Notification

×

Iklan

Iklan

Dimulainya Kebangkitan Umat Di Indonesia

25 Desember 2016 | 23:45 WIB Last Updated 2016-12-25T16:46:25Z

Tidak dipungkiri bahwa aksi super damai 212 (2 Desember 2016) menjadi peristiwa monumental bagi umat Islam Indonesia dan juga bangsa Indonesia. Aksi yang diakhiri dengan shalat Jumat ini, meskipun masih ada pihak yang agak malu mengakui sebagai aksi tanpa kekerasan, memberikan begitu banyak energi positif bagi umat Islam dan juga umat agama lain yang bisa melihat dengan hati nurani.

Mereka yang datang ke Monas adalah dari berbagai latar belakang, aliran, mazhab, profesi, kelas, dan lainnya. Mereka begitu menyatu. Acara diikuti dengan khidmat. Bantuan sebagai wujud solidaritas datang dari berbagai penjuru.

Mereka yang ikut aksi ini pun mengeluarkan dana dari kantong pribadinya. Ada yang menyewa bus, naik pesawat, jalan kaki, dan moda transportasi lainnya. Ini menandakan sebagian umat Islam sudah mendapatkan tingkat kesejahteraan yang relatif baik.

Pascaaksi pun semangat untuk bersama-sama masih kuat. Shalat subuh berjamaah di beberapa kota adalah salah satu buktinya. Demikian pula ada yang mengajak mendirikan usaha semisal minimarket atau koperasi. Ada yang mengatakan ini tanda-tanda kebangkitan ekonomi umat Islam. Benarkah?

Saya melihatnya masih terlalu prematur. Semangat yang ada masih terlihat sporadis. Bukan berarti meremahkan, namun memang perlu usaha yang sungguh-sungguh, terkoordinasi, terencana, penanggung jawab, dan profesionalitas untuk mewujudkan hal seperti itu.

Suatu fakta bahwa semakin banyak umat Islam yang menjadi kelompok kelas menengah. Namun sumberdaya yang ada pada mereka ini belum terkoneksi dengan baik kepada rantai atau saluran pemberdayaan ekonomi umat. Namun sudah banyak yang melakukan secara sporadis. Ini disebabkan karena belum ada tokoh atau lembaga yang bisa dipercaya oleh mereka.

Selain itu komunikasi lintas kelas dalam tubuh umat Islam selama ini belum berjalan baik. Namun sejak aksi super damai 212 semakin banyak umat Islam yang membuka diri terhadap tokoh atau sosok yang seringkali dicitrakan sebagian media sebagai tokoh antagonis, seperti Habib Rizieq. Demikian pula upaya membuka diri terhadap organisasi atau mungkin semacam aliran fiqih.

Selama ini umat Islam terkotak karena adanya masalah aliran fiqih, afiliasi kelembagaan, dan juga afiliasi lain seperti ketokohan dan ideologi gerakan. Menyatunya perbedaan tersebut pada aksi super damai 212 membuat suasana cair dan persatuan (ukhuwah) lebih dikedepankan. Maka tak heran begitu banyak hidangan (Al Maidah) melimpah saat aksi super damai tersebut. mereka dengan ikhlas memberikan bantuannya kepada siapa saja tanpa melihat dari aliran mana, dari organisasi mana, dan lainnya.

Aksi super damai 212 memang bisa menjadi pemicu meningkatnya kesadaran umat Islam akan potensi besar yang mereka miliki. Selama ini mereka hanya menjadi konsumen besar bagi para produsen dari seluruh dunia. Namun potensi ekonominya belum diberdayakan dengan baik sehingga hal yang seharusnya bisa memberdayakan kaum dhuafa tapi belum terlaksana maksimal.

Untuk itu, satu hal penting yang harus dilaksanakan adalah menjalin hubungan atau komunikasi yang terus menerus lintas organisasi, aliran fiqih dan lainnya. Kemudian meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran dan posisi keluarga menjadi pondasi kebangkitan ekonomi umat.

Selama ini peran penting keluarga sebagai pondasi umat sering terabaikan dan diremehkan. Faktanya, kehancuran masyarakat terutama masalah ekonomi dan moral diawali dari kerapuhan keluarga. Suami sebagai kepala keluarga kurang menyadari pentingnya membangun ketahanan keluarga. Istri pun memiliki peran penting dalam keluarga. Maka suami-istri yang lemah dalam membangun keluarga maka akan berdampak pula kepada ketahanan umat Islam.

Jika umat Islam sadar akan peran penting keluarga, maka insya Allah urusan ekonomi bisa diselesaikan perlahan-lahan sehingga muncul keberhasilan dengan ditandai meningkatnya kesejahteraan diiringi meningkatnya pemahaman akan peran penting keluarga dan interaksi dengan nilai-nilai Islam.

Keluarga sebagai pondasi ketahanan ekonomi umat perlu proses yang cukup panjang dan juga butuh kesabaran. Jika makin banyak keluarga yang baik ketahanan keluarganya, maka insya Allah kebangkitan ekonomi umat akan muncul dengan kokoh dan kuat. Untuk itu, berbagai euforia yang selalu mengiringi sebuah peristiwa moumental tidak bisa dijadikan tanda bangkitnya ekonomi umat. Hanya sebagai pemicu atau pembuka kesadaran saja. (efs)


IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update