BOGOR - Kepemimpinan dalam perspektif fiqih perpolitikan adalah suatu hal yang harus dibangun dan dijaga dengan baik. Bukan untuk dikejar. Karena dengan motif membangun dan menjaga inilah akan bisa melahirkan pemimpin yang autentik dalam berintegrasi, berkapasitas, pengalaman, dan memiliki ketaatan dalam menjalankan perintah agama.
Demikian disampaikan Walikota Padang H. Mahyeldi Ansyarullah Dt Marajo saat didapuk menjadi pemateri dalam acara Business Meeting BNI Syariah di Hotel Royal Tulip, Bogor, Jumat (16/12) sore.
Lebih jauh dikatakan Mahyeldi, akan berbeda jadinya jika persepsi dalam kepemimpinan adalah sesuatu yang dikejar. Segala cara bisa dihalalkan.
"Bahkan dalam psikologi politik dikatakan bahwa orang yang berambisi terhadap kepemimpinan cenderung sulit untuk melepaskan jabatan kepemimpinannya. Dari sinilah lahir motif pemimpin yang otoriter. Dan itulah pentingnya peran agama dalam berpolitik," ungkap Walikota Padang di depan Direksi BNI Syariah dan seluruh kepala cabang BNI Syariah se-Indonesia yang hadir dalam acara tersebut.
Dikatakan Mahyeldi, Allah SWT menciptakan manusia dan menurunkannya ke bumi untuk menjalankan tugasnya, sebagai 'khalifah fil ard'. Manusia berbeda dengan makhluk Allah lainnya. Manusia tidak saja diberikan fisik yang hebat dan akal luar biasa, tetapi juga struktur kejiwaan yang indah.
"Sehingga semua potensi tersebut tidak Allah berikan secara percuma. Tetapi Allah perintahkan manusia dengan segala keberdayaannya untuk menciptakan kemakmuran di muka bumi," sebut Mahyeldi.
Ditegaskan Mahyeldi, landasan seorang muslim dalam kepemimpinan yakni "na'buda ilallah" atau beribadah kepada Allah. Serta "wa la nusyrika bihi syaian" atau tidak menyekutukan sesuatu yang lain selain Allah.
"Dan jawaban mengapa kepimpinan atau jabatan bukanlah sesuatu yang harus dikejar, sesuai dengan hadits rasul," sebutnya.
Kepemimpinan dalam Islam pada dasarnya "high risk", tetapi juga "high value". Karena Allah SWT memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga mengecam pemimpin yang dzalim.
"Bahkan Imam Ghazali mengatakan bahwa pemimpin yang adil dalam satu hari, lebih baik daripada beribadah kepada Allah selama 70 tahun. Itulah cara Allah menghargai pemimpin," terang Mahyeldi dalam materi berjudul "Kepemimpinan dalam Islam" yang disampaikannya di depan lebih seratusan undangan yang hadir sore itu.
Sepanjang sejarah kelahiran Islam dimulai, kepemimpinan politik memberi pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan umat muslim. Dalam literatur barat, kekuasaan kepemimpinan selalu menggunakan kata 'power'. Sedangkan 'power' pada umumnya bermakna kekuatan.
"Dan ini memiliki makna bahwa kekuasaan harus beriringan dengan kekuatan (power). Sehingga kita tidak boleh memisahkan salah satunya," tukas Mahyeldi.
Walikota Padang menilai bahwa kaidah tersebut telah menjawab fenomena, bahwa banyak orang baik tetapi tidak bisa menciptakan perubahan baik dalam skala besar sedikitpun. Dan juga ada orang jahat tetapi dia berkuasa.
"Bahkan menggunakan kekuasaannya secara semena-mena. Dua fenomena itu bisa terjadi karena kita memisahkan antara kekuatan dengan kebenaran," ujarnya.
Mahyeldi menukaskan, berbicara tentang kepemimpinan tidak harus selalu berbicara negara. Kepemimpinan yang hakiki selalu dimulai dari diri sendiri. Karena jika leadership sudah tertanam di dalam diri, akan dengan mudah menularkannya kepada orang lain.
"Apalagi saat ini Indonesia membutuhkan pemimpin yang berintegritas, berkapasitas, berpengalaman dan memahami agama Islam secara baik. Dengan cara kita mempersepsi ulang kepemimpinan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang harus dibangun dan dijaga, bukan untuk dikejar, maka kita akan keluar dari carut marut politik yang tak produktif dan mulai mengerjakan hal-hal besar yang bisa dikerjakan karena kita sudah memiliki pemimpin yang memiliki kompetensi leadership masyarakat yang tangguh," terang Mahyeldi.
Mahyeldi menekankan bahwa tugas berat tokoh-tokoh Islam Indonesia hari ini adalah bagaimana masyarakat pemilik suara di Jakarta sadar sesadar-sadarnya bahwa tidak ada dikotomi memilih gubernur dengan kepemimpinan dalam Islam.
"Sehingga mereka tidak memberikan suara kepada non-muslim, dan secara teori demokratis, jika umat Islam mayoritas di Jakarta, maka seharusnya yang menang adalah calon pemimpin yang muslim, wallahualam," tukas Walikota Padang.(Charlie)