Lubuk Basung - Sidang kriminalisasi masyarakat adat yang mengambil 2 batang kayu bayur kembali digelar hari ini Senin, 18 Desember 2017 dengan agenda nota keberatan Penasihat hukum atas dakwaan Penuntut Umum. Sidang digelar di Pengadilan Negeri Lubuk Basung dengan Perkara Pidana Nomor: 129/Pid.B/2017/PN.LBB, Terdakwa I Erdi Dt. Samiak dan dan Terdakwa II Agusri Masnefi.
Persidangan disaksikan oleh keluarga dan hampir seratusan masyarakat diantaranya merupakan ninik mamak, penghulu-penghulu suku, alim ulama, cadiak pandai (cerdik pandai), dan pemuda (parik paga nagari). Sempitnya ruang sidang memaksa sebagian besar masyarakat hanya bisa mendengar dari luar. Dari penasihat hukum Terdakwa hadir Era Purnama Sari, S.H,.M.H, dan Vino Oktavia, S.H,.M.H serta Penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Agam Yunita Eka Putri, S.H. dan Edmon Rizal, S.H. Sidang dipimpin oleh Majelis Hakim Duano Aghaka, S.H. sebagai Ketua Majelis, Shinta Nike Ayudia, S.H,.M.Kn dan Ida Maryam Hasibuan, S.H. sebagai Hakim anggota.
Tangis keluarga pecah begitu penasihat hukum membacakan nota keberatan setebal 24 halaman tersebut. Beberapa hal penting yang dibacakan penasihat hukum dalam nota keberatan adalah:
1.Mejelis Hakim tidak berwenang mengadili perkara, Pemeriksaan perkara yang didakwa dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, haruslah dilakukan oleh Majelis Hakim yang berjumlah 3 orang yang terdiri dari satu orang hakim karier di Pengadilan Negeri setempat dan dua orang hakim ad hoc”.
Faktanya ketiga Majelis Hakim yang mengadili perkara ini adalah hakim karier dan tidak ada satupun hakim ad hoc.
2.Perbuatan Terdakwa tidak bisa dipidana, menebang 2 (dua) batang kayu yang berada dalam tanah ulayat kaum yang telah dikuasai dan diwarisi secara turun temurun, apalagi telah sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Nagari Koto Malintang serta tidak pula digunakan untuk kepentingan komersil tidak dapat dipidana sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 95/PUU/-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 tentang Pengujian UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD RI 1945. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan “setiap orang yang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, sepanjang tidak dimaknai ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan disekitar kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”.
3.Dakwaan Penuntut Umum didasari dari Pemeriksaan yang tidak sah sehingga tidak dapat diterima. Erdi Pgl. Dt. Samiak dan Agusri Masnefi adalah masyarakat miskin yang diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Menurut hukum Terdakwa harus didampingi oleh penasihat hukum pada setiap tingkatan.
Selama pemeriksaan dilakukan oleh Penyidik, Penyidik Pembantu Polres Agam memang menunjuk seorang pengacara, namun kenyataannya, keduanya sama sekali tidak pernah didampingi, akan tetapi Penasehat hukum yang ditunjuk hanyalah sekedar “bertanda tangan” dalam BAP seolah-olah kedua Tersangka telah didampingi Penasihat Hukum dalam proses pemeriksaan di tingkat Penyidikan.
4.Penetapan kawasan hutan cagar alam Maninjau tahun 2016 sama sekali tidak diketahui apalagi melibatkan masyarakat nagari baik pemerintah nagari, ninik mamak, penghulu-penghulu suku apalagi keluarga Terdakwa. Kedua Terdakwa hanya mengetahui bahwa mereka memiliki tanah ulayat dan hutan ulayat yang dikelola secara turun temurun dari nenek moyang, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu keduanya tidaklah dapat dipidana atas penetapan kawasan hutan yang cacat prosedur bahkan sewenang-wenang.
Atas Nota keberatan Penasihat hukum Terdakwa, Penuntut umum menyatakan akan mengajukan pendapat Penuntut umum pada sidang yang akan datang. Penasihat hukum juga sempat mempertanyakan soal permohonan pengalihan penahanan kedua Terdakwa, namun menurut hakim akan diputuskan pada persidangan dimuka.
Majelis Hakim menunda persidangan selama 3 minggu dan akan digelar kembali pada tanggal 8 Januari 2018 dengan agenda penyampaian pendapat Penuntut umum atas Nota keberatan Penasihat hukum terdakwa. Penundaan sidang selama 3 minggu dikarenakan agenda Majelis hakim yang begitu padat dan keterbatasan Hakim di Pengadilan Negeri Lubuk Basung.
Setelah persidangan ditunda dan ditutup oleh Majelis hakim, keluarga dan masyarakat yang hadir keluar dari ruang persidangan. Isak tangis dari anak-anak dan istri terdakwa sambil menggiring mobil tahanan kejaksaan, karena tidak sanggup melihat ayahnya diborgol yang diperlakukan seperti penjahat besar. Beberapa orang yaitu Istri dan anak Masnepi sempat tidak sadarkan diri dan terpaksa di bopong ke atas mobil.
Kasus ini tidak hanya merupakan ketidakadilan terhadap kedua Terdakwa tetapi adalah ketidakadilan bagi masyarakat hukum adat nagari Koto Malintang yang telah diingkari dan diabaikan hak-haknya atas tanah/hutan ulayat.
Wali Nagari dan pemuka-pemuka adat Koto Malintang selama ini telah berhasil mendukung penerapan aturan adat yang sangat ketat bagi warganya yang membutuhkan kayu untuk kebutuhan keluarga. Penebangan kayu baik yang berada di dalam hutan ulayat maupun dalam parak masyarakat sendiri berlaku aturan adat yang harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemilik kayu, ninik mamak, Ketua KAN dan Wali Nagari dengan syarat hanya untuk kebutuhan sendiri dan tidak untuk tujuan komersil.
Warga yang akan menebang kayu juga diminta untuk menanam kembali minimal 2 (dua) batang kayu sebagai penggantinya, bahkan setiap pengantin baru diwajibkan untuk menanam kayu sebelum proses administrasi nikah dikeluarkan.
Demikianlah kearifan lokal selama ini berjalan efektif sehingga sampai sekarang Nagari Koto Malintang telah mampu menjaga 372 hektar hutan masyarakat dan 500 hektar hutan lindung yang di wilayah Nagarinya berdasarkan aturan adat dan kearifan lokalnya.
Terbukti pada tahun 2013 Nagari Koto Malintang mendapatkan anugrah Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup yang diserahkan langsung Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada tanggal 10 Juni 2013, karena mampu sebagai penjaga hutan di Nagari Koto Malintang berdasarkan nilai-nilai kearifan lokalnya. Namun kearifan lokal sepertinya akan terus dibayar dengan kriminalisasi masyarakat adat di atas ulayatnya sendiri. (**)