PADANG — Ranperda Nagari yang disyahkan DPRD Sumbar menjadi Perda pada Jumat (27/12) lalu ternyata menuai kritikan dan perdebatan.
Salah satu yang diperdebatkan adalah tentang masuknya Bundo Kanduang ke dalam keanggotaan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Pada poin 2 Pasal 6 Perda Nagari disebutkan, KAN keanggotaannya terdiri dari perwakilan ninik mamak dan unsur alim ulama nagari, unsur bundo kanduang (BK), unsur cadiak pandai, dan unsur parik paga dalam nagari yang bersangkutan yang sesuai dengan adat salingka nagari.
Salah satu orang yang mengkritik hal itu merupakan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Andalas, Dr. Emeraldy Chatra. Ia mengkritik masuknya bundo kanduang ke dalam institusi KAN. Sepengetahuannya, baru kali ini terjadi dalam sejarah Minang—dalam Perda Nagari ini—bundo kanduang disandingkan dengan niniak mamak dalam kapasitas sebagai pemimpin adat. Dalam Perda 13 Tahun 1983 tentang Kembali ke Pemerintahan Nagari, hanya tiga unsur masuak ke dalam KAN, yakni niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Ketiganya disebut tigo tali sapilin.
“Masuknya BK ke dalam institusi KAN menandakan KAN telah kemasukan virus kesetaraan gender. Ide kesetaraan gender itu ada dalam paham feminisme, sebuah paham sekuler dari barat. Feminisme dan kesetaraan gender itu bertentangan sacara diametral dengan paham adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah(ABS-SBK).
Karena itu, KAN akan mengalami kekacauan paham,” ujar pangulu di Limapuluh Kota yang bergelar Datuak Rajo Malano itu di Padang, seperti yang dilansir oleh Haluan.com Selasa ( 2/1 ) kemarin.
Menurut Emeraldy, masuknya bundo kanduang ka dalam institusi KAN mambuka peluang bagi perempuan menjadi ketua KAN. Hal itu akan memperparah keterpurukan niniak mamak sebagai pemimpin adat di Minangkabau.
Oleh karena itu, Emeraldy menyarankan dalam perda itu bundo kanduang masuk ke dalam institusi Badan Musyawarah (Bamus) saja dalam pemerintah nagari, bukan masuk ke dalam KAN.
Berdasarkan hal itu, Emeraldy menyimpulkan, Perda Nagari itu indak memperkuat kepemimpinan adat, malah condong meminggirkan, padahal seharusnya kepemimpinan adat yang telah terpuruk itu diberdayakan kembali.
Pendapat yang berbeda datang dari Ketua Bundo Kanduang Sumatra Barat, Raudha Taib. Ia berpendapat, tidak ada masalah apabila bundo kanduang masuk ke dalam KAN karena di dalam KAN ada niniak mamak, yang di dalamnya terdapat perempuan. Ia menjelaskan, niniak mamak terdiri dari dua kata, yakni niniak dan mamak. Niniak adalah perempuan, sedangkan mamak adalah laki-laki, urang ampek jinih, yakni pangulu, malin, dubalang, dan manti.
“Ini bukan persoalan kesetaraan gender. Niniak dan mamak punya peran masing-masing di KAN. Mamak basisnya hukum, sebagai pengeksekusi, sedangkan niniak basisnya moral. Niniak punya peran dalam KAN. Ibarat managemen perusahaan modern, bundo kanduang adalah pemegang saham di Minang, sementara laki-laki adalah pengelolanya. Siapa yang akan menjadi direksi (pangulu), bundo kanduanglah yang menentukannya dengan melihat ranji,” tuturnya.
Di Minang, kata Raudha, bundo kanduang tidak bisa masuk ke dalam urang ampek jinih. Karena itu, tidak masuk akal apabila bundo kanduang dikhawatirkan menjadi ketua KAN atau menjadi urang ampek jinih, dan imam serta khatib.
“Jangan cemas bundo kanduang masuk ke dalam KAN. Bundo kanduang tidak akan menuntut kesetaraan gender. Apabila ada perempuan Minang menuntut keseteraan gender, berarti dia tidak memahami adat Minang yang sangat menghargai perempuan. Apabila ada laki-laki yang khawatir perempuan Minang menuntut kesetaraan gender, berarti dia tidak mengerti adat Minang,” ucapnya.
Sebagai ketua Bundo Kanduang Sumbar, Raudha menyatakan, ia mendukung bundo kanduang masuk ke dalam KAN seperti yang terdapat dalam Perda Nagari.
Dikutip dari : Haluan.com