(Dosen Fakultas
Kedokteran UNAND, Padang. Email: hardisman@fk.unand.ac.id)
Kehidupan dunia ini dalam
pandangan mata akan terlihat indah dan memesona. Kalau kita ikuti, ia kan
membuai dan menghanyutkan. Betapa tidak, semua yang menyenangkan nafsu nampak
dengan nyata didepan mata. Jangankan kita aktif mencarinya, diampun keindahan dunia
itu akan datang disuguhkan didepan mata kita.
Jika kita tidak
berhati-hati, maka antara menikmati kesenangan dunia dengan memperturutkan hawa
nafsu dengan melihat keindahan alam sebagai wadah mendekatkan diri terhadap-Nya
amatlah tipis. Misalnya, ada orang yang mendaki puncak gunung pada malam tahun
baru hanya dalam rangka berfoya-foya dan melakukan kemaksiatan. Tetapi ada yang
mendaki gunung untuk melihat kebesaran Tuhan melalui keindahan dan kebesaran
alam ini. Oleh karena itu, di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia ini lah, Allah
SWT memperingatkan manusia agar jangan terperdaya kehidupan dunia (QS Luqman
[31]:33 dan Faathir [35]:5).
Kehidupan dunia ini
memang indah, cantik, menarik dan memesona, namun jika hati dan diri kita
bergantung kepadanya tidaklah akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
Keindahan dunia adalah sementara dan tidak kekal, dan tak ubahnya seperti
sebuah permainan sandiwara yang berakhir begitu cepat (QS Al-kahfi [18]: 45 dan
QS Al-Hadid [57]:20). Kadang kala apa yang disaksikan indah dan mempesona itu
ternyata bukanlah wujud sebenarnya. Bahkan dalam rentang waktu yang dapat kita
saksikan pun, keindahan kehidupan dunia ini sangatlah terbatas. Wajah yang
cantik dan gagah ketika berumur 20-30an, semuanya hilang sepuluh atau dua puluh
tahun kemudian. Makanan yang lezat, hanya terasa sedap dan Nikmat ketika
melewati rongga mulut atau lidah dalam beberapa detik saja.
Dalam mendapatkaan
kehidupan bahagia yang hakiki, seorang mukmin harus mengikuti pelajaran yang
ada dalam Al-Quran. Orang yang lari dari petunjuk Allah (Al-Quran) tertipu
dengan kehidupan dunia (QS Al-An’am [6]:70 dan 130, dan Al-A’raaf [7]:51).
Bahkan lebih tegas, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang menggantungkan
hati dan fikirannya pada kehidupan dunia adalah orang-orang yang ingkar (QS
Al-Insan [76]:27 dan Al-A’la [87]:18). Orang-orang yang terlampau mencintai
dunia seperti disebut juga sebagai orang-orang yang telah melampaui batas, dan
sungguh kelak akan mendapatkan azab Allah SWT (QS An-Nazi’at [79]:37-39).
Sebaliknya, orang-orang
yang menjadikan dunia sebagai sebagai pelajaran bukan sebagai tempat
bergantung, merekalah yang disebut sebagai ulul Albab. Mereka adalah orang yang
senantiasa berdzikir kepada Allah SWT dalam dirinya kapanpun dan dimana pun berada
(QS Ali Imran [3]:190-191 dan Az-Zumar [39]:21-22). Hanya dengan selalu
berdzikir, mengingat keberadaan dan kebesaran Allah dimanapun kita berada, bisa
terlepas dari belenggu kehidupan dunia.
Oleh karenanya, Allah SWT
memerintahkan kepada orang-orang yang yakin akan kebenaran-Nya untuk selalu
berdzikir kepadanya dalam jumlah dan waktu yang tak terhingga. Hanya dengan
demikian itulah Allah SWT akan memberikan cahaya dalam kehidupan (QS Al-Ahzab
[33]:41-43). Bentuk dari perwujudan dzikir ini adalah dalam bentuk shalat
sebagai ibadah utama, mengingat dan menyebut nama Allah dalam diri serta
terlihat dalam amal perbuatan yang terpuji (QS Thahaa [20]:14, Al-Jum’ah
[62]:9-10, Al-A’raaf [7]:205 dan Al-Muzammil [73]:1-20).
Rasulullah SAW. bersabda
bahwa dzikir kepada Allah SWT lebih utama dari menginfakkan emas dan perak,
lebih baik dari berjihad dalam menghadapi musuh (Hadits dari ari Abu Darda’HR
At-Tirmidzi (hadits no. 3377) juga HR Ahmad). Rasulullah SAW juga memberikan
perumpamaan perbandingan antara orang yang berdzikir dan yang tidak adalah
ibarat orang yang hidup dan mati (HR Bukhari (no.6407). Lalu, bagi hamba yang beriki maka Allah SWT
akan senantiasa memberikan Rahmat-Nya, sebagaimana Firman-Nya “Maka ingatlah
kepada-Ku, niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS Al-Baqarah [2]:152). Ayat ini
berarti, Dia senantiasa memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang berdzikir kepada-Nya.
Hal ini juga disabdakan oleh Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah RA “Allah ta’ala
berfirman ‘Aku kuasa untuk memperlakukan hambaku seperti prasangkanya kepada
Ku, jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, Aku menyebutnya dalam diri-Ku, jika ia
menyebut-Ku dalam suatu golongan maka aku menyebutnya dalam suatu golongan yang
lebih baik” (HR Bukhari (no.7536) dan Muslim (2675).
Balasan Allah SWT
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat dan hadits tersebut, lebih lanjut
dijelaskan oleh Rasulullah dalam ungkapan metafora: “Jika seorang hamba
mendekat kepada Rabnya sejengkal, maka Ia akan mendekat sehasta maka Rab akan
mendekat kepadanya sedepa, jika haamba datang kepada Rabnya dalam keadaan
berjalan maka Rabnya akan datang kepadanya dengan berlari” (HR Bukhari (hadits
no.6436, 7537, dan 7405).
Orang-orang yang
berdzikir kepada Allah SWT dengan
hadirnya rahmat Allah kepadanya, maka qalbu (jiwa)nya menjadi tenram dan
bahagia sebagaimana Firman-Nya surah
Ar-Ra’d [13]:28. Tentunya hal ini dapat kita fahami bahwa dengan hadirnya
rahmat dan perlindungan Allah SWT maka akan hadir ketenangan, ketentraman dan
kebahagian.
Allah SWT sering kali
memperingatkan dalam Firman-Nya bahwa orang-orang qalbu atau jiwanya tidak
berdzikir adalah orang yang semakin jauh dari hidayah-Nya dan kebenaran.
Jiwa-jiwa yang tidak berdzikir atau lupa kepada Allah SWT adalah “Orang yang
lupa kepada dirinya sendiri, fasik, selalu dalam kuasa syaithan, dalam
kesesatan, semakin terpedaya dunia dan mendapatkan kehidupan yang sempit” (QS
Al-Hasyr [59]:19, Az-Zumar [39]:22, Az-Zukruf [43]:36-37, Al-Munafiqun [63]:9,
Thaha [20]:124). Oleh karenanya, setiap mukmin senantiasa qalbunya berdzikir
tanpa putus, yang terlihat lisannya dalam kalimat tayyibah dan tasbihnya serta
tutur kata yang terpelihara, dengan ibadah sebagai perwujudannya (dzikir af’al)
yang tercermin pula pada akhlak dan perilakunya.
Disarikan dari buku
penulis “Berdzikir dalam Tauhid: Menghadirkan Ketenteraman Jiwa dan Pencegahan
Penyakit Psikosomatik” (Penerbit Gosyen Publishing Yogyakarta, 2017).