Pasbana -- Sungguh menjadi satu hal yang sangat ironis, Indonesia yang merupakan negara agraris namun faktanya Petani Indonesia adalah profesi yang terancam 'punah'. Saat ini rata-rata usia petani nasional mayoritas berumur 45 tahun ke atas.
Berdasarkan riset Pusat Penelitian Kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di Jawa Tengah mencapai 52 tahun. Namun, kaum muda yang bersedia melanjutkan usaha tani keluarga di sana hanya sekitar tiga persen.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Haning Romdiati, menegaskan keberadaan pertanian keluarga skala kecil atau lahan terbatas sangat penting dalam penyediaan pangan.
Menurut data Food and Agriculture Organization, organisasi pangan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 2014, pangan nasional dan global diproduksi masing-masing oleh 90 persen dan 80 persen pertanian keluarga skala kecil.
"Berkaca dari hasil survei ini, bila ke depan kondisinya tetap dibiarkan, maka Indonesia mengalami krisis petani. Pemerintah harus membuat kebijakan regenerasi petani," kata Haning di Gedung LIPI Jakarta, Rabu 20 September 2017.
Ia menekankan keberadaan pemuda untuk melanjutkan usaha tani keluarga sangatlah penting. Selain untuk menjaga keberlanjutan pertanian, juga sebagai generasi penerus yang diharapkan melanjutkan usaha pertanian keluarga.
Di Sumatera Barat, penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 908.290 orang atau 36,83 persen, sektor perdagangan 569.300 orang atau 23,09 persen. Kemudian pada Februari 2017 sebanyak 868.150 orang atau 35,21 persen bekerja pada sektor formal dan 1,60 juta orang atau 64,97 persen bekerja pada sektor informal.
Sementara jumlah pengangguran pada Februari 2017 mencapai 151.900 orang dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,80 persen. Pada sisi lain jumlah angkatan kerja di Sumbar pada Agustus 2016 mencapai 2,617.870 orang atau bertambah 40.830 orang dibanding Februari 2016 yang mencapai 2.473.810 orang.
Badan Pusat Statistik Sumatera Barat menilai tingginya penganggur lulusan sarjana di Sumbar disebabkan oleh terbatasnya lowongan kerja yang sesuai untuk mereka. Dan menjadikan profesi petani bukanlah pilihan bagi para sarjana tersebut.[**]