Oleh : Ampera Salim
Masyarakat Padang Panjang akrab dengan kebersamaan. Kelompok masyarakat terbentuk di surau dan dilapau. Mereka yang di surau akrab dengan pengajian. Sedangkan kelompok yang di lapau sering bicara perekonomian. Di situ terlihat keseimbangan rohani dan jasmani. Ini pula bentuk kehidupan hakiki masyarakat Minangkabau.
Di Padang Panjang orang tidak memandang tinggi pangkat dan jabatan serta harta kekayaan. Mereka akan hormat pada orang yang berilmu. Terutama yang tinggi ilmu agama dan mendalam pemahamannya. Karena itu pula sejak dahulu di Padang Panjang banyak sekolah agama dan terkenal mutu pendidikannya.
Di sinilah berdiri sekolah agama modern pertama di Indonesia, yakni Diniyah School dan Diniyah Putri, juga yayasan pendidikan Thawalib tempat Hamka pernah menuntut ilmu. Ini pula salah satu yang mengharumkan nama Minangkabau selama ini.
Kota ini punya banyak julukan. Selain kota hujan Padang Panjang disebut Kota Serambi Mekkah. Pada masa lalu, Belanda menyebut Padang Panjang dengan Egypte van Andalas (Mesir di Tanah Sumatera). Juga disebut Kota Pendidikan karena banyaknya institusi pendidikan dan sejarah panjang bagaimana kota ini memerankan peran pendidikan sejak masa lalu. Ini pula yang manaikkan pamor Minangkabau di pentas nasional.
Sejak zaman kolonilal, Padang Panjang memainkan peran penting sebagai tempat persinggahan dan menjadi simpul 3 kota utama di pulau Andalas, yakni Medan, Padang, dan Pekanbaru. Ini menunjukan, bahwa Padang Panjang berandanya Minangkabau.
Tak heran, banyak tokoh-tokoh Sumatera Barat di masa lalu mempunyai irisan penting dengan Padang Panjang. Untuk menyebut beberapa nama seperti Sutan Sjahrir, Hamka, AA Navis, Huriah Adam, Rahmah Elyunisiah, Bustanul Arifin, Tarmizi Thaher.
Masyarakat Padang Panjang, akrab dengan alam. Daerah mereka dipagar oleh gunung yang tinggi. Di bagian utara dan agak ke barat Padang Panjang berjejer tiga gunung: Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat yang menjulang. Itulah gunung kebangaan Minangkabau.
Berguru Kepada Alam
Masyarakat Padang Panjang, dalam keseharian selalu mengihidupkan tradisi bermasyarakat ala Minangkabau. Siapa saja yang menetap di kota ini, akan merasa betah jika memakaikan filosofi adat: di maa bumi dipijak di sinan langik dijujuang.
Dalam pergaulan, kato nan ampek tetap menjadi pedoman: kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang.
Orang Padang Panjang, hanya akan hormat pada orang yang menanam budi. Sesuai dengan filosofi Minangkabau. Kok cadiak awak urang ndak batanyo. Kok pandai awak urang ndak baguru. Kok bagak awak urang ndak kabacakak. Kok kayo awak urang ndak mamintak. Tapi jika kita menanam kebaikan, maka orang menghormati dalam keseharian. Malah setelah meninggal pun akan dikenang.
Padang Panjang Adalah Saripati Minangkabau
Berbicara tentang Padang Panjang. “Ini adalah kota yang berbahagia,” demikian tulis AA Navis, pengarang Robohnya Surau Kami yang fenomenal itu. Navis melanjutkan, "Di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup..."
Ketika orang menyebut Sumatera Barat, tanpa sengaja melintas di pikirannya alam yang inda dan masyarakat yang ramah baik hati. Hal ini terbersit manakala melihat tingkah laku anak Minang di perantauan yang penuh sopan santun. Di kota mana pun dan ke daerah mana pun mereka mengadu nasip, tetap saja mendapat tempat di hati masyarakat setempat.
Para wisatawan Sumbar beberapa waktu lalu, dominan membicarakan Sumatera Barat dengan menyebut dua kota saja, yaitu Padang dan Bukittinggi. Tetapi kini pesona Sumatera Barat sudah beralih ke kota kecil yang indah dan cantik elok rupa yang bernama Padang Panjang.
Seperti diakui Akhyari Hananto seorang penikmat wisata di negara ini. Dia menyebutkan ketakjubannya terhadap Padang Panjang yang kini dipimpin Walikota Hendri Arnis. Seperti dituliskannya di media sosial internet Beta GoodNews From Indonesia.
Dia memulai dengan sebuah pertanyaan. Tempat apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar nama Sumatera Barat atau Ranah Minang? "Sebagian besar mungkin akan menjawab Padang atau Bukittinggi sebagai dua nama yang selalu terngiang pertama kali," tulisnya.
Kemudian Hananto melanjutkan tulisannya. "Belum lama lalu, saya pun merasakan hal serupa. Namun kini, saya punya nama baru, yang telah sangat membekas di benak saya. Namanya adalah Padang Panjang," katanya.
Pengakuan Hananto itu kata Walikota Hendri Arnis tepat sekali dan tidaklah berlebihan. Menurutnya, beberapa waktu lampau, orang di luar Sumbar mungkin tak sering mendengar Padang Panjang. Tapi kini kota berjuluk serambi mekah itu, sudah lekat diingatan setiap orang yang pernah atau akan berwisata ke Sumbar.
Disebutkan, kota ini dikelilingi pegunungan dengan pohon-pohon menjulang dari hutan primer yang hijau. Kota dengan wilayah terkecil di Sumatera Barat, ini berada di daerah ketinggian yang terletak antara 650 sampai 850 meter di atas permukaan laut. Berada pada kawasan pegunungan yang berhawa sejuk dengan suhu udara maksimum 26.1 °C dan minimum 21.8 °C, dengan curah hujan yang cukup tinggi dengan rata-rata 3.295 mm/tahun.
Inilah salah satu kota yang alamnya bernuansa pedesaan. Udaranya bersih. Masyarakatnya ramah. Setiap pejabat daerah lain yang melakukan kunjungan kerja ke Padang Panjang, pasti memuji keindahan alam dan keramahan warga kota ini.
Akhyari Hananto menyebutkan, "Jika di Jawa kita punya Bogor yang berjuluk Kota Hujan, maka Padang Panjang adalah Kota Hujan di Sumatera. Saya mengunjungi kota ini di hari-hari awal musim hujan, dan benar saja hujan di sini benar-benar deras," kata Hananto.
Melukiskan rasa kagum kepada Padang Panjang Akhyari Hananto menyebut, di Padang Panjang lah setting cerita fenomenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wick dan salah satu Cerpen yang sangat dia sukai: Robohnya Surau Kami. Dia juga mengatakan dengan jujur, di Padang Panjang dia diterima sebagai keluarga.
Padang Panjang memang kota nan elok. Jika ada waktu datanglah ke Padang Panjang menikmati alamnya yang indah dan kulinernya enak sekali....