Padang - Sebuah tulisan yang memotret permasalahan sosial budaya di tepian Danau Singkarak bakal segera diluncurkan. Kumpulan tulisan ini merupakan output dari Program AKUMASSA Bernas yang digagas oleh Forum Lenteng, sebuah lembaga egaliter non-profit yang fokus di bidang sosial dan budaya, terutama produksi dan distribusi pengetahuan tentang media, sinema, dan kesenian.
Buku yang bakal diluncurkan dan dibedah dalam rangkaian program AKUMASSA Bernas #1 ini , berjudul " Sore Kelabu Di Selatan Singkarak " .
Bertindak sebagai penyelenggara adalah Komunitas Gubuak Kopi (Solok, Sumatera Barat) bekerja sama dengan Forum Lenteng (Jakarta ) bertempat di Galeri Kubik Koffie, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu ( 21/02) pukul 19.30 WIB. Penulisnya adalah Albert Rahman Putra dan diterbitkan oleh Penerbit Forum Lenteng.
Buku kumpulan tulisan ini diterbitkan oleh Forum Lenteng (Jakarta), menghadirkan 11 (sebelas) tulisan tentang situasi sosial-budaya dan lingkungan di sekitaran Danau Singkarak, Solok, Sumatera Barat, yang mulai ditulis sejak tahun 2015 hingga 2017.
AKUMASSA Bernas adalah pengembangan dari PROGRAM AKUMASSA, yakni sebuah program yang khusus menaruh perhatian pada isu pendidikan dan pemberdayaan media berbasis komunitas, membingkai persoalan-persoalan sosial-budaya masyarakat melalui perspektif warga, dan aktif menyelenggarakan berbagai lokakarya bersama komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah untuk memproduksi pengetahuan lokal yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Sebelumnya, Forum Lenteng dengan PROGRAM AKUMASSA-nya juga telah menerbitkan buku, berjudul Kajian Terhadap Sajian Informasi Media Massa Lokal Melalui Lima Kategori Isu (GoodGovernance, Hak Asasi Manusia, Perempuan dan/atau Anak, Kriminalitas, dan Lingkungan Hidup) dari Perspektif akumassa (Jakarta: Forum Lenteng, 2013), yang diproduksi lewat proyek penelitian Rekam Media: Pemantauan Media Berbasis Komunitas, bekerja sama dengan 10 orang warga yang didorong menjadi peneliti/pemantau/pengulas isi berita media massa.
Dalam buku kumpulan tulisan berjudul SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK ini, Albert merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak. Albert mengamati situasi ini sejak tahun 2010 yang kemudian dibingkai ke dalam 11 tulisan. Isu-isu tersebut antara lain tentang kondisi liungkungan, peseteruan warga, keberadaan tambang dan dampaknya pada situasi sosial masyarakat, kebijakan dan respon pejabat pemerintah, serta jalur dagang warisan kolonial melalui penelusuran sejumlah arsip sejak tahun 1818.
Kegiatan peluncuran buku ini juga menghadirkan dialog bersama Direktur PROGRAM AKUMASSA, Otty Widasari (seniman, penulis, kurator) editor buku; Ketua Gubuak Kopi, Albert Rahman Putra (pegiat budaya dan kurator) selaku penulis; serta Esha Tegar Putra (penulis/kritikus sastra) selaku pembahas. Diskusi tentang buku ini akan dimoderatori oleh Andini Nafsika (penyair dan pegiat sastra di Shelter Utara, Padang).
Di tepian barat Danau Singkarak, perkampungan terhubung dangan jalur-jalur kecil antardesa dan ke jalur utama yang merupakan warisan kolonial.
Tidak ada kapal-kapal besar yang mampu mengangkut ratusan orang seperti yang pernah diceritakan Raffles, tidak ada pula pelabuhan Saniangbaka yang dulu menjadi jalur perdagangan utama masyarakat Minangkabau, jauh sebelum Eropa masuk tahun 1818.
Kini, hanya para nelayan yang setiap hari melintasi perairan danau, di samping kapal wisata yang hilang timbul, atau kapal patroli yang kesulitan bensin. Tepian danau itu kini dihuni oleh banyak rumah dan kedai yang seakan mengapung di bibir danau; diisi oleh sebagian besar warga pebukitan timur danau, dari Simawang hingga Aripan.
Kisah-kisah tentang Danau Singkarak itu kini muncul dari sampah-sampah yang mengapung di perairan, dari ruang-ruang kedai yang tak berizin, dari kapal-kapal yang sesekali melintas, dari nelayan-nelayan yang acuh tak acuh, dari kegelisahan-kegelisahan warga yang sudah terbiasa maklum dan tak jarang waswas, beriringan dengan sejumlah tanya tentang keterlibatan pemilik perusahaan dan para pejabat di dalam penataan ruang dan keasrian danau yang krisis pengelolaan dan keindahan.
Mengamatinya secara intim sejak 2010, lima tahun kemudian Albert Rahman Putra mulai merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisahkisah yang bergulir di seputar danau itu, tentang kondisi lingkungannya, kerusakan jalan yang mengitarinya, perseteruan warga di sejumlah desa sekelilingnya, keberadaan perusahaan tambang di dekatnya, respon pejabat lokalnya, juga sejarah tentang jalur dagang warisan kolonial.
Buku ini adalah adalah kumpulan tulisan berupa refleksi seorang warga lokal yang berusaha melakukan otokritik terhadap masyarakatnya sendiri; membayangkan dampak-dampak yang akan datang duapuluh atau tigapuluh tahun lagi dari peristiwa-peristiwa yang nyata terjadi pada masa sekarang di sekitar Danau Singkarak.
Tentang Penulis
Albert Rahman Putra lahir di Solok, 31 Oktober 1991, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis dan pegiat media alternatif yang berbasis di Solok, Sumatera Barat.
Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang dengan fokus studi kajian seni karawitan (2009-2015). Tahun 20-11, ia mendirikan Lembaga Pengembangan Pengetahuan Seni dan Media Gubuak Kopi (atau lebih dikenal dengan nama Komunitas Gubuak Kopi, yakni sebuah kolompok studi budaya nirlaba di Solok yang fokus pada penelitian dan pengembangan pengetahuan seni dan media berbasis komunitas.
Bersama lembaga ini, Albert aktif memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan tentang kesenian, literasi media, dan pemberdayaan, terutama lewat kegiatan-kegiatan kreatif, pengorganisasian kolaborasi antara profesional (seniman, penulis, dan peneliti) dan warga secara partisipatif, pengembangan media lokal dan sistem pengarsipan, serta pengelolaan ruang alternatif demi kesadaran budaya di tingkat akar rumput di lingkup lokal kota kelahirannya.
Sejak tahun 2012, Albert adalah salah satu kontributor yang paling aktif menulis untuk Program AKUMASSA yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng. Pada tahun 2013 ia dan beberapa kawan mendirikan ruang diskusi dan kajian musik otarabumalam, program ini pada tahun 2014 melahirkan sub-program ruang presentasi musik berkala: “Musik Tanpa Batas” yang kini dikelola sebagai program utama oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Seni Karawitan ISI Padangpanjang.
Selain itu sejak tahun 2014 ia juga aktif berkegiatan bersama kelompok musik Orkes Taman Bunga selaku manager. Tahun 2017, ia dan teman-temannya di Komunitas Gubuak Kopi menjadi partisipan lokakarya AKUMASSA Solok, dan sejak itu ia semakin aktif menyelenggarakan peristiwa-peristiwa kesenian berbasis media dan menjadi kurator seni untuk berbagai perhelatan proyek dan pameran yang diadakan di Sumatera Barat.
Pada bulan Oktober 2017, Albert menjadi salah satu tokoh muda Indonesia yang di-highlight oleh Kompas karena aksi-aksi kreatif dan progresifnya bersama Komunitas Gubuak Kopi demi pengembangan pengetahuan sosial-budaya di Solok. ***