Notification

×

Iklan

Iklan

HEARING DENGAN LEGISLATIF, MASYARAKAT SIPIL DESAK PENCABUTAN SE GUBERNUR

18 Maret 2017 | 12:01 WIB Last Updated 2017-03-18T05:05:59Z

Padang - Jumat (17/3), Komisi II DPRD Provinsi Sumatera Barat mengundang seluruh Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pertanian Se-Sumatera Barat, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (KMSS), Dinas PSDA, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, serta Balai Sungai Sumatera 5 untuk membahas Surat Edaran Gubernur tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi.

Pertemuan yang dimoderatori Yuliarman, Ketua Komisi II DPRD Sumbar, memberikan kesempatan pertama kepada, Candra, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. “Sumatera Barat menjadi salah satu dari 10 Provinsi target perluasan areal tanam padi jagung. Disisi lain, diperlukan upaya khusus untuk mencapai target produksi padi yang menurun dalam beberapa tahun ini. Hal ini yang menjadi dasar surat edaran keluar. Sesuai dengan kesepakatan Kementerian Pertanian dan TNI dalam mewujudkan swasembada padi di Indonesia. Memang terjadi penulisan yang kurang tepat pada Surat Edaran Gubernur No. 521.1/1984/Distanhorbun/2017 poin 2 (dua), 

“Petani harus menanami lagi lahannya 15 hari setelah panen, jika 30 hari setelah panen tidak dikerjakan oleh Petani, maka diusahakan pengelolaanya diambil alih oleh Koramil bekerjasama dengan UPT Pertanian Setempat”. Poin ini yang harus diluruskan karena memunculkan persepsi bahwa petani tidak sanggup mengelola lahan pertanian, maka pemerintah mengambil alih pengelolaan lahan melalui TNI”, ujar Candra.

“Tidak diperlukan kerjasama masyarakat dengan TNI dalam pengelolaan lahan pertanian. Petani pun pasca panen ingin segera menanam kembali lahannya karena itu merupakan sumber perekonomian”, ujar Kepala Dinas Pertanian Tanah Datar. “Semangat TNI dalam membantu masyarakat seperti memperbaiki infrastruktur pertanian dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang mestinya ditegaskan bukan mengambil alih pemanfaatan lahan pertanian”, sambung Walastri, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Payakumbuh, menanggapi penyampaian Candra.

Selanjutnya, sebagian besar Kepala Dinas Pertanian yang hadir, mengeluhkan persoalan infrastruktur irigasi yang tidak memadai dan kurangnya personil penyuluh pertanian di lapangan menjadi kendala utama dalam mendorong pertumbuhan produksi padi. Serta, persoalan kejelasan kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan irigasi.
 
“Gubernur mengada-ada dalam mengeluarkan Surat Edaran ini, karena tidak memiliki dasar yang jelas. Jika memang dilandasi perjanjian antara TNI dengan Kementerian Pertanian untuk Swasemba Pangan, dalam perjanjian tersebut tidak satupun menerangkan tentang pengambilalihan pengelolaan lahan-lahan pertanian oleh UPT dan TNI. 

Melainkan perjanjian tersebut, lebih kepada peran TNI untuk mengoptimalisasi lahan dalam bentuk membantu pembangunan infrastruktur seperti irigasi, pendanaan serta pemberdayaan kepada petani jika itu dibutuhkan petani”, tambah Ali Padri, DPW SPI Sumbar.  

“Surat Edaran dan pertamuan kita pada hari ini memperjelas bahwa Dinas Pertanian Sumatera Barat gagal dalam memfasilitasi petani. Seharusnya petani dilibatkan dalam rumusan ini, dan petani menjadi bagian utama dalam pelaksanaan kegiatan pertanian bukan TNI”, ujar Askurnis, YCMM. “Lebih jauh, tidak ada jaminan kedepan bagaimana mekanisme konflik antara TNI dan Petani dalam pengelolaan lahan pertanian, serta siapa yang berwenang menyelesaikan, sehingga semakin memperlemah posisi petani diatas lahan sendiri, tambah Uslaini, Direktur Walhi Sumbar.

“Persoalan pertanian di Sumatera Barat bukan pada sumber daya manusia dalam pengeloaan lahan, melainkan kekurangan daya dukung infrastruktur dan pendanaan. Jika ini Surat Edaran ini dijalankan maka akan menghadapkan masyarakat sipil dengan militer yang akan melahirkan konflik struktural, sambung Indah, PBHI Sumbar.

Nora Hidayati, Direktur Perkumpulan Qbar menegaskan bahwa semua wilayah di Sumatera Barat adalah Ulayat yang sudah jelas kepemilikan hak adatnya. Kehadiran Surat Edaran ini menjadi alat untuk menghilangkan nilai nilai lokal, melemahkan masyarakat adat. Disamping itu, seharusnya Dinas Pertanian memiliki baseline dalam melihat capaian produksi padi sehingga tergambar kebutuhan dan target pertanian Sumbar, bukan sekedar mencapai target nasional semata. 
 
Arkadius, Wakil Ketua DPRD Sumbar menyatakan bahwa Surat Edaran ini semestinya tidak perlukan, karena sudah ada kerjasama antara masyarakat dengan TNI  yang sebenarnya sudah berjalan sesuai dengan porsi masing-masing. Sumbar untuk saat ini tidak bicara lagi soal ketahanan pangan, melainkan kemandirian pangan menuju kedaulatan pangan. Sehingga menjadi penting kebijakan untuk menjawab persoalan infrastruktur sawah, kondisi keuangan masyarakat. Oleh karena itu, Surat Edaran ini perlu dikaji ulang agar tidak terjadi kekeliruan dalam lahirnya sebuah kebijakan publik, .

Diki Rafiki, Ketua LAM&PK FHUA menyampaikan bahwa Gubernur sudah keliru dalam menempatkan kebijakan. Tidak semestinya surat edaran mengandung peraturan yang belum jelas dasar hukum nya. Sehingga surat edaran ini harus dicabut. “Surat Edaran Gubernur ini terlalu gegabah dikeluarkan, semestinya Gubernur membuat kebijakan yang menjawab persoalan-persoalan yang disampaikan oleh Bapak-Bapak Kepala Dinas. Dilihat dari sudut manapun Surat Edaran Gubernur ini tidak dapat dibenarkan, secara hukum melabrak banyak sekali aturam, secara teknis pertanian juga dipaksakan, secara sosial cultural masyarakat Minangkabau ini tidak tepat. Jika Gubernur tidak segera mencabut, maka LBH Padang bersama koalisi masyarakat sipil siap memperkarakan ini ke pengadilan”, akhir Era Purnama Sari, 


Direktur LBH Padang.
Koalisi Masyarakat Sipil
LBH Padang, Walhi Sumbar, SPI Sumbar, Perkumpulan Qbar, PBHI Sumbar
LP2M, YCMM, Intergritas, Aksara Berkaki, PHP Unand, LAM&PK FHUA, WKSosKem


PILKADA 50 KOTA




×
Kaba Nan Baru Update