Notification

×

Iklan

Iklan

Dzikir dan Kesehatan Psikosomatik

07 Juli 2018 | 09:13 WIB Last Updated 2021-05-15T03:52:59Z

Ditulis Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD
(Dosen Fakultas Kedokteran UNAND, Padang)
Email: hardisman@fk.unand.ac.id



Saat ini berbagai keadaan klinis psikosomatik sering ditemukan oleh dokter dalam prakteknya. Secara bahasa psikosomatik berasal dari kata Psyche  dan soma.  Psyche berarti fikiran atau kejiwaan (psikis), sedangkan soma  berarti tubuh atau fisik. Dengan demikian psikosomatik secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan fungsi  fisik yang dipengaruhi oleh perubahan atau respon psikis. Gangguan psikosomatik (psychosomatic disorders) adalah semua ketidakseimbangan atau perubahan fungsi fisiologis tubuh yang dipengaruhi terutama oleh kondisi psikis. Gangguan ini dapat menyebabkan berbagai penyakit fisik sesuai dengan respon organ yang muncul, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah dan sindroma dyspepsia (saluran cerna).

Saat ini, tidak sedikit pula orang yang dirawat yang mengalami gangguan jantung  yang kemudian berlanjut mengalami penyakit yang lebih berat dimulai dari akibat emosi yang tidak tenang. Di dalam Al-Qur'an, Allalh SWT menjelaskan bahwa Qalbu dalam makna ruhaniah haya akan tenang dengan Dzikir kepada-Nya, sebagai yang diterangkan dalam Surah Ar-Ra'd [13]:28, yang artinya Orang-orang yang beriman dan hati (qalbu) mereka manjadi tenteram dengan mengingat (zikir) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Dzikir berarti ingat dan menyebut nama Allah SWT, namun dalam makna luas Zikir adalah ingat, menyebut, memahami, menghayati nama-namanya yang diikuti dengan mengerti, memahami dan mengamalkan semua perintah-Nya.  Dengan berdzikir dalam makna luas itulah sesorang akan mempunyai sandaran segala persoalannya. Orang-orang yang berdzikir mempunyai sandaran psikis yang kuat akan segala persoalan yang dihadapinya. Sehingga mereka yang berdzikir tidak mudak jatuh kedalam kelelahan psikis atau anxietas dan tertekan atau depresi jika menghadapi persoalan-persoalan hidup. Mereka tidak mudah menyerah dan putus asa bila mendapat kegagalan karena mereka yakin bahwa semua kegiatan duniawi ini hanyalah jalan atau sarana dan bukan tujuan, sehingga qalbu menjadi tenang dan tentram. 

Sebesar apapun persoalan hidup, bagi orang-orang yang berdzikir akan dilihat sebagai suatu ladang untuk beramal dan berikhtiar dan tidak ada jalan buntu yang harus diakhiri dengan kekecewaan. Mereka yang berdzikir tidak akan berkata Wahai Allah, sungguh besar masalah yang ku hadapi tetapi mereka akan berkata Wahai Allah, Engkau Maha Besar, masalah ini kecil dihadapan Mu, maka tunjukkanlah aku jalan keluarnya. Inilah Qalbu yang berdzikir dan yang akan mendapatkan ketentraman.

Orang-orang dengan qalbu yang berdzikir seperti inilah yang punya keterkaitan dan kedekatan dengan Allah SWT. Sehingga bila disebutkan asma Allah kepadanya ada getaran dan panggilan kedalam qalbu-nya itu dan bila diingatkan akan nilai-nilai kebenaran dari ayat-ayat Allah akan bertambah keyakinannya, sebagaimana yang diterangkan dalam Surah Al-Anfal [8]: 2, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati (qalbu) mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.

Orang-orang yang berdzikir kepada Allah SWT akan menjadi tenang qalbu-nya dalam makna ruhaniah. Kemudian dengan berdzikir ini pula mereka menjadi kuat secara psikis, tidak mudah depresi dan putus asa, mereka pun akan terhindar dari segala bentuk penyakit psikosomatik yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah, Dengan demikian sangatlah tepat bila dikatakan bahwa orang-orang yang berdzikir akan sehat qalbu ruhaniahnya dan sehat pula jantung-nya (qalbu jasmaniahnya). 

Berbagai dalil-dalil naqli dalam Al-Quran dan hadits telah disebutkan bahwa orang yang berdzikir dengan iman yang ikhlas akan mampu menghantarkannya kepada ketenteraman dan jiwa (QS Ar-Rad [13]:28), karena senantiasa dalam Rahmat dan perlindungan-Nya (QS Al-Baqarah [2]:152, QS Ibrahim [14]:24-26, HR Bukhari dan Muslim, Al-LuLu wal Marjan [Hadits 1713, 1721]).

Ketenteraman dan ketenagan jiwa melalui proses spiritual yang terlihat secara zahir ataupun yang tidak terlihat. Orang yang imannya benar dan dzikirnya ikhlas, ia yakin semua yang dilakukannya adalah sebagai bentuk penghambaan dirinya kepada Sang Khalik. Ia meyakini apapun yang terjadi pada dirinya dalam kehidupan ini adalah sebuah proses pembelajaran, ujian, atau rahmat dari Allah SWT yang menghantarkannya menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih baik. Jika yang didapatkannya itu baik dalam pandangan matanya maka ia bersyukur, jika yang diterimanya terasa berat ia bersabar (HR Muslim no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan).

Semuanya sebagai cerminan dari sikap tawakal-nya kepada Allah SWT itu di setiap penghujung usaha (ikhtiar) yang dilakukannya (QS Ali Imran [3]:159, 200, Al-Furqan [25]:58, Al-Baqarah [2]:153-155, Az-Zumar [39]:10). Sabar, syukur, dan tawakal itulah yangmenghantarkan dirinya tidak gundah dan menjadi tenang dan tenteram. Orang dengan iman ikhlas beginilah yang mempu berdzikir dengan khusu sesuai dengan tuntunan-Nya.

Seseorang yang jiwanya tenteram, maka persoalan hidup tidaklah menjadi beban baginya. Persoalan hidup yang secara ilmiah adalah sebuah stresor  tidak menjadikannya jatuh kepada tahapan distress atau stres tahapan dekompensasi.  Namun sebaliknya, orang yang beriman dengan ikhlas, qalbu-nya ada dzikir, maka ia melihat persoalan hidup itu adalah suatu keniscayaan dan disikapi secara proporsional. Semua stresor dari persoalan hidup itu justru memacunya menjadi orang yang kreatif dan produktif, atau disebut dengan stres yang terkompensasi.  Atau setidaknya, jika persoalan itu memang sangat berat dalam ukuran dan pandangan manusia; ia tetap dalam kondisi kejiwaan yang tenang dan damai.

Ketenteraman jiwa yang seperti ini hanya akan lahir jika memang qalbu dan jiwanya berdzikir dengan iman yang ikhlas. Ketenteraman jiwa seperti in jelas akan menjadikan mekanisme fungsi fisik (fisiologis) nya juga kuat. Mekanisme pertahanan tubuh (homeostasis) juga sangat kuat sehingga mampu tetap mempertahankan segala fungsi organ dan sistim organ vital dalam kedaan normal dan seimbang.  

Jiwa yang tenang atau tenteram tidak bereaksi berlebihan terhadap stresor kehidupan yang ada, sehingga respon abnormal baik secara tiba-tiba ataupun dalam waktu yang lama dan berulang (secara kronis) dari perubahan-perubahan sistim hormonal, respon sistim saraf otonom simpatis dan parasimpatis tidak tejadi. Dampak positifnya stimulasi abnormal secara mendadak dan kronis fungsi jantung dan pembuluh darah, saluran cerna, sistim kekebalan "Lihat imunitas"  tubuh darah juga tidak terjadi.  

Sehingga dapatlah dimengerti bahwa jiwa yang tenteram secara bersama-sama dengan faktor-faktor lainnya memberikan dampak positif terhadap kesehatan secara holistik (menyeluruh).

Dikutip dari buku penulis Berdzikir dalam Tauhid: Menghadirkan Ketenteraman Jiwa dan Pencegahan Penyakit Psikosomatik (Penerbit Gosyen Publishing Yogyakarta, 2017).

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update