Notification

×

Iklan

Iklan

Komunitas Gubuak Kopi Dan Forum Lenteng Luncurkan Buku " Sore Kelabu Di Selatan Singkarak"

15 Februari 2018 | 21:13 WIB Last Updated 2018-02-15T14:13:04Z

Padang - Sebuah tulisan yang memotret permasalahan sosial budaya di tepian Danau Singkarak bakal segera diluncurkan. Kumpulan  tulisan  ini  merupakan  output  dari  Program  AKUMASSA  Bernas  yang  digagas  oleh  Forum Lenteng,  sebuah  lembaga  egaliter  non-profit  yang  fokus  di  bidang  sosial  dan  budaya,  terutama produksi  dan  distribusi  pengetahuan  tentang  media,  sinema,  dan  kesenian. 

Buku yang bakal diluncurkan  dan  dibedah   dalam rangkaian program AKUMASSA Bernas  #1  ini , berjudul " Sore Kelabu Di Selatan Singkarak " . 

Bertindak sebagai penyelenggara adalah Komunitas  Gubuak  Kopi  (Solok,  Sumatera  Barat)  bekerja  sama  dengan Forum  Lenteng  (Jakarta ) bertempat di  Galeri  Kubik  Koffie,  Kota  Padang,  Sumatera  Barat, Rabu ( 21/02) pukul  19.30  WIB. Penulisnya adalah Albert  Rahman  Putra  dan diterbitkan oleh  Penerbit Forum  Lenteng.

Buku  kumpulan  tulisan  ini  diterbitkan  oleh  Forum  Lenteng  (Jakarta),  menghadirkan 11  (sebelas)  tulisan  tentang  situasi  sosial-budaya  dan  lingkungan  di  sekitaran  Danau  Singkarak, Solok,  Sumatera  Barat,  yang  mulai  ditulis  sejak  tahun  2015  hingga  2017.  

AKUMASSA  Bernas adalah  pengembangan  dari  PROGRAM  AKUMASSA, yakni  sebuah  program  yang  khusus  menaruh perhatian  pada  isu  pendidikan  dan  pemberdayaan  media  berbasis  komunitas,  membingkai persoalan-persoalan  sosial-budaya  masyarakat  melalui  perspektif  warga,  dan  aktif menyelenggarakan  berbagai  lokakarya  bersama  komunitas-komunitas  lokal  di  berbagai  daerah untuk  memproduksi  pengetahuan  lokal  yang  dibutuhkan  oleh  masyarakat  setempat. 

Sebelumnya, Forum  Lenteng  dengan  PROGRAM  AKUMASSA-nya  juga  telah menerbitkan  buku,  berjudul  Kajian Terhadap  Sajian  Informasi  Media  Massa  Lokal  Melalui  Lima  Kategori  Isu  (GoodGovernance,  Hak Asasi  Manusia,  Perempuan  dan/atau  Anak,  Kriminalitas,  dan  Lingkungan  Hidup)  dari  Perspektif akumassa  (Jakarta:  Forum  Lenteng,  2013),  yang  diproduksi  lewat  proyek  penelitian  Rekam  Media: Pemantauan  Media  Berbasis  Komunitas,  bekerja  sama  dengan  10  orang  warga  yang  didorong menjadi  peneliti/pemantau/pengulas  isi  berita  media  massa.

Dalam  buku  kumpulan  tulisan  berjudul  SORE  KELABU  DI  SELATAN  SINGKARAK  ini,  Albert  merekam fragmen-fragmen  kejadian  dan  kisah  yang  bergulir  di  sekitaran  Danau  Singkarak.  Albert  mengamati situasi  ini  sejak  tahun  2010  yang  kemudian  dibingkai  ke  dalam  11  tulisan.  Isu-isu  tersebut  antara  lain tentang  kondisi  liungkungan,  peseteruan  warga,  keberadaan  tambang  dan  dampaknya  pada  situasi sosial  masyarakat,  kebijakan  dan  respon  pejabat  pemerintah,  serta  jalur  dagang  warisan  kolonial melalui  penelusuran  sejumlah  arsip  sejak  tahun  1818.

 Kegiatan  peluncuran  buku  ini  juga  menghadirkan  dialog  bersama  Direktur  PROGRAM  AKUMASSA, Otty  Widasari  (seniman,  penulis,  kurator)  editor  buku;  Ketua  Gubuak  Kopi,  Albert  Rahman  Putra (pegiat  budaya  dan  kurator)  selaku  penulis;  serta  Esha  Tegar  Putra  (penulis/kritikus  sastra)  selaku pembahas.  Diskusi  tentang  buku  ini  akan  dimoderatori  oleh  Andini  Nafsika  (penyair  dan  pegiat  sastra di  Shelter  Utara,  Padang). 

Di  tepian  barat  Danau  Singkarak,  perkampungan  terhubung  dangan  jalur-jalur  kecil antardesa  dan  ke  jalur  utama  yang  merupakan  warisan  kolonial.
  Tidak  ada  kapal-kapal  besar yang  mampu mengangkut ratusan  orang  seperti  yang  pernah  diceritakan  Raffles,  tidak  ada pula  pelabuhan  Saniangbaka  yang  dulu  menjadi  jalur  perdagangan  utama  masyarakat Minangkabau,  jauh  sebelum  Eropa  masuk  tahun  1818. 

Kini,  hanya  para  nelayan  yang  setiap hari  melintasi  perairan  danau,  di  samping  kapal  wisata  yang  hilang  timbul,  atau  kapal  patroli yang  kesulitan  bensin.  Tepian  danau  itu  kini  dihuni  oleh  banyak  rumah  dan  kedai  yang seakan  mengapung  di  bibir  danau;  diisi  oleh  sebagian  besar  warga  pebukitan  timur  danau, dari  Simawang  hingga  Aripan. 

Kisah-kisah  tentang  Danau  Singkarak  itu  kini  muncul  dari  sampah-sampah  yang  mengapung di  perairan,  dari  ruang-ruang  kedai  yang  tak  berizin,  dari  kapal-kapal  yang  sesekali  melintas, dari  nelayan-nelayan  yang  acuh  tak  acuh,  dari  kegelisahan-kegelisahan  warga  yang  sudah terbiasa  maklum  dan  tak  jarang  waswas,  beriringan  dengan  sejumlah  tanya  tentang keterlibatan  pemilik  perusahaan  dan  para  pejabat  di  dalam  penataan  ruang  dan  keasrian danau  yang  krisis  pengelolaan  dan  keindahan.  

Mengamatinya  secara  intim  sejak  2010,  lima tahun  kemudian  Albert  Rahman  Putra  mulai  merekam  fragmen-fragmen  kejadian  dan  kisahkisah  yang  bergulir  di  seputar  danau  itu,  tentang  kondisi  lingkungannya,  kerusakan  jalan yang  mengitarinya,  perseteruan  warga  di  sejumlah  desa  sekelilingnya,  keberadaan perusahaan  tambang  di  dekatnya,  respon  pejabat  lokalnya,  juga  sejarah  tentang  jalur dagang  warisan  kolonial. 

Buku  ini  adalah  adalah  kumpulan  tulisan  berupa  refleksi  seorang  warga  lokal  yang  berusaha melakukan  otokritik  terhadap  masyarakatnya  sendiri;  membayangkan  dampak-dampak  yang akan  datang  duapuluh  atau  tigapuluh  tahun  lagi  dari  peristiwa-peristiwa  yang  nyata  terjadi pada  masa sekarang  di  sekitar  Danau  Singkarak. 

Tentang Penulis 

Albert  Rahman  Putra  lahir  di  Solok,  31  Oktober  1991,  biasa  disapa  Albert,  adalah  seorang  penulis dan  pegiat  media  alternatif  yang  berbasis  di  Solok,  Sumatera  Barat.  

Lulusan  Institut  Seni  Indonesia (ISI)  Padangpanjang  dengan  fokus  studi  kajian  seni  karawitan  (2009-2015).  Tahun  20-11,  ia mendirikan  Lembaga  Pengembangan  Pengetahuan  Seni  dan  Media  Gubuak  Kopi  (atau  lebih  dikenal dengan  nama Komunitas Gubuak  Kopi,  yakni  sebuah  kolompok  studi  budaya  nirlaba  di  Solok  yang fokus  pada  penelitian  dan  pengembangan  pengetahuan  seni  dan  media  berbasis  komunitas.

 Bersama  lembaga  ini,  Albert  aktif  memproduksi  dan  mendistribusikan  pengetahuan  tentang kesenian,  literasi  media,  dan  pemberdayaan,  terutama  lewat  kegiatan-kegiatan  kreatif, pengorganisasian  kolaborasi  antara  profesional  (seniman,  penulis,  dan  peneliti)  dan  warga  secara partisipatif,  pengembangan  media  lokal  dan  sistem  pengarsipan,  serta  pengelolaan  ruang  alternatif demi  kesadaran  budaya  di  tingkat  akar  rumput  di  lingkup  lokal  kota  kelahirannya.

 Sejak  tahun  2012,  Albert  adalah  salah  satu  kontributor  yang  paling  aktif  menulis  untuk  Program AKUMASSA yang diselenggarakan  oleh  Forum  Lenteng.  Pada  tahun  2013  ia  dan  beberapa  kawan mendirikan  ruang  diskusi  dan  kajian  musik  otarabumalam,  program  ini  pada  tahun  2014  melahirkan sub-program  ruang  presentasi  musik  berkala:  “Musik  Tanpa  Batas”  yang  kini  dikelola  sebagai program  utama  oleh  Himpunan  Mahasiswa Jurusan  (HMJ)  Seni  Karawitan  ISI  Padangpanjang.  

Selain itu  sejak  tahun  2014  ia  juga  aktif  berkegiatan  bersama  kelompok  musik  Orkes  Taman  Bunga  selaku manager.  Tahun  2017,  ia  dan  teman-temannya  di  Komunitas  Gubuak  Kopi  menjadi  partisipan lokakarya  AKUMASSA  Solok,  dan  sejak  itu  ia  semakin  aktif  menyelenggarakan  peristiwa-peristiwa kesenian  berbasis  media  dan  menjadi  kurator  seni  untuk  berbagai  perhelatan  proyek  dan  pameran yang  diadakan  di  Sumatera  Barat.  

Pada  bulan  Oktober  2017,  Albert  menjadi  salah  satu  tokoh  muda Indonesia  yang  di-highlight  oleh  Kompas  karena  aksi-aksi  kreatif  dan  progresifnya  bersama Komunitas  Gubuak  Kopi  demi  pengembangan  pengetahuan  sosial-budaya  di  Solok. ***

PILKADA 50 KOTA




×
Kaba Nan Baru Update