Ditulis Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD: (Dosen Fakultas Kedokteran Unand, Bidang Etika dan Pengembangan Profesi, dan Kebijakan Kesehatan, email:hardisman@fk.unand.ac.id)
Dalam satu dekade terakhir, semangat generasi muda untuk mempelajari Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan sunnah terlihat semakin baik. Adalah hal yang lumrah kita temukan kelompok kajian di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi umum dan di kantor-kantor dari berbagai profesi. Semuanya dengan semangat untuk kembali kepada kebaikan (hijrah) dengan mulai menelaah Al-Quran dan buku-buku penjelasannya (Kitab Tafsir) dan berbagai Kitab Hadits dengan syarahnya. Ini adalah sebuah fenomena dan kebaikan yang patut diapresiasi dan perlu dipertahankan. Semangat belajar tersebut juga telah diiringi dengan semangat berbagi ilmu atau berdakwah kepada yang lainnya. Hal ini tentunya akan menjadi sebuah bola salju kebaikan, yang insyaAllah akan senantiasa menjadi lebih besar dan kuat di masa mendatang.
Kewajiban Sosial (Fardhu Kifayah) Semangat dan motivasi menyampaikan kebaikan dan kebenaran didasari atas perintah Allah subhanahu wataala yang secara implisit menyebutkan bahwa mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran adalah sebuah kewajiban kifayah (QS Ali Imran [3]:104). Bahkan kitalah yang akan menjadi ummat terbaik hanya bila mampu melakukan amal maruf dan nahi mungkar tersebut (QS Ali Imran [3]:110).
Kewajiban ini dipertegas oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalllam bahwa bagi setiap mukmin yang melihat sebuah kejahatan dan kemungkaran makai ia mesti melakukan perbaikan dengan kekuasaan (tangan) yang ia miliki atau dengan berbicara atau menasehatinya. Jika ia hanya sanggup membeci dengan hati, tatkala itulah imannya paling lemah (Lihat HR Muslim:49, juga HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi, terdapat juga dalam Riyadhus Shalihin An-Nawawiyah:184). Orang-orang yang menyampaikan kebenaran dan kebaikan akan mendapatkan balasan kebaikan yang ia lakukan dan ditambah dengan kebaikan-kebaikan orang yang mengikutinya (Lihat HR Muslim:1017, 1893 dan 2674).
Menyampaikan kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran sebagai fardhu kifayah, dampaknya juga nyata untuk semua masyarakat. Jika sebuah kejahatan atau maksiat tidak dicegah, maka yang akan terkena dampaknya bukan yang melakukan maksiat itu saja, tapi akan berdampak pada semua masyarakat (Lihat QS Al-Anfal [8]:25). Ini jugalah yang ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalllam bahwa seseorang yang melakkan kejahatan atau maksiat dalam lingkungan masyarakat ibarat seseorang penumpang kapal yang melobangi kapalnya. Lalu kapal itu akan bocor dan akan tenggelam yang akan menenggelamkan semua yang ada di kapal (Lihat HR Al-Bukhari:2493).
Contoh-contoh nyata adalah kemaksiatan adanya pecandu narkoba (khamar) atau zina di masyarakat. Jika dilihat secara superfisial, maksiat yang mereka lakukan hanya berdampak pada diri mereka sendiri. Namun, jika dilihat lebih seksama para pecandu narkoba akan menghancurkan keluarganya dan kemudian menimbulkan maraknya kejahatan dan pencurian di masyarakat.
Begitu juga halnya dengan zina, akibat buruk dari zina bukanlah hanya pada para pelaku. Kita bisa saksikan bahwa menyebarnya penyakit menular seksual dan HIV/AIDS telah merambah korban-korban sekunder di masyarakat. Akan tetapi, semangat menyampaikan kebaikan terkadang mengalami benturan dan pergeseran di tengah-tengah masyarakat secara nyata. Bahkan di dunia maya media sosial, benturan-benturan itu dirasakan lebih hebat. Diantara penyebabnya adalah, tatkala para generasi mudah dengan semangat belajar dan menyampaikan kebenaran Al-Quran dan hadits, namun kadang ada yang terlupa yaitu cara, pendekatan, dan metode menyampaikan kebenaran itu sendiri juga tidak melihat aturan Al-Quran dan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam secara holistik.
Ilmu dan Hikmah menyampaikan kebenaran dan mengajak kepada kebaikan haruslah dilakukan dengan cara yang benar dan baik pula, yang subtansinya baik caranya juga baik (bil-haqqi) (Lihat QS Al-Asyr [103]:3). Bahkan tidak hanya cukup hanya dengan baik, tapi juga dengan sabar (bish-shabri), yang salah satu maknanya adalah perlunya tahapan dan tidak instan. Dalam ayat lain, lebih tegas Allah subhanahu wataala menegaskan bahwa mengajak kepada kebenaran atau jalan-Nya haruslah dilakukan dengan hikmah dan mauidzhatil hasanah’ (Lihat QS An-Nahl [16]:125).
Tentulah amat luas makna hikmah dan mauidzah yang difirmankan-Nya tersebut. Diantara penjelasan-penjelasannya, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang sama dan ayat-ayat lainnya. Pertama, punya ilmu yang holistik tentang hal yang disampaikan. Sehingga akan mudah difahami dan dimengerti oleh orang lain. Semua yang disampaikan bukanlah dugaan dan rekaan (zhanni), namun permasalahan yang jelas sumber dan rujukannya (Dengan memahami makna QS Al-Isra [17]:36).
Kedua, memperlihatkan keteladanan dalam perkataan, akhlak dan amal shaleh yang dilakukan. Terutama sekali, setiap apa yang kita sampaikan, kita sedang dan terus berusaha untuk mengamalkannya. Sesungguhnya Allah subhanahu wataala murka pada orang-orang yang hanya berbicara (atau menulis) tentang kebaikan, sedangkan dia tidak melakukannya (Lihat QS Ash_Shaff [61]:2-3). Sebagaimana juga hadits dari Zaid bin Haritsah (HR At-Tirmidzi:2168 &3057 dan juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Madjah), yang mana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda bahwa orang yang hanya berbicara tentang kebaikan sedangkan ia tidak melakukannya maka ia berada di dasar neraka. Keberhasilan dalam mengajak pada kebaikan sangat ditentukan oleh keteladanan ini. Di rumah tangga misalnya, tidaklah mungkin anak akan shalat tepat waktu dan rutin membaca Al-Quran, jika ayah dan ibunya tidak pernah melakukannya apalagi mengajaknya Bersama-sama. Apalagi dalam lingkungan sosial pada konteks yang lebih luas, bagi para pendidik; ustadz atau para guru.
Ketiga, cara yang baik dengan kata-kata yang baik dengan bantahan yang baik pula (QS An-Nahl [16]:125). Bahkan jika menyampaikan kepada saudara sasama muslim/ mukmin yang beradu argumentasi, maka haruslah meghindari perdebatan (jidal) yag tak berguna. Sesungguhnya berdebat sesama muslim akan memperlihatkan karapuhan internal, yang akan menjadikan masyarakat muslim itu lemah (Lihat QS Al-Anfal [8]:46), hingga jadilah orang-orang yang benci terhadap persatuan Islam tepuk tangan dan gembira.
Keempat, saat berdiskusi atau berargumentasi sesama muslim, selain menghindari perdebatan juga tidak kalah pentingnya adalah Tidak merasa paling benar,” terutama jika berdiskusi tentang masalah-masalah yang tidak mendasar atau furu (cabang), atau masalah-masalah yang tidak terdapat dalil tegas (Qathi). Inilah yang dilarang tegas oleh Allah subhanahu watala, karen Dia-lah yang Maha Tahu siapa yang diberikan hikmah-Nya (Lihat QS An-najm [53]:32 dan juga An-Nisa [4]:49). Ingatlah, merasa paling baik dan paling mulia adalah jebatan syaithan, dan sifatnya yang menyebabkannya terusir (Baca QS Al-Araf [7]:12-13, Al-Hijr [15]:36-39, AL-Isra [17]:61-63, Shaad [38]74-76 dan 85). Prinsip Dakwah dalam Promosi Kesehatan Penerapan prinsip-prinsip dalam menyampaikan kebenaran dan mengajak kepada kebaikan, sudah diterapkan dalam pendekatan Promosi Kesehatan.
Promosi kesehatan, sebagaimana pilar-pilar pada Ottawa Charter ataupun Kepmenkes nomor 585 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas, dapat dilihat sebagai bentuk pendekatan yang baik dalam mengajak pada kebaikan itu. Poin-poin dan substansi yang banyak pada prinsip promosi kesehatan dapat disederhanakan menjadi tiga bagian, yaitu bina suasana dan bina sarana, advokasi, dan edukasi.
Pertama, perinsip bina sarana dan bina suasana adalah persiapan yang baik. Langkah awal dalam mengajak pada kebaikan adalah persiapan ilmu dan lingkungan yang baik pula. Contoh sederhana, tatkala mengajak untuk lingkungan bersih dan tidak buang sampak sembarangan, maka siapkan pula bak sampah. Karena tidak mungkin orang akan tertib membuang sampah, bila bak-bak sampah yang baik dan mudah dijangkau tidak disediakan.
Kedua adalah advokasi, yang berarti kemitraan yang merupakan penerapan prinsip keteladanan. Sebagaimana contoh sebelumnya, para penyuluh dan petugas kesehatan tidak perlu dulu nyinyir mengajak masyarakat hidup bersih, namun pribadi mereka dan tempat mereka bekerja haruslah lebih dulu bersih dan bebas sampah. Kemudian secara bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya untuk itu.
Ketiga, edukasi atau penyuluhan yang hanyalah satu pilar dalam mengajak kepada kebaikan. Penyuluhan sama halnya dengan ceramah (lisan dan tulisan), yang berfungsi sebagai pendalaman keilmuan yang ingin diketahui lebih banyak. Namun, bila hanya fokus pada ceramah atau penyuluhan, tanpa ada prinsip bina suasana dan advokasi maka promosi kesehatan atau mengajak pada kebaikan hanya sebuah pentas retorika.