PADANG - Walikota Padang Mahyeldi Ansharullah Dt. Marajo menyesalkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terkait Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Sumatera Barat tahun 2016. Pasalnya, hasil survei yang menyatakan IDI Sumbar tergolong "buruk" itu karena adanya perda - perda agama, terutama yang diterapkan di Kota Padang.
"Karena adanya perda agama, seperti berpakaian muslim, membaca Alquran dan penolakan LGBT itu menjadikan Sumbar masuk kategori buruk dalam tingkat demokrasi . Apa metodologi dan dasar yang digunakan tim survei BPS?" kecam Mahyeldi di Padang, Jumat (21/9/2017).
Mahyeldi menganggap persoalan ini serius dan sangat sensitif. Hasil survei yang dikeluarkan BPS untuk IDI Sumbar akan mempengaruhi persepsi publik terhadap kebijakan dan produk pemerintah. Padahal produk seperti perda merupakan hasil dari proses demokrasi bersama wakil rakyat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat.
"Bagaiamana mungkin hasil dari proses demokrasi justru menurunkan indeks demokrasi. Ini menunjukkan tim BPS membuat penilainnya tidak dengan kacamata demokrasi," kata Mahyeldi.
Mahyeldi menengarai, IDI yang dikatakan BPS sebagai alat untuk mengukur perkembangan demokrasi khas Indonesia ditumpangi pemikiran yang tidak sensitif terhadap kearifan lokal dan kondisi masyarakat. IDI hanya mengukur kuantitas berdasarkan pemberitaan media yang belum tentu sebuah fakta.
"Tidak semua berita di media adalah fakta yang benar sehingga menjadi refleksi realitas dari yang terjadi," kata Mahyeldi.
Mahyeldi tidak saja menyebut hasil survei IDI Sumbar itu sebagai sebuah kekeliruan berpikir, politisi PKS ini juga meminta tim BPS hadir di Padang untuk berdiskusi terkait hal tersebut. Pasalnya yang banyak dipermasalahkan adalah perda agama seperti yang ada di Kota Padang.
Sebelumnya, Walikota Padang didampingi Kabag Humas Imral Fauzi serta sejumlah jajaran Pemko Padang telah mengadakan pertemuan dengan Kepala BPS Sumbar dan BPS Kota Padang.
BPS menjelaskan, survei IDI ini melibatkan sejumlah kementerian/lembaga dan tim ahli terdiri dari Prof. Maswardi Rauf (UI), Prof. Musda Mulia (UIN Syarif Hidayatullaj), Dr. Abdul Malik Gismar (Paramadina) serta Dr. Syarif Hidayat (LIPI).
Dari data BPS 2016, tiga aspek demokrasi yang diukur terlihat aspek kebebasan sipil mengalami penurunan 1,98 poin, aspek hak politik mengalami penurunan 15,44 poin, lembaga demokrasi juga turun sebesar 23,18 poin. Sehingga aspek kebebasan sipil masuk kategori buruk karena masih banyak jumlah tindakan atau pernyataan pejabat pemerintah yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat menjalankan ajaran agamanya.(**)