Pasbana -- Abad ke-20, arus intelektualisme di kalangan pelajar muslim Indonesia (Hindia-Belanda) yang menempuh pendidikan keagamaan di Timur Tengah bergeser ke arah Mesir. Sebelumnya, mereka banyak menyerbu Mekkah. Namun tatkala “gong pembaharuan” ditabuh oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), Kairo lebih memikat mereka.
Di abad itu, banyak kalangan muda muslim berbondong-bondong mendatangi kota tersebut. Tujuan mereka adalah mendalami Islam di Universitas Al-Azhar, kampus yang sudah berdiri sejak abad ke-10, kala Mesir masih berada di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Namun pertanyaannya adalah, siapakah orang Indonesia yang pertama kali berhasil menyelesaikan studi kampus tersebut?
Soebagijo I.N (1924-2013), penulis biografi dan wartawan senior kelahiran Blitar, Jawa Timur, menjawab dalam tulisannya yang dimuat di 70 Tahun Professor. Dr. H.M Rasjidi (1985). Menurut dia, Djanan Tajib ‘lah “putra Indonesia pertama…yang berhasil meraih gelar dari Al-Azhar”.
Tajib (Thaib) lahir di Kampung Sarik, Padang, Sumatera Barat pada 1891. Dia awalnya belajar Islam di kampung halamannya. Setelah pengatahuan agama dan Bahasa Arab-nya dinilai cukup, pada 1911 dia dikirim oleh saudaranya, Yahya (saudagar kaya) ke Mekkah untuk mendalami Islam. Dia berangkat ke “Kota Ka’bah” itu pada usia 20 tahun.
Dia bermukim di sana selama sembilan tahun. Pada 1919, dia memilih pergi ke Kairo. Tujuannya adalah untuk meneruskan studi di Universitas Al-Azhar. Selama berada di Mesir, dia dikenal sebagai mahasiswa yang tak hanya berkutat dengan teks dan “diam di bangku belajar”. Dia juga aktif dalam dunia organisasi dan politik.
Setelah empat tahun berada di Negeri Piramida itu, pada 1923 dia mendirikan sebuah perkumpulan bersama kawan-kawannya. Organisasi itu diberi nama Jamiah Choiriyah atau al-Jam’iyyah al-Khairiyyah al-Jawi (Perhimpunan Kebajikan Jawa). Sebagai senior di antara mahasiswa lain, dia terpilih sebagai ketuanya. “Perhimpunan tersebut diketuai oleh Djanan,” tulis Zuhairi Misrawi dalamAl-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2010).
Dua tahun kemudian, 1925 organisasi tersebut menerbitkan majalah, Seruan al-Azhar. Lagi-lagi pimpinannya diserahkan kepada Tajib. Redakturnya, di antaranya adalah Iljas Jacub, Idris Marbawi, Abdul Wahab dan Mahmud Yunus. Salah satu misi penerbitan media itu adalah ikut serta membangkitkan nasionalisme buat bangsanya yang sedang dijajah oleh Belanda. Di tahun itu, jumlah mahasiswa dari Asia Tenggara yang kuliah di Al-Azhar kurang lebih mencapai 200 orang.
Pada tahun berikutnya, 1926, majalah tersebut memuat artikel bertajuk, “Persiapan Indonesia Semenanjung”. Menurut Zuhairi, “Hal ini membuktikan konsern para mahasiswa al-Azhar dalam rangka kemerdekaan RI.” Pada tahun yang sama, Tajib lulus dari Al-Azhar dengan gelar “al-alimiyah”. Organisasi, rupanya tak membuat studinya terbengkalai. Dia aktif mengurus nasib negerinya, dan juga tanpa melupakan tugasnya sebagai mahasiswa.
Namun pada 1937, media dan organisasi ini dibubarkan. Salah satu orang yang menginisiasi pembubaran itu adalah Dr. Sutomo. Karena, Jam’iah itu dinilai berlebih mengurus politik dan sudah keluar dari tugas mahasiswa yang seharusnya hanya belajar. Akhirnya, asosiasi itu diganti dengan Perhimpunan Pemuda Indonesia dan Malaya.
Pembubaran itu terjadi setelah beberapa tahun Taji sudah meninggalkan Mesir. Karena dua tahun setelah lulus, 1928 dia balik ke Mekkah. Di sana, dia mendirikan Al-Madrasah Al-Indunisiya setelah mendapatkan restu dari Raja Abdul Aziz bin Saud. Pada tahun berikutnya, 1929 dia diangkat sebagai anggota pengawas dalam Hai’ah Muraqabah Al-Durus wa Tadris fi al-Haram al-Syarif (Biro Pengawas Pelajaran-Pelajaran dan Pengajaran di Masjidil Haram).
Sampai akhir hayatnya, dia aktif dalam mengurus sekolahnya itu. Dia menghembuskan napas terakhirnya pada Senin, 10 Rabi’ul Awwal 1365 Hijriyah di An-Naqa, Mekkah. Dia tutup usia di umur 68 tahun.
Sumber: Sejarahri.com