. Saat itu, Kapolres Solok, AKBP Reh Ngenana Depari berjanji akan menarik alat berat yang beroperasi tersebut. Namun, bukannya berkurang atau diberantas, aktifitas penambangan tanpa izin makin marak dari hari ke hari.
“Sangat disayangkan, sampai saat ini Polda Sumbar sama sekali belum menunjukkan keseriusan dalam menindak pelaku atau penyandang modal aktifitas tambang illegal dan penebang kayu liar ini, bahkan terkesan melakukan pembiaran, sehingga alat berat (ekskavator, red) yang beroperasi semakin banyak jumlahnya. Ada sekitar empat unit alat berat yang beroperasi di lokasi Sungai Batarun dan Sungai Gumanti, Kenagarian Sungai Abu. Hal ini berakibat buruk terhadap warga beserta lingkungannya. Jika Kapolda berjanji memberantas aktifitas tambang illegal, sekaranglah waktu pembuktiannya,” ungkap Aulia.
Sementara itu, salah seorang warga terdampak, Hendra Yuliza kepada media, menyebut, semenjak maraknya aktifitas penambangan liar di daerah tersebut, udara semakin tercemar dan jalanan menjadi rusak akibat alat berat yang lalu lalang di jalan.
“Jalan dan jembatan menjadi rusak dalam waktu yang sangat singkat, sudah banyak kerugian yang kami tanggung, kami juga ingin aktifitas penebangan kayu di hutan tempat kami dihentikan, dan kembalikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia,” ujarnya.
Aktifitas ilegal di Sungai Abu setidaknya melanggar dua Undang-Undang (UU), diantaranya Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam pasal 158 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 dinyatakan, “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, pasal 40 ayat 3, pasal 18, pasal 67 ayat 1, pasal 74 ayat 1 atau ayat 5 dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak sebanyak Rp10 miliar.”
Sementara itu, Wadir Krimsus Polda Sumbar, AKBP Dodi Rahmawan dihadapan sejumlah pendemo meminta untuk membuat laporan masyarakat dan surat resmi ke Kapolda terkait keluhan warga tersebut. “Silahkan buat laporan dan surat, maka nanti akan kami selidiki temuan dari masyarakat tersebut,” kata Dodi.
Sumber: Haluan