Ditulis Oleh : Hardisman
Tanggal 8 Mei yang lalu telah dilaksanakan
serentak secara nasional Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN). Ujian ini adalah pintu gerbang memilih putra-putra terbaik bangsa
untuk melanjutkan Pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Para peserta
datang dari berbagai penjuru negeri, untuk melaksanakan ujian di Ibu Kota
Provinsi masing-masing. Harapan mereka adalah bisa diterima di PTN pada program
studi yang diidam-idamkan. Pada hari yang sama juga telah dilakukan pendaftaran
ulang bagi calon-calon mahasiswa yang lolos seleksi melalui jalur nilai
sekolah, SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Jika pilihan
masuk PTN tidak dapat diraih, berbagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pun sudah
menanti. Berbagai pilihan bidang ilmu pun banyak yang ditawarkan menjadi
pilihan.
Dari lubuk hati yang paling dalam, para peserta
SNMPTN dengan penuh harap bisa menggapai cita-cita yang sudah diimpikan sejak
dulu. Begitu jugalah bagi orang tua; diterimanya anak di PTN favorit dan di
program studi favorit pula mendatangkan harapan, bahwa suatu saat anaknya akan
meraih masa depan yang lebih baik. Hal ini juga menjadikan kebanggan tersendiri
bagi orang tuanya, pada diri mereka sendiri atau pada keluarga dan
lingkungannya bahwa mereka bisa menunjukkan sudah maju selangkah berhasil
mendidik anak-anaknya.
Tatkala dihadapkan dengan kenyataan dunia kerja,
tidak jarang setelah mereka menamatkan Pendidikannya mereka tidak menemukan
harapan-harapan itu. Kenyataan yang ditemukan jauh dari bayangan indah mimpi
cita-cita masa depan. Sudah hal yang lumrah, para sarjana lulusan PTN ataupun
PTS dari berbagai program studi tidak bisa menerapkan ilmu yang telah
didapatkannya di perguruan tinggi itu. Atau dengan basa yang lebih sederhana
‘menjadi pengangguran intelektual.’ Tentunya, banyak faktor yang berperan dalam
hal ini. Penulis, ingin melihat dengan sederhana dan mengajak pembaca untuk
berfikir dan menalaah sehingga bisa mengambil peran dalam hal ini.
Pertama; seorang mahasiswa menjadi gagal dalam
studi dan akhirnya juga gagal meniti karir adalah kesalahan sejak pemilihan program
studi. Mahasiswa yang memilih dengan terpaksa atau dipaksa suatu program studi
akan cendrung tidak menyukai apa yang dipelajarinya, baik yang sangat dipaksa
oleh orang tua ataupun bagi sekolah dalam memilih pilihan pada SNMPTN.
Kedua; banyak diantara mahasiswa yang mengikuti pendidikan
di bangku kuliah hanya fokus kepada nilai akademik tertulis. Namun kemampuan
analisisnya sangat rendah, dan terlebih lagi tidak mempunyai soft skill yang bagus. Tidak jarang kita
temukan lulusan perguruan tinggi dengan IPK tinggi namun tidak mempunyai
kemampuan presentasi dan komunikasi yang baik. Hal ini jelas akan berdampak
kepada lemahnya nilai tawar dan daya saingnya dalam mendapatkan pekerjaan,
terutama bidang-bidang studi umum.
Ketiga: aspek kualitas pendidikan yang
didapatkan. Adanya kebijakan di perguruan tinggi agar selalu meberikan nilai akademik
yang baik bagi mahasiswanya yang kadang kala tidak sesuai degan kondisi
seharusnya yang didapatkan mahasiswa tersebut. Bagi pengelola Pendidikan,
semuanya berdalih bahwa adalah sebuah tuntutan untuk mempertahankan akreditasi
program studi institusi pendidikan mereka, agar nilai mahasiswa sangat baik.
Jika rata-rata nilai mahasiswa dibawah standar, akan bermasalah dengan
akreditasi dan berdampak dengan keberlanjutan program studi institusi
pendidikan tersebut. Akhirnya, bagi institusi Pendidikan diupayakan agar semua
mahasiswa memperoleh nilai baik dan tidak boleh mahasiswa yang gagal.
Tuntuntan ekonomi, persaingan dalam
mempertahankan eksistensi program studi suatu institusi pendidikan yang sejalan
dengan tuntutan dalam sistim akreditasi, juga menjadikan mahasiswa yang belum
pantas tamat, sudah harus ditamatkan. Maka tidak jarang mahasiswa selesai tepat
waktu dengan IPK diatas 3,5 tapi tidak menguasai bidang ilmu yang
dipelajarinya. Pengalaman penulis sebagai reviewer
nasional dalam seleksi beasiswa pernah menemukan kasus-kasus tersebut.
Jika kita bandingkan dengan sistim Pendidikan 30-40
tahun yang lalu, fokus Pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang kompeten dan
menguasai bidang ilmunya. Banyak juga diantara calon mahasiswa yang mesti
keluar drop out karena memang
dianggap tidak layak. Namun, setiap lulusan yang dihasilkan adalah mereka yang
benar-benar punya kemampuan. Selayaknya, sebahagian pendekatan lama ini sudah
harus diterapkan kembali di perguraun tinggi, termasuk dalam cara penilaian
akreditasi oleh BAN-PT ataupun oleh LAM-PTKes, diantaranya lebih mengedepankan
mutu lulusan dari sekedar rata-rata IPK diatas kertas atau jumlah lulusan
selesaoi teat waktu. Jika kita hanya mengejar jumlah lulusan cepat tamat, angka
diatas kertas dengan nilai yang bagus, jadilah para sarjana karbitan dengan
nilai tinggi tanpa kemampuan.
Kualitas Pendidikan juga menjadi masalah tatkala
dengan mudahnya mendapatkan izin pendirian program studi, sehingga
bermunculanlah instansi-instansi swasta dengan program studi yang sama. Contohnya,
pada 20-an tahun yang lalu ini terjadi pada perguruan tinggi keguruan dan
ekonomi, dengan banyaknya FKIP/ STKIP dan STIE. Sesuai dengan prinsip pasar,
banyak lulusan dengan program studi yang sama sedangkan kesempatan lapangan
sedikit, akhirnya pesaingan menjadi tinggi dan sebagian besarnya tidak
mendapatkan kesemopatan. Hal yang sama terjadi pada program studi kesehatan
(kebidanan dan keperawatan) dengan dibukanya berbagai STIKES, yang marak 10
tahun terakhir. Konsekuensi yang terjadi tidak hanya tingginya persaingan dan
kesulitan mendapatkan pekerjaan, tetapi juga berdampak langsung terhadap
kompetensi dan kualitas lulusan. Program studi kesehatan tersebut sangat
membutuhkan praktek lapangan yang cukup bagi mahasiswanya, akibat banyaknya
mahasiswa maka pengalaman belajar menjadi sangat sedikit dan menghasilkan
lulusan yang tidak kompeten.
Ke empat: adalah sedikitnya kesempatan lapangan
kerja. Kita semua sudah maklum bahwa
lapangan pekerjaan di negeri ini sangat sedikit. Semua generasi muda dan
terutama lulusan perguruan tinggi bersaing untuk mendapatkannya. Tatkala
penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) ataupun bursa-bursa kerja, pelamar jauh
berlipat-lipat jumlahnya dari formasi atau peluang yang tersedia. Namun
ironisnya, tatkala ada investasi asing mebuka lapaangan usaha dan membutuhkan
tenaga kerja, dengan mudahnya pemerintah mengizinkan tenaga kerja asing untuk
mengisi lowongan yang disediakan perusahan tersebut dengan jumlah yang banyak.
Selayaknya, kesempatan itu harus diprioritaskan bagi anak bangsa yang memang
menjadi tanggung jawab negara.
Jika dalih dan pemerintah dan penentu kebijakan
bahwa untuk mengisi lowongan pada perusahan-perusahan asing, ataupun
perusahan-perusahan nasional tersebut adalah tenaga ahli dan tenaga kerja
vokasi, maka sudah selayaknya juga dalam kebijakan institusi Pendidikan
pemerintah merubah orientasi pendidikan menangah dan pendidikan tinggi dengan
meningkatkan Pendidikan vokasi. Pendidikan-pendikan politeknik yang mapan seca
skill harus digalakkan dan harus diberikan dengan anggaran pendanaan yang
cukup. Jika pendidikan skill vokasi kita sudah berkembang, maka kebijakan ini
juga harus diikuti dengan kebijakan pemrintah dalam menerima PNS dan instruksi
pada lembaga-lembaga swasta, yang lebih mengutamakan tenaga dengan skill dan
keahlian yang sesuai. Contoh saat ini terjadi adalah, seperti yang terjadi
diinstitusi perbangkan menerima tenaga kerja ‘yang penting sarjana’ dari semua
jurusan, yang sudah pasti banyak diantara mereka yang tidak mengerti
administrasi dan keuangan.
Kita dapat belajar dari yang diterapkan Negera-negara maju, seperti Jerman da Swiss ataupun di Australia dan New
Zealand. Arahan bagi pelajar sekolah menengah, tidak semuanya mereka mesti
melanjutkan Pendidikan sarjana di Universitas, tapi justru pendidikan keahlian
vokasi politeknik menjadi yang paling dibutuhkan. Bahkan di Australia misalnya,
pada setiap negara bagian mereka mempunyai Pendidikan politeknik yang disebut Technical and Further Education (TAFE)
yang menawarkan program-program beragam dan mulai dari level skill sederhana,
misalnya manual handling untuk
pekerja di panti jompo atau membantu perawat, sistim hodrolik alat berat dan lain-lainnya. Pendidikan yag
ditawarka bisa mulai dari 3 bulan, 6 bulan, atau 2 tahun sesuai dengan skill
yang dibutuhkan. Pemerintah juga mendorong pendidikan serupa pada institusi
swasta. Sehingga, tenaga kerja yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan yag
dibutuhkan.
Semua pihak mesti berperan, dalam keluarga dan
sekolah mestilah mempersiapkan anak-anak untuk melanjutkan Pendidikan yang sesuai
dengan kemampuan dan minatnya, karena ita tidak hanya bertanggung jawab untuk
ia bisa kuliah tetapi sebagai pintu gerbang karir masa depan. Institusi
Pendidikan harus memikirkan lebih bijak tentang kualitas lulusan, bukan jumlah
mahasiswa dan lulusan tepat waktu diatas kertas. Pengembangan soft-skill juga harus digalakkn di
perguran tinggi. Sistem penilain akreditasi program studi perguruan tinggi
harus dievaluasi untu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Kebijakan
pembukaan program studi harus memperhatikan kebutuhan keilmuan dan
ketenagakerjaan tanpa dipengaruhi unsur politis. Selanjutnya, pemeritah harus
memproriataskan anak bangsa dan mengkaji ulang penerimaan tenaga kerja asing
bagi investasi asing. Kedepannya, peningkatan kualitas Pendidikan vokasi harus
ditigkatkan, dan diringi dengan kebijakan penerimaan pegawai dan tenaga kerja
di instansi pemerintah dan swasta.
dr.
Hardisman, MHID, PhD: Dosen Fakultas
Kedokteran, Universitas Andalas (FK-UNAND), Padang. Ketua Program Pascasarjana
Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Administrasi Rumah Sakit