Padang -- DPRD Provinsi Sumatera Barat saat ini sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Barat Tahun 2017-2037 (Ranperda RZWP3-K).
Menanggapi pembahasn itu, kami dari Koalisi untuk Keadilan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat memandang bahwa Ranperda RZWP3-K sama sekali tidak menjawab kepastian hak masyarakat serta perlindungan ekosistem atas pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil di Sumatera Barat.
Pertama, dasar menimbang (konsideran) Ranperda RZWP3-K hanya memuat dasar yuridis tentang amanah pelaksanaan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU WP3-K). Dengan kata lain, ranperda ini tidak merumuskan pandangan hidup dan cita hukum, serta tujuan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang semestinya termuat dalam dasar filosofis dan sosiologis yang semestinya tercantum konsideran.
Kedua, berdasarkan Pasal 10 UU WP3-K, RZWP3-K Provinsi terdiri atas : (a) pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional tertentu, dan Alur Laut; (b) Keterkaitan antara Ekosistem Darat dan Ekosistem Laut dalam suatu Bioekoregion; (c) Penetapan pemanfaatan ruang laut; dan (d) Penetapan prioritas Kawasan Laut untuk tujuan konservasi, sosial, budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. Dari empat poin yang semestinya dimuat dalam perda ini, tidak satupun pasal yang mengatur tentang keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu Bioekoregion, sebagaimana amanat UU WP3-K .
Bioekoregion adalah bentang alam yang berada dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. Ranperda RZWP3-K cenderung mengatur pemanfaatan dan perlindungan wilayah pesisir tanpa melihat keterikatan antara aktivitas yang dilakukan di darat yang berdampak pada ekosistem laut, terutama terkait dengan aktifitas pada Daerah Aliran Sungai (DAS) baik itu di hulu, sepanjang aliran dan hilir sungai (muara).
Oleh karena itu, sinkronisasi kewenangan yang dimiliki oleh pemeritah daerah provinsi, baik itu pada sektor pertanahan, perkebunan, pertambangan, kehutanan dan lingkungan hidup serta kelautan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah semestinya dapat dirumuskan dalam ranperda ini, seperti mengevaluasi perizinan yang bersifat eksploitatif di daratan yang berpengaruh dan berdampak pada ekosistem laut, sehingga terjadi sinkronisasi tata ruang darat, pesisir dan laut di Sumatera Barat.
Ketiga, Ranperda RZWP3-K membatasi hak dan akses masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfataan kawasan pesisir dan pulau kecil. Di sisi lain, rancangan kebijakan ini cenderung melegalisasi aktivitas pengelolaan dan pemanfataan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil yang berpotensi merusak ekosistem.
Pada BAB I Ranperda tentang Ketentuan Umum, pada Pasal 1 angka 49, terdapat pengertian masyarakat, yang menyatakan bahwa masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya, Pasal 1 angka 50 menjelaskan pengertian masyarakat lokal, dan pada Pasal 1 angkat 51 menjelaskan pengertian masyarakat tradisional. Sementara itu, definisi masyarakat hukum adat tidak dijelaskan dalam ranperda ini.
Selanjutnya, tidak satu pun pasal dalam Ranperda membahas tentang keberadaan dan hak masyarakat hukum adat pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Padahal, pada UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terjadi perubahan cara pandang terhadap masyarakat hukum adat, terutama pada Pasal 27 yang menyatakan bahwa pemanfataan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan Perairan Pulau-Pulau Kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat. Pasal tersebut diperkuat dengan pasal sebelumnya pada Pasal 22 yang menyatakan kewajiban memiliki izin (izin lokasi dan izin pengelolaan) kecuali bagi Masyarakat Hukum Adat.
Jika merujuk kondisi Sumatera Barat yang memiliki Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 tentang Nagari, maka Masyarakat Hukum Adat di Sumatera Barat terhimpun dalam unit Nagari, dan saat ini Kabupaten Kepulauan Mentawai sedang melakukan pembahasan terkait dengan Ranperda Perlindungan, Pengakuan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.
Artinya, masyarakat hukum adat itu ada dan eksis di Sumatera Barat, dan berhak atas pemanfaataan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. Dengan kata lain, Ranperda RZWP3-K menutup mata atas keberadaan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Hal ini berpotensi mengancam dan melanggar hak masyarakat hukum adat yang telah digariskan oleh konstitusi.
Pemberian izin pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, berpotensi mengkapling kawasan dengan berbagai macam zonasi dan izin lokasi, izin pengelolaan, serta pengrusakan lingkungan. Hal ini tentu akan berdampak pada pembatasan hak dan akses masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Dengan demikian, ranperda ini berpotensi besar menjadi pemicu konflik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sumatera Barat.
Koalisi memandang bahwa Ranperda RZWP3-K sangat kompleks, perlu dibahas dengan hati-hati dan cermat oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat. Karena hal ini akan berdampak luas bagi Sumatera Barat yang memiliki 185 pulau kecil, dengan luasan 186.580 Km persegi. Pelibatan semua pihak menjadi penting, terutama untuk memperkuat keberadaan hak masyarakat dan perlindungan ekosistem darat dan laut di Sumatera Barat.
Padang, 1 Agustus 2017
Hormat kami,
Koalisi untuk Keadilan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat
-----
[Narahubung,
Rifai Lubis : 081374797855]