Notification

×

Iklan

Iklan

Miang Jilatang Di Subayang , Penampilan IPS Padangpanjang Dalam Festival Musik Rimbang Baling #1

11 Februari 2018 | 14:29 WIB Last Updated 2018-02-11T07:29:10Z

Oleh : Maya Sandita*)

Pasbana.com -- Januari lalu, Komunitas Sikukeluang yang diketuai Budi Utami mengadakan sebuah festival di Bukit Rimbang Baling. Wilayah yang berada di Kanagarian Koto Lamo, Desa Gema, Kampar Kiri, Riau ini adalah Kawasan Suaka Margasatwa yang memiliki luas 13.600 hektare (ha). 

Pernyataan tersebut disahkan dengan adanya Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 173/Kpts-II/1986 dan SK Gubernur Riau Nomor Kpts. 149/V/1982. KSM Rimbang Baling dinilai berpotensi menjadi habitat alami dan perkembangbiakan Harimau Sumatera yang hampir punah. 


Usaha untuk mewujudkan potensi tersebut perlu dilakukan, salahsatunya mengeluarkan larangan bagi manusia untuk beraktivitas di sana kecuali untuk riset, pendidikan, dan wisata terbatas. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa sebelum Surat Keputusan itu dikeluarkan, sejak abad ke-16 telah ada 12 desa adat di wilayah yang dialiri sungai Subayang itu.

Larangan adanya aktivitas manusia di Bukit Rimbang Baling adalah bentuk kekhawatiran rusaknya alam. Benar saja, pada tahun 2011 lalu Kampar dilanda banjir akibat pembalakan liar yang dilakukan di kawasan tersebut.



Namun kasus pemberhentian pembalakan liar tidak berhasil karena dinilai setengah-setengah, belum lagi karena kegiatan illegal ini juga mengikutsertakan campur tangan warga setempat karena menjadi salah satu mata pencarian mereka juga.

Warga tampak tidak mempermasalahkan adanya pembalakan liar ini, terbukti dengan kayu-kayu yang ada di tepi sungai dan dengan kasat mata dihanyutkan ke hilir dengan cara menjadikannya rakit.

Setiap hari setidaknya ada 30 batang kayu yang dihanyutkan, dijadikan bahan setengah jadi, dan dikirim ke Medan, Sumatera Utara. Pembalakan liar tetap berjalan di tahun-tahun selanjutnya dan baru kembali menjadi perhatian pada tahun 2016 dan 2017 silam. Kasus terdekat yang dibahas di beberapa media sosial (diantaranya validnews.co) terjadi pada bulan Desember 2017.

Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan salah seorang panitia, Umar Abdullah, ia menyebutka bahwa Rumah Budaya Sikukeluang sudah sering menyambangi Rimbang Baling untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti Lokakarya (2016) dan mendirikan Laman Budaya Mak Bio (2017).

Dalam tiga tahun terakhir itu dapat dipahami betul bahwa memang sedang banyak kasus yang terjadi dan harus direspon oleh masyarakat. Dua kasus di antaranya yang sangat mengkhawatirkan adalah rencana pembukaan lahan tambang batubara oleh investor dan lahan perkebunan kelapa sawit.



Menanggapi hal tersebut, Sikukeluang bekerjasama dengan Koalisi Seni Indonesia dan Kedutaan Denmark membuat kemah seni yang ramah dan dapat dinikmati semua kalangan dan bertujuan menyampaikan pesan untuk menjaga kondisi alam dari pembukaan tambang batubara, kelapa sawit, dan pembalakan liar.

Awal tahun 2018 menjadi waktu pelaksanaan yang dipilih oleh panitia untuk kemah seni ini. Kegiatan yang diberi nama Festival Musik Rimbang Baling #1 ini bertemakan “Menyemai Bunyi di Tanah Sendiri” dan berlangsung selama 6 hari (22-28/01). Rangkaian acara yang dibuat panitia dalam festival ini terdiri dari beberapa lomba yakni, pacu sampan, tojun sarung, dan lomba calempong.

Selain itu terdapat berbagai pertunjukan yang menampilkan kesenian dari masyarakat setempat, artis daerah Yuang Onyai, Riau Rhytim Chambers Indonesia, Achoel Dance, Bie Kiboe, Benie Riaw, Anggara Satrya, Agus Salim & Boy Sulaiman, Teater Lorong, dan Indonesian Performance Syndicate (IPS) dari Padangpanjang. Selain seniman dari daerah Sumatera, panitia juga mengundang Iksan Skuter dari Malang dan Sisir Tanah dari Yogyakarta.

Sederet nama seniman di atas dipilih panitia karena aktivitas keseniannya sejauh ini yang peduli terhadap alam dan lingkungan sekitar. IPS Padangpanjang misalnya, komunitas seni yang digawangi oleh Wendy HS, Leva Khudri Balti, dan Emri Rangkayo Mulya.

Komunitas ini membawakan sebuah bentuk seni pertunjukan yang menceritakan fenoma masyarakat dalam menyikapi persoalan pembabatan hutan lewat Jilatang is Installed #2.



Jilatang is Installed #2 ini merupakan hasil pembacaan ulang terhadap mitos Jilatang/Jelatang (Toxicodendron Radicans) sebagai tumbuhan yang memiliki miang dan dapat menimbulkan gatal jika terkena kulit sehingga menjadi tumbuhan yang paling ditakuti dan dihindari. Namun di Minangkabau, Jilatang itu malah ada dan dipelihara sebagai tonggak tareh Jilatang di balai adat Balairuangsari, Tabek, Pariangan, Tanah Datar.

 Fenomena ditarik ke konteks Rimbang Baling sekarang, yakni maraknya pembalakan liar di hutan yang diketahui semua orang akan merusak alam dan dapat menimbulkan bencana, namun di sisi lain kegiatan ini adalah tonggak perekonomian warga setempat.

Pementasan Jilatang is Installed #2 ini merupakan yang ke-enam kalinya sepanjang dua tahun belakangan. IPS sudah pernah mementasakannya di kota Padangpanjang, Batusangkar, Jambi, Jakarta. Karya ini merupakan lanjutan proses labor dari Jilatang is Installed #1 yang pernah dipentaskan di Festival Divergent of Embodiment dalam kegiatan Power of Art, Dies Natalis ke-25 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana, UGM (2016).

Wendy HS sebagai pimpinan menjelaskan bahwa karya IPS mengembangkan elemen artistik Tapuak Galemboang yang terdapat dalam kesenian Randai. “IPS menyebutnya sebagai Total Acting Method, dikarenakan upaya melebur unsur dramatik dalam seni teater, unsur gerak dalam seni tari, dan unsur bunyi dalam seni musik, yang kemudian menjadi kesatuan laku internal pada pemeran.”

Di tengah sebuah lapangan voli Rimbang Baling di tepi sungai Subayang, malam itu Jilatang is Installed #2 dikelilingi obor, bunga rampai ditebarkan, dan disaksikan warga dengan serius. Leva Khudri Balti sebagai penata musik dalam karya ini melihat antusiasme warga dan respon positif mereka atas pertunjukan yang disaksikannya.

“Rimbang Baling punya banyak potensi dari segi budaya, adat, juga alamnya. Kawasan ini memang semestinya diperhatikan agar tidak rusak. Semoga dengan adanya festival ini, bukan hanya menjadi ajang pentas seni namun juga program penyadaran pada masyarakat atas pentingnya menjaga alam,” demikian harapan Emri Rangkayo Mulya.*

Padangpanjang, 1 Februari 2018

Profil Penulis:
MAYA SANDITA, lahir di Pekanbaru pada 2 Mei 1994. Mahasiswi program studi seni teater di Institut Seni Indonesia Padangpanjang dengan minat utama penyutradaraan. Maya adalah anggota Forum Pegiat Literasi Padangpanjang dan Komunitas Pendongeng Sumatera Barat. Tulisannya pernah dimuat dalam antologi Mengenangmu, DIVAPress (2013) dan Perahu Tulis, Balai Bahasa Padang Sumatera Barat (2011). Maya beralamat di Jl. KH Ahmad Dahlan 25 Padangpanjang Sumatera Barat. Berikut akun media sosialnya, IG : @sanditaisme, FB : Maya Sandita, WA/HP : 082283773411





×
Kaba Nan Baru Update