Ditulis Oleh : Serly Safitri (Guru SMAN 1 SUMBAR)
Setiap hari di media massa cetak maupun elektronik kita mendengar dan melihat berita korupsi, kolusi, nepotisme. Pencurian dan penculikan dimana-mana. Belum lagi, pemimpin-pemimpin kita yang adu jotos dalam sidang-sidang kehormatan. Lalu lihat juga berapa banyak kasus-kasus narkoba di negara ini. Pelecehan seksual baik kepada anak di bawah umur maupun yang lainnya. Tidak hanya itu, saksikanlah remaja-remaja yang telah meniru-niru budaya barat. Mereka lebih bangga berpakain dan bertingkah laku layaknya orang barat dibandingkan menggunakan dan memakai budaya sendiri. Memalukan! Itu kata yang tepat untuk kebobrokan karakter bangsa Indonesia.
Dengan melihat kondisi bangsa Indonesia hari ini siapa yang bertanggungjawab dengan semua itu? Pendidikan bisa jadi sebagai salah satu pihak yang harus bertanggungjawab. Pendidikan dipercaya sebagai pembentuk karakter bangsa. Dengan memperhatikan tujuan pendidikan nasional pada UU No. 2 tahun 1989 dan 2003 jelaslah bahwa pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi juga membentuk karakter warga negara yang berbudi luhur, berakhlak mulia. Dengan demikian, tidak salah lagi yang bertanggungjawab terhadap kebobrokan karakter bangsa salah satunya adalah sistem pendidikan nasional.
Mensinergikan Pendidikan formal, Nonformal dan Informal
Namun, hancurnya karakter bangsa bukan semata kesalahan pendidikan formal. Pendidikan bukan hanya terdapat di bangku sekolah-sekolah resmi, tetapi pendidikan terbagi tiga, pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Selanjutnya, pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri. Ketiga aspek inilah yang bertanggungjawab penuh terhadap karakter bangsa Indonesia.
Mencermati kondisi saat ini, yang mana ketiga aspek yang disebut di atas tidak berjalan secara bersinergi. Mereka tidak saling mendukung untuk membangun karakter bangsa yang diidam-idamkan. Mereka cenderung berjalan terpisah. Tidak ada penyatuan misi dan visi untuk pembentukan karakter anak. Akibat tidak adanya kerjasama tersebut tidak ada kontrol menyeluruh terhadap perbuatan dan sikap peserta didik. Ada kalanya seorang peserta didik yang mempunyai sikap baik dan penurut di lingkungan keluarga menjadi pribadi yang tidak menyenangkan di lingkungan sekolah, misalnya saja ikut tawuran dan lain sebagainya.
Pendidikan informal khususnya pendidikan di keluarga merupakan pendidikan yang paling awal yang diterima anak ketika terlahir ke dunia. Seperti kertas kosong, didikan dan ajaran dari lingkungan keluargalah yang mengisi otak dan pikiran seorang anak pertama kali. Inilah sebagai fondasi paling kokoh yang akan menjadi pedoman seorang anak nanti bersikap dan bertingkah laku.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan di lingkungan keluarga. Alasannya, PAUD adalah tahap belajar pertama dan paling kritis dalam belajar sepanjang hayat. Sebesar 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun). Pemerintah kita seharusnya memberikan arahan-arahan dan panduan bagaimana mendidik anak yang baik kepada ibu yang telah melahirkan melalui posyandu-posyandu di setiap daerah. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat Indonesia yang kurang gemar membaca. Pada tahap-tahap berikutnya, pemerintah juga perlu mencanangkan suatu program guna mensinergikan pendidikan keluarga dengan sekolah.
Pendidikan Karakter yang Menyeluruh Berbasis Budaya
Lalu, mari kita lihat sistem pendidikan formal Indonesia. Pertanyaannya apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia? Mengapa Indonesia belum berhasil mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia? Tidak bisa dipungkiri lagi, bangsa Indonesia berada dalam keadaan ‘sakit’. Untuk penyembuhannya diperlukan tindakan tegas dan segera dari dunia pendidikan. Tindakan yang diperlukan untuk membentuk karakter bangsa yang diinginkan adalah pendidikan karakter yang meyeluruh. Pada tahun 2014 memang sudah mulai diberlakukan kurikulum 2013 pada sekolah-sekolah tertentu yang mengusung karakter pada urutan pertama. Kurikulum ini sangat bagus. Sarat dengan nilai-nilai karakter dan terintegrasi dengan budaya untuk mendidik peserta didik menjadi insan yang berakhlak mulia dan berbudi luhur.
Namun, kenyataan di sekolah kurikulum 2013 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagian besar pendidik masih menerapkan cara, metode dan muatan karakter yang sama dalam mengajar dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, pendidikan karakter dan latar budaya tidak menjadi acuan penting dalam mendidik peserta didik. Akibatnya, bisa kita rasakan sekarang, mereka menjadi pribadi yang egois, tidak mempunyai toleransi dan cenderung semena-mena.
Untuk melakukan pendidikan karakter yang menyeluruh diperlukan pendidik yang berkarakter juga. Bagaimana mungkin menanamkan karakter kepada peserta didik apabila si pendidik tidak mempunyai karakter yang diharapkan. Seperti yang kita ketahui, cara yang paling mudah menanamkan karakter tersebut adalah dengan memberikan teladan langsung kepada peserta didik.
Oleh sebab itu, agar penanaman karakter kepada peserta didik berhasil, maka hal pertama yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah dengan mengadakan program-program yang mendukung penanaman karakter kepada pendidik itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan pendidik mempunyai karakter yang berbudi luhur yang akan bisa diteladani oleh peserta didik ke depannya.
Hilangkan Persaingan Tumbuhkan Kerja Sama
Selanjutnya, pola pikir yang perlu dirubah adalah tentang persaingan. Untuk menanamkan toleransi, kerja sama, dan tolong menolong kepada peserta didik maka persaingan antar peserta didik harus dihindari. Peserta didik seharusnya bersaing bukan dengan orang lain melainkan dengan dirinya sendiri. Persaingan menjadikan peserta didik berpikiran sempit. Mereka mengukur kemampuan dan prestasinya dengan peserta didik lain. Akibatnya, mereka menganggap teman sebayanya adalah saingannya. Mereka akan merasa senang apabila bisa mengalahkan peserta didik lain. Hal ini menimbulkan karakter yang tidak bagus pada peserta didik tersebut. Oleh sebab itu, perlombaan-perlombaan antar peserta didik tersebut sebaiknya dihapuskan.
Sebaliknya, perlombaan-perlombaan tersebut bisa diganti dengan suatu proyek. Dengan melaksanakan kegiatan atau proyek bersama, mereka akan belajar kerja sama, toleransi dan saling tolong serta menghargai orang lain selanjutnya akan terbentuk rasa kebhinekaan. Bedanya dengan perlombaan mereka bisa saling belajar tanpa harus menjatuhkan peserta didik lain. Dengan cara ini lah akan terbentuk kebhinekaan antar peserta didik yang nantinya akan berkembang menjadi kebhinekaan antar suku bangsa dan ras.
Kita bisa bercemin kepada negara yang mempunyai mutu pendidikan terbaik dunia, yaitu Finlandia. Peserta didik mereka sangat jarang mengikuti kejuaraan seperti olimpiade sains internasional. Namun, mutu pendidikan mereka diakui terbaik pada tingkat internasional. Lain halnya dengan Indonesia, peserta didik kita sering memenangkan kejuaraan-kejuaraan olimpiade sains tingkat internasional, tetapi hal itu tidak menjadikan Indonesia mempunyai mutu pendidikan yang bagus. Dari fenomena tersebut, kita bisa mengoreksi dan menyadari kesalahan sistem pendidikan kita untuk merevolusi karakter bangsa yang bermartabat.