Notification

×

Iklan

Iklan

Sindrom Psikologis Pra Dan Pasca Pilkada

22 Agustus 2017 | 20:37 WIB Last Updated 2017-08-22T14:09:14Z


PASBANA.com - Sebuah peristiwa politik yang melibatkan masyarakat secara massal dan massif sedikit banyak akan memberi pengaruh pada psikologis mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hal tersebut cukup manusiawi , mengingat dalam konstelasi politik tentu akan ada yang menang, dan ada pula yang kalah. Ada yang bahagia karena tercapai yang diharapkan, namun tidak yang kecewa dan galau.

Peristiwa politik seperti Pilkada ( 27 Juni 2018 nanti, 171 daerah akan melaksanakan Pilkada Serentak) yang diliput media massa secara luas, bisa mempengaruhi kondisi psikologis dan kesehatan mental banyak orang. Stres, gangguan pikiran dan suasana hati atau perubahan perilaku dapat terjadi akibat terlalu terlibat dalam proses politik tersebut.

Political Stress Syndrome

Sebagian orang menyebut kondisi gangguan kejiwaan (psychiatric disorder) tersebut sebagai Political Stress Syndrome (PSS). Istilah ini --dan beberapa istilah turunannya berikutnya-- bisa jadi memang bukan (atau belum?) jadi istilah ‘resmi’ dalam disiplin psikologi, dan lebih sebagai istilah yang populer di kalangan jurnalis, penulis media/blog dan pengamat serta aktivis sosial/politik saja.

Political Stress Syndrome yang terkait dengan Pemilu bisa dibagi dua:

(1)    Sindrom Pra-Pemilu

Diawali dengan terlalu banyaknya informasi yang berkaitan dengan Pilkada, menjadikan beberapa orang jenuh. Hal ini ditunjukkan dengan meng-unfriend, di-unfried oleh teman di media sosial yang kurang berkenan dengan sebuah postingan. Hal tersebut kemungkinan ada hubungannya dengan sindrom yang oleh sebagian orang disebut sebagai Pre-Election Stress Syndrom (PrESS).

Beberapa literatur menjelaskan gejala awalnya yang bisa dilihat orang awam, seperti: kekhawatiran atau kecemasan bila terkena imbas kampanye (mendengar/melihat informasi seputar kampanye, melihat media kampanye Pemilu dan lain-lain.

Atau sebaliknya menjadi terlalu asyik dan menjadi terlalu terlibat dengan kampanye politik, dan kesulitan untuk mengambil jarak dari proses kampanye politik;

Perasaan kelelahan jika mendengar atau terlibat dalam pembicaraan politik, dan menjadi merasa kurang tertarik untuk terlibat dalam Pemilu (misalnya, menjadi sangat frustrasi dan tidak lagi ingin memberi suara dalam Pemilu);

Merasa kecewa, jijik, atau depresi terhadap: (a) Keadaan negara; (b) Integritas rakyat; atau (c) Masa depan diri sendiri;


(2)    Sindrom Pasca-Pemilu

Sebagian orang menyebut sindrom pasca-Pemilu ini sebagai Post-Election Stress Syndrom (PoESS). Tapi, ternyata ada banyak sekali istilah yang digunakan para penulis terkait sindrom tersebut, diantaranya: Post-Election Stress (PES); Post-Election Syndrome (PES); Post-Election Depression (PED); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post-Election Loss Syndrome (PELS); Post-Election Depression Syndrome (PEDS); Post Election Traumatic Syndrome (PETS); Post-Election Selection Trauma (PEST); Post-Election Stress Disorder (PESD); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post Election Selection Syndrome(PESS); Post-Election Withdrawl Syndrome(PEWS); Post-Election Stress and Trauma Syndrom (PESTS); Post-Election Traumatic Stress Disorder (PETSD).

Sindrom ini tidak sebatas dialami oleh pihak yang kalah saja, tapi juga bisa terjadi di kubu yang menjadi pemenang, meskipun kelihatannya memang lebih banyak dialami oleh kubu yang kalah tadi. Penyebabnya bisa sangat beragam, yang diantaranya: Merasa telah memenangi Pemilihan, tapi kemenangan itu telah dicuri oleh pihak pesaing; Merasa menang, dan kemenangannya dicuri pihak pesaing politik; Kekecewaan karena angan-angan dan harapan mereka untuk memperoleh jabatan, kehormatan, gaji yang tinggi  dan fasilitas yang berlimpah tidak dapat dicapai; Ketidakpuasan dengan proses dan hasil Pemilihan; Kesulitan menerima kemenangan pihak pesaing;  Keengganan menerima dan mengakui kekalahan.

Ekspresi dari sindrom pasca-Pilkada ini bisa jadi berbeda bentuk dan kadarnya pada tiap-tiap orang. Stress-nya seorang Calon yang kalah dalam Pilkada bisa jadi beda bentuknya dengan stress-nya Tim Suksesnya atau sekedar pendukung ‘fanatik’ yang cuma aktif di media sosial saja. Meskipun istilah yang digunakan juga sangat beragam, namun semuanya memiliki kemiripan karena merujuk pada sejumlah gejala (symptoms) yang di dalamnya termasuk --tapi tidak terbatas pada--;

--> Perasaan tertekan dan kosong setelah hari pencoblosan; sibuk membuka link internet tanpa tujuan, mencari-cari sesuatu yang tidak jelas; merasa lelah tanpa sebab yang jelas; menarik diri; merasa tidak peduli; merasa terganggu melihat simbol-simbol kampanye Pemilu; perasaan terisolasi; marah; emosional dan kepahitan; kebencian; bicara kasar, agresif atau pasif-agresif; berkomentar sembarangan yang bernada menghina atau merendahkan pihak ‘lawan politik’ di media sosial; melamun; kehilangan nafsu makan; sulit tidur; mimpi buruk; kemurungan mendalam termasuk merajuk tak berujung; menjadi terlalu khawatir tentang arah dan masa depan negara; merasa kehilangan harga diri; dll. Dalam skala yang akut, sindrom dapat berupa dorongan melakukan bunuh diri, melakukan amuk publik (public tantrums), atau menghasut orang lain untuk berbuat kerusuhan, dan lain-lain.

Bisa dibilang bahwa yang terjadi mirip dengan efek ‘pasca-pesta’ yaitu perasaan sepi setelah secara tiba-tiba semua histeria, keramaian, kehebohan, kegaduhan, dan ketegangan mereda atau usai, dan harus menerima realitas dan kembali melanjutkan hidup. Orang atau individu yang terkena sindrom ini kemungkinan dapat terlibat dalam kegiatan irasional impulsif, yang akhirnya dapat menyebabkan terganggu bahkan hilangnya kehidupan sosial dan kehancuran ekonominya. Sementara kelompok masyarakat yang menderita sindrom ini juga dapat terjebak pada histeria massa, panik dan hiruk-pikuk kegilaan yang tindakannya mereka tidak dapat secara dijelaskan secara rasional, yang ujung-ujungnya juga dapat menimbulkan kerusakan yang luas dan susah dikendalikan .

Mari kita luruskan niat dan tujuan dalam menghadapi gelaran pesta demokrasi pada Pilkada Serentak 27 Juni 2018 nanti.( Inyong Budi)


Referensi: Catatan Chandra Kusuma 

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update