Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD
(Dosen Fakultas Kedokteran UNAND, Padang. Email: hardisman@fk.unand.ac.id)
“Stres, siapa yang tak kenal dengan kata yang satu ini. Bahkan, kata stres sangat akrab ditelinga dan pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Setiap ada masalah, kegundahan atau kegalauan seseorang, selalu dikaitkan dengan stress.
Stres Sebagai Adaptasi Stres sebenarnya merupakan respon XE "respon" tubuh yang tidak spesifik terhadap suatu tekanan atau ancaman XE "ancaman" sebagai upaya untuk melakukan penyesuaian (adaptasi XE "adaptasi" ). Ancaman, bahaya atau tekana inilah yang disebut sebagai pemicu (stresor XE "stresor" ) terjadinya stres. XE "stres" Dengan demikian, stres secara umum bukanlah sebuah gangguan psikis XE "psikis" atau fisik XE "fisik" , melainkan respon alamiah tubuh secara psikis dan fisik. Respon stres ini secara sederhana dikenal dengan istilah fight or flight response XE "fight or flight response" , yang berarti respon seseorang individu terhadap sesuatu yang dianggapnya mengancamnya mulai dari melawan sampai kepada lari menghindar.
Fight or flight response merupakan mekanisme XE "mekanisme" awal yang dilakukan oleh seseorang secara psikis dan bahkan tanpa melibatkan proses analisis kognisi XE "kognisi" yang rumit. Meskipun dalam tinjauan ilmiah terkini, mekanisme fight or flight response tidak lagi dianut secara utuh, namun secara sederhana sangat baik untuk menjelasakan respon stres sebagai pemahaman dasar.
Respon stres XE "stres" sangat tergantung dari faktor internal orang yang mengalami pengalaman tersebut dan tekanan yang datang menimpanya. Keseimbangan kekuatan XE "kekuatan" antara keduanyalah yang memperlihatkan apakah respon XE "respon" stres seseorang tersebut sudah masuk kedalam tahapan patologis (gangguan) atau masih dalam batas normal. Jika seseorang menghadapi tekanan psikis XE "psikis" yang dirasa kuat, maka melalui proses fight or flight response XE "fight or flight response" terjadi beberapa tahapan yang meliputi tahapan keawaspadaan (alarm stage), tahapan perlawanan (resistance stage) dan tahapan kelelahan XE "kelelahan" (exhaustion stage).
Pada tahap kewaspadaan seseorang mulai dari merasakan adanya ancaman XE "ancaman" atau tekanan psikis XE "psikis" . Tahap kewaspadaan artinya seseorang mengenal secara psikis dan fisik XE "fisik" ada stresor XE "stresor" terhadap dirinya, dan proses ini berlangsung singkat. Kemudian masuk pada tahap selanjutnya dengan cepat terjadi proses adaptasi XE "adaptasi" yang melibatkan adaptasi psikis dan fisiologis sistim saraf otonom XE "otonom" simpatis XE "simpatis" dengan mekanisme XE "mekanisme" keseimbangan atau autoregulasi homeostatik. Jika seseorang dengan kemampuan penyesuaian diri secara fisik dan psikisnya sangat kuat dan atau stresor yang mengancam tersebut kecil dibandingkan dengan daya tahannya, maka seseorang akan tetap dalam fase perlawanan (resistance).
Jika seseorang mampu beradabtasi dengan stresor dan tetap dalam fase perlawanan terhadap stresor yang ada, maka akan menghasilkan dampak positif. Misalnya, seorang mahasiswa dengan stresor jadwal kuliah yang padat dan menghadapi ujian mata beberapa mata kuliah, ia mampu menghadapi semua itu justru melahirkan respon XE "respon" positif dengan semangat belajar yang tinggi, pengaturan waktu dan manajemen diri yang baik. Semua yang dilakukannya inilah yang disebut sebagai bentuk perlawannanya terhadap stresor yang ada.
Gangguan Adaptasi dan Penyakit Bila seseorang tidak mampu melakukan proses adaptasi XE "adaptasi" (penyesuian) maka ia akan masuk kepada tahapan selanjutnya yaitu tahapan kelelahan XE "kelelahan" atau dekompensasi XE "dekompensasi" , sehingga terjadi gangguan penyesuaian. Pada tahapan ketiga fase stres XE "stres" dalam keadaan dekompensasi disebut dengan distres XE "distres" . Distres inilah yang dikenal secara umum di masyarakat dengan istilah stres.
Seperti contoh sebelumnya, seseorang mahasiswa yang tidak mampu melakukan adabtasi yang baik dengan proses perkualiahan yang dihadapinya, dengan jadwal kuliah yang padat, bahan perkuliahan yang sangat banyak, dan kemudian tanpa ada jeda waktu langsung akan menghadapi ujian; maka ia justru merasa sangat tertekan dengan semua itu. Ujian yang akan dihadapinya menyebabkan dia menjadi sangat cemas dan jutru menjadikannya tidak mampu untuk belajar dengan baik, bahan kuliah yang banyak menjadikannya tidak bisa melakukan penataan waktu dan dirinya dan tidak tahu mana yang kan dibaca, akhirnya justru tidak satupun bahan pelajaran yang dibacanya.
Terjadinya gangguan penyesuaian tersebut (distres XE "distres" ) dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan psikis XE "psikis" dan fisik XE "fisik" yang saling berkaitan sehingga seseorang tidak lagi mampu menjalankan fungsinya secara optimal secara psikis dan fisik tersebut. Gangguan fisik yang terjadi yang saling berkaitan dengan masalah psikis tersebutlah yang secara umum dikenal dengan psikosomatik XE "psikosomatik" . Diantara gangguan tersebut dapat berupa dari gangguan ringan hingga gangguan yang berat, seperti gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan pola makan XE "makan" , hingga masalah-masalah pada lambung XE "lambung" dan saluran cerna, serta jantung XE "jantung" dan pembuluh darah.
Respon kewaspadaan tehadap stresor XE "stresor" yang datang pada tahap awal melibatkan proses yang terjadi di otak XE "otak" , khusunya di area subkortek. Bila sesorang menghadapi ancaman XE "ancaman" atau stresor maka informasi tersebut diteruskan ke amigdala XE "amigdala" di daerah subkortek. Stimulus dari penglihatan atau pendengaran tersebut akan diinterpretasi oleh amigdala, dan bila stimulus tersebut diinterpretasi sebagai sebuah ancaman maka secara cepat signal diteruskan kedaerah hipotalamus XE "hipotalamus" .
Artinya, amigdala mempunyai peranan penting dalam mempersepsikan berat ringannya suatu stresor, apakah merupakan ancaman atau tidak. Rangsangan stres XE "stres" yang dikenali oleh amigdala di daerah subkortek otak XE "otak" akan Kemudian stimulus tersebut akan disampaikan ke hipotalamus XE "hipotalamus" . Selanjutnya, respon fisiologis dan perubahan fungsi organ dan sistim organ tubuh yang terjadi adalah melalui mekanisme fungsi yang salig terkait dari hipotalamus, hipofisis XE "hipofisis" dan kelenjar adrenal yang disebut dengan Hyphothalamic-Pituitary Adrenal (HPA) Axis.
Hipotalamus sangat berperan dalam semua sistim ototom pada sistim saraf, jantung XE "jantung" , dan hormonal XE "hormonal" , maka semua sistim ini akan memberikan respon sesuai dengan besar kecilnya ancaman yang dipersepsikan. Hipotalamus merupakan perintah otonom XE "otonom" pusat yang akan memberikan signal dan kontrol pada sisitim organ tersebut. Efeknya akan terlihat mulai dari perubahan denyut nadi, tekanan darah, pernafasan, pristaltis XE "pristaltis" usus, dan proses buang air kecil, yang akan dapat meningkat dan menurun sesuai degan respon sistim saraf otonom yang banyak terstimulasi.
Setelah signal sampai di amigdala dan stresor XE "stresor" yang datang diidentifikasi oleh tubuh sebagai signal distres XE "distres" , maka hipotalamus XE "hipotalamus" akan mengaktifkan sistim saraf otonom XE "otonom" simpatis XE "simpatis" dan mnyampaikan signal tersebut ke kelenjar adrenal XE "adrenal" melalui hipofisis XE "hipofisis" .
Secara biomedis fisiologis, jalus mekanismenya adalah hipotalamus yang mengenal stresor dari amigdala akan mengeluarkan CRH, kemudian CRH menstimulasi hipofisis untuk mengeluarkan ACTH. Selanjutnya melalui mekanisme hormonal XE "hormonal" dan rangsangan sistim saraf simpatis, respon kelenjar adrenal adalah mengeluarkan adrenalin XE "adrenalin" dan kortisol XE "kortisol" ke sistim sirkulasi. Setelah dilepaskannya ke dalam sirkulasi maka, efek adrenalin akan jelas terlihat. Maka semua efek simpatomimetik atau adrenergik akan dapat muncul, diantaranya akan dapat terlihat peningkatan denyut jantung XE "jantung" , kontraktilitas jantung, peningkatan frekuensi dan dalam pernafasan, perubahan warna kulit dan perubahan respon dan peristaltis saluran cerna. Disamping itu, pelepasan adrenalin juga akan meningkatkan pemecahan cadangan energi dalam jaringan otot melalui pembentukan gula atau glukosa (glukoneogenesis XE "glukoneogenesis" ).
Dalam rangsangan stresor XE "stresor" yang tidak terlalu berat, maka respon simpatis XE "simpatis" ini menjadi mekanisme pertahanan atau kompensasi tubuh terhadap stresor tersebut. Dengan peningkatan frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung XE "jantung" serta adanya peningkatan pernafasan, maka secara langsung sirkulasi ke semua organ tubuh termasuk otak XE "otak" juga meningkat. Artinya suplai nutrisi dan oksigen XE "oksigen" jaringan dan otak juga meningkat. Hal ini akan mempe Namun bila stresor tersebut sangat hebat, terus berulang, atau sesorang yang rentan terhadap stresor tersebut, maka stesor tersebut menyebabkan ia jatuh dalam kondisi dekompensasi atau distres XE "distres" . Perubahan dan respon organ atau sistim organ yang terjadi tidak lagi fisiologis namun akan menimbulkan gangguan fungsi (patologis).
Stresor yang berat yang sring berulang akan selalu meningkatkan adrenalin XE "adrenalin" secara tiba-tiba, dan akan meningkatkan kntraktilitas dan denyut jantung XE "jantung" secara tiba-tiba pula (pike), dan secara bersamaan akan terjadi peningkatan tekanan darah secara sementara, serta dalam kondisi psikis XE "psikis" yang tidak nyaman. Kejadian ini yang berulang, pada kondisi tubuh yang tidak dipersiapkan, dapat memicu kerusakan bahagian dalam dari pembuluh darah (endotel) yang akan memudahkan terjadinya pembentukan plaque yang menjadi dasar memudahkannya terbentuknya aterosklerosis (bahagain yang akan membuat pembuluh darah menjadi kaku). Pada akhirnya akan memicu terjadinya berbagai gangguan jantung dan pembuluh darah, seperti hipertensi. Prose ini juga dapat terjadi di pembuluh-pembuluh darag vital seperti jantung, ginjal, dan otak XE "otak" sehingga akan menjadi resiko terjadinya oenyakit jantung koroner, ginjal dan stroke.
Disamping itu respon adrenal terhadap rangsangan ACTH juga menghasilkan hormon XE "hormon" kortisol XE "kortisol" . Pada rangsangan stresor XE "stresor" yang berlangsung lama maka kortisol merupakan hormon utama yang berperan. Kortisol mempengaruhi semua sitim dalam tubuh termasuk sistim imun. Di dalam jaringan hati ia berperan dalam peningkatan sintesa glikogen. Namun sebaliknya dalam sel atau jaringan tubuh lainnya, kortisol mempunyai fungsi berlawanan dengan insulin, yang mana ia berperan dalam meningkatkan pembentukan glukosa (glukoneogenesis XE "glukoneogenesis" ), sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa dalam sel dan dalam aliran darah (sirkulasi). Hal inilah yang dalam keadaan kronis yang dapat menimbulkan gangguan fungsi organ.
Kortisol juga berperan dalam menekan sistim imun, atau mekanisme pertahan tibuh terhadap infeksi. Kortisol mencegah (blocking) sel-sel pertahan tubuh (limfosit T) untuk mengenali signal mediator peradangan dari berbagai interleukin. Kortisol yang optimal dapat menjagah keseimbangan tubuh, sehingga tidak menjadi sensitif dan mencegah terjadinya gangguan alergi. Namun dalam kedaan berlebihan, misalnya stress kronis yang berat, maka pertahan tubuh terhadap berbagai infeksi (bakteri, virus, dan parasit) akan menjadi rendah. Akibatnya akan sangat mudah mendapat penyakit infeksi tersebut.
Kortisol juga mempuyai efek terhadap berbagai sitim organ lainya termasuk sisitim pengaturan cairan, urogenital, saluran cerna dan sirkulasi. Sekresi kortisol XE "kortisol" yang berlebihan dapat berdampak degatif kepada semua sistim tersebut yang akan menimbulkan berbbagai gangguan fungsi. Sehingga dapat difahami bahwa stres XE "stres" yang berat dan atau terjadi berlangsung lama dapat menimbulkan berbagai macam penyakit fisik.
Disarikan dari buku penulis Berzikir dalam Tauhid: Menghadirkan Ketenteraman Jiwa dan Pencegahan Penyakit Psikosomatik (Penerbit Gosyen Publishing Yogyakarta, 2017).