Notification

×

Iklan

Iklan

Dari Beli Minyak Goreng Bekas Warga Sampai Sampahpun didesa ini Jadi Idola

29 November 2018 | 21:57 WIB Last Updated 2018-12-03T14:59:42Z

Yogyakarta - Desa Panggungharjo, di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogjakarta. Awalnya tak ada yang spesial dari desa seluas 564 Ha dan didiami sekitar 30 ribu jiwa ini. Tapi, berlahan dan pasti, kini desa ini justru menjadi salah satu tujuan ribuan orang di negeri ini, untuk belajar tentang banyak hal.

"Mengagumkan", itulah satu kata yang pantas disanjungkan kepada pemerintahan desa, pengelola  Bumdes dan masyarakat setempat.

Seakan "main sulap" saja, desa yang tergolong berkekurangan tersebut, justru berubah menjadi desa yang penuh harapan. Dulunya, tingkat kesehatan masyarakat tergolong memprihatinkan. Usut punya usut, Kepala Desa Wahyudi Anggoro Hadi, S.Farm, Apt menemukan benang merahnya. Sang Kades yang berlatar belakang kesehatan tersebut menyimpulkan, pola konsumsi masyarakat keliru.

Masyarakat terbiasa mengkonsumsi minyak jelantah. Minyak goreng bekas yang dibeningkan. Harga belinya memang murah. Ketika itu, Rp 6.000-an perliter. Kemudian minyak bekas masyarakat itu juga dibeli pengepul minyak goreng bekas. Minyak goreng bekas itu diolah dan dibeningkan.

Menggunakan dua atau tiga kali saja sudah tidak baik, apalagi kemudian hanya dibeningkan saja, "kita cari terobosan bagaimana memutus kebiasaan buruk tersebut," kata Eko Pambudi, Direktur Bumdes Panggung Lestari, Desa Panggungharjo, Kec Sewon, Kabupaten Bantul, Yogjakarta saat berkunjung ke Desa ini Kamis (29/11) yang lalu.

Ketua Forum Bumdes Indonesia H. Febby Datuk Bangso


Pucuk dicinta, ulam tiba, Gayung bersambut pula, sebuah pabrik multinasional butuh pasokan minyak pencampur solar, untuk menggerakkan mesin-mesin produksi mereka. Kebutuhan tersebut ada di minyak jelantah yang sudah diolah Biodiesel. 

“Kita beli minyak goreng bekas warga,” katanya sembari menyebutkan, harga beli Rp 85 ribu perderigen, atau 18 liter atau Rp 4.600 perliter. Setelah filterisasi, dibeli Danone Rp 7.200,-- perliter. Kebutuhan Danone berkisar 4.000 sampai 12.000 liter perbulan.

Berlahan dan pasti, ternyata tempat produksi minyak jelantah selama ini, menghentikan produksinya. Kendati tetap mengumpulkan, namun mereka menyerahkan ke Bumdes. Mereka mengikuti program Bumdes.

Kesuksesan dalam mengelola minyak goreng bekas itu, mengikuti sukses yang diraih unit usaha pertama Bumdes Panggung Lestari, mengelola sampah, “kenapa memilih mengelola sampah? Kami memiliki keterbatasan lahan pembuangan sampah, lalu kami kampanyekan sloga, Peduli Sampah Untuk Masa Depan Anak Kita,” kata Kepala Desa Wahyudi Anggoro Hadi.

Warga membentuk Kelompok Usaha Pengelola Sampah, 25 Maret 2013. Awalnya tak ada rencana untuk menjadikan unit usaha, namun belakangan dijadikan sebagai unit usaha Bumdes Panggungharjo.

Cikal bakal Bumdes Panggung Lestari berasal dari kegiatan KUPAS atau kelompok usaha pengelola sampah pada 25 Maret 2013. KUPAS dibentuk karena warga prihatin banyaknya lokasi pembuangan sampah liar di wilayahnya. Disisi lain memang terdapat keterbatasan lahan pembuangan sampah. Membawa slogan “Peduli Sampah Untuk Masa Depan Anak Kita” warga bertekad mengelola sampah agar kualitas kehidupan terjaga baik dan berkelanjutan demi masa depan generasi berikutnya.



Awalnya dalam pengelolaan sampah tidak mengedepankan profit. Kini, unit pengelola sampah sudah mempekerjakan 20 orang dengan gaji di atas UMP karena laba dari penjualan sampah hingga mencapai Rp 30 jt – 50 jt perbulan. 

“Alhamdulillah, dari penjualan barang rosok (bekas) bisa menghasilkan uang, dari biji nyamplung juga bisa dihasilkan uang karena diolah menjadi kosmetik,” kata Irfandi, salah seorang personil pengelola Bumdes Panggung Lestari.

Ketua Forum Bumdes Indonesia H. Febby Datuk Bangso menyebutkan, pengelolaan Bumdes jika dilakukan dengan menggali dan mengeksploitasi potensi yang dimiliki desa sendiri, akan memberikan hasil luar biasa terhadap usaha yang dikelola.
Datuk Febby sapaan akrab tokoh muda asal Sumatera Barat ini, mengimbau agar pengelola Bumdes (Bumnag), Kepala Desa (Walinagari) dan masyarakat melakukan langkah-langkah konkrit, mencermati apa yang ada di desa sendiri. (Catatan Perjalanan Firdaus Abie)

PILKADA 50 KOTA




×
Kaba Nan Baru Update