Oleh : Ikhsan Yosarie
Peneliti Setara Institute, Jakarta
Pasbana.com --Kekerasan yang dilakukan alat negara terhadap masyarakat sipil dalam rangka pengamanan investasi kembali terjadi, kali ini di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Dalam siaran persnya, Walhi Sumatera Barat dan LBH Padang menjelaskan bahwa bentrokan terjadi akibat pemaksaan oleh PT. Hitay Daya Energi yang dikawal dengan aparat TNI, Polri, dan Satpol PP untuk masuk ke lokasi eksplorasi pembangunan Geothermal Gunung Talang.
Disisi lain, masyarakat sejak Juli 2017, masyarakat Salingka Gunung Talang telah menyatakan penolakan terhadap aktivitas pembangunan Geothermal lantaran pembangunan project ini telah melanggar prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Concent). Akibat bentrokan tersebut, tujuh masyarakat (3 orang perempuan, 2 orang anak, dan 2 orang laki-laki) menjadi korban kekerasan dan sikap represif aparat, sehingga mengalami luka-luka dan ada yang dilarikan kerumah sakit.
Jangan Mengalienasi Masyarakat
Kekerasan terhadap masyarakat sipil oleh alat negara tidak bisa dibiarkan, apalagi hanya demi kepentingan investasi swasta.
Pada kasus ini, seakan negara abai terhadap kepentingan dan hak-hak masyarakat, terutama mengenai hak setiap warga negara untuk mendapat perlindungan dan merasa aman.
Keberadaan alat negara seharusnya untuk memastikan hak masyarakat tersebut terpenuhi, bukan menjadi bagian yang merampas hak tersebut, dan negara (dalam hal ini pemerintah daerah), seharusnya paham.
Relasi yang dijalin negara dengan swasta ternyata merugikan masyarakat sipil. Kerugian ini tampak pada eksekusi pelaksanaan kesepakatan yang disepakati negara dan swasta, bentrokan dengan masyarakat adalah buktinya. Indikasi yang kemungkinan terjadi adalah masyarakat tidak diikutsertaan atau dilibatkan dalam pembicaraan-pembicaraan antara negara dan swasta ini. Sehingga, eksekusi atas pelaksanaannya tidak disetujui oleh masyarakat sekitar. Benang merah yang dapat kita lihat adalah masyarakat sekitar menjadi objek atas kesepakatan yang dilakukan.
Padahal, ketika pembangunan tersebut mempengaruhi hajat hidup masyarakat luas, seharusnya masyarakat juga menjadi subjek atas kesepakatan tersebut, dan terlibat aktif dalam proses perencanaannya.
Relasi-relasi antar dua belah pihak, tidak boleh sampai melanggar kepentingan pihak ketiga. Kalaupun berpotensi melanggar, sejak awal pihak ketiga harus diikutsertakan dalam pembahasan.
Masyarakat tidak lagi “menunggu jadi” segala yang ditetapkan pemerintah, tapi masyarakat harus dilibatkan, dimulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Secara konsepsi, relasi yang dilakukan negara atau pemerintah dengan masyarakat berimplikasi positif kepada ketersediaan lapangan kerja untuk masyarakat sekitar. Investasi swasta tersebut tentu nantinya akan menjadi lapangan kerja, dan masyarakat sekitar bisa menerima imbas positifnya, baik penurunan angka kemiskinan, pengangguran, dan pembangunan daerah terbantu. Akan tetapi, hal ini hanya bisa terjadi ketika masing-masing pihak melakukan komunikasi yang dua arah, ketiganya saling menempatkan diri sebagai subjek atas kesepakatan tersebut.
Keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, merupakan refleksi dari pelaksanaan demokrasi yang baik. Tidak hanya dalam tataran pemerintahan, namun demokrasi juga mempengaruhi kesejahteraan rakyat.
Di dalam pembangunan yang berhasil, keikutsertaan masyarakat luas bukan hanya dilihat dalam mengawasi kinerja aparat pemerintahan, seperti dalam birokrasi pemerintahan. Namun, ketika kita berbicara pembangunan, sesungguhnya yang diperbincangkan ialah keterlibatan keseluruhan masyarakat didalam sistem terhadap masalah yang dihadapi dan solusi untuk permasalahan tersebut.
Keamanan Manusia
Sebagai entitas tertinggi yang menaungi sebuah wilayah, negara tidak boleh egois hanya dengan memikirkan kesejahteraannya. Selama ini, pembahasan mengenai keamanan suatu negara cenderung difokuskan kepada pembahasan-pembahasan mengenai teritorial, baik dari ancaman luar maupun dari dalam.
Dalam hal ini, tampak bahwa perhatian keamanan nasional berpusat kepada bagaimana kondisi negara itu tetap aman dan tertib politiknya. Imbas dari cara pandang seperti ini akan mengetepikan pandangan terhadap kesejahteraan manusia, dan fokus memikirkan kesejahteraan negara. cara pandang seperti ini pun turun sampai ke daerah-daerah.
Disisi yang lain, pasca berakhirnya perang dingin, pembahasan mengenai keamanan nasional telah mengalami transformasi, dari negara (State oriented) menjadi manusia (Human oriented). Fokus keamanan nasional tidak lagi kepada negara, melainkan perlindungan dan kesejahteraan dari warga negara didalamnya, atau disebut Human Security. Perubahan seperti ini lantaran ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer atau berkaitan dengan teritorial, tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi, maupun ancaman ekologis.
Menurut UNDP (2004), terdapat tujuh komponen keamanan manusia; Keamanan ekonomi (economic security), keamanan pangan (food security), keamanan kesehatan (health security), keamanan lingkungan hidup (environment security), keamanan personal (personal security), keamanan komunitas (community security), dan keamanan politik (political security).
Merujuk kepada indikator Human Security yang dikeluarkan UNDP (2004) ini, tampak bahwa pemerintah kabupaten abai terhadap keamanan lingkungan hidup, keamanan personal, dan keamanan komunitas. Riskannya, aparat pemerintah juga berkontribusi atas apa yang terjadi, sehingga beberapa orang mengalami luka.
Cara pandang keamanan nasional yang berpusat pada manusia menjadi semacam penegasan terhadap kewajiban pemerintah dan negara untuk menjamin dan melindungi keamanan individu warganegaranya sebagai bagian dari amanat konstitusi dan tanggungjawab negara. Dalam konteks demokrasi, bisa kita pahami hal ini sebagai kewajiban negara untuk melindungi pemilik dari kedaulatan tertinggi, yaitu rakyat.
#Stopkekerasandalaminvestasi
#kedaulatanmilikrakyat
#rakyatibukandungalatnegara
#kedaulatanmilikrakyat
#rakyatibukandungalatnegara