Oleh: Maisar Setiawan Munaf
BARKA Training & Consulting
Membaca atau mendengar kata ‘sadar’, maka yang sering terlintas di dalam pikiran kita pertama kali adalah tentang situasi dan kondisi. Maksudnya adalah di saat seseorang dianggap sadar, maka dia mampu menghadapi berbagai macam situasi bahkan menguasai kondisi. Jika dilihat dari arti kata ‘sadar’ itu sendiri, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sadar dapat diartikan sebagai berikut: insaf; merasa; tahu; mengerti; siuman; dan bangun.
Penggunaan beberapa arti kata ‘sadar’ tersebut disesuaikan dengan fungsinya masing-masing, contohnya; orang tersebut telah sadar dari kesalahannya, berarti dia telah insaf. Atau si Budi tersadar dari mimpi malamnya, berarti dia telah bangun tidur. Namun pada tulisan kali ini, saya ingin mengajak pembaca membahas ‘sadar’ dari sudut pandang kesadaran diri, yaitu mengenali dan memahami diri pribadi (self awareness) sebagai manusia.
Sangat penting sekali bagi manusia untuk mengenali dirinya lebih mendalam daripada mengenali diri orang lain. Kenapa kita harus mengenali diri sendiri terlebih dulu?! Supaya kita tahu cara menempatkan diri atau cara bersikap, seseorang dinilai kedewasaannya dari sikap, bukan dari umur. Cukup banyak orang yang berumur ‘tua’ tapi tidak ‘dewasa’, alias kekanak-kanakan, minim tanggungjawab, tidak peduli dan mudah terprovokasi.
Lalu bagaimana cara kita untuk mengenali diri? Sebelum menjawabnya, perkenankan saya mengajak pembaca untuk merujuk pada karya Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi tentang 4 golongan manusia:
1. Orang yang tahu, tetapi tidak sadar bahwa ia tahu. Itulah orang yang lalai, maka peringatkanlah ia.
2. Orang yang tidak tahu dan ia sadar bahwa ia tidak tahu. Itulah orang yang sadar diri, maka ajarkanlah ia.
3. Orang yang tahu dan sadar bahwa ia tahu. Itulah orang bijaksana, maka ikutilah ia.
4. Orang yang tidak tahu, tetapi tidak sadar bahwa ia tidak sadar, itulah orang yang dungu, maka tinggalkanlah ia.
Dari keempat jenis ini, yang paling berbahaya adalah orang jenis keempat, karena orang seperti ini adalah orang bodoh dan sombong. Sangat mengerikan jika kebodohan dan kesombongan menjadi satu padu pada diri seseorang, dia akan menjadi arogan, pembuat masalah ‘biang kerok’, dan tak ada yang bisa menasehati, karena bukan pikirannya saja yang buntu, bahkan hatinya juga membatu, semoga kita terhindar dari ciri-ciri jenis ini.
Lalu bagaimana cara kita mengenali diri? Saya menyusun tiga cara mengenali diri sendiri, yang pertama dimulai dengan mengetahui bahwa kita ini diciptakan, berarti ada yang mencipta, yaitu Allah SWT, oleh karena itu kita memposisikan diri sebagai ‘produk’. Perumpaannya seperti pada saat kita membeli seterika, ada yang membuat/memproduksinya, sudah pasti pabrik yang membuat telah menetapkan aturan penggunaan terhadap seterika tersebut, contohnya tidak boleh direndam dalam air, hanya dapat digunakan pada tegangan listrik 220 V atau lebih, simpan di tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak, dan masih banyak lagi aturan penggunaannya dengan tujuan agar produk tidak cepat rusak dan salah fungsi. Seterika saja memiliki cara penggunaan, apalagi kita sebagai manusia. Allah menciptakan kita sebagai hamba-Nya, artinya kita ikut aturannya, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Tujuannya agar kita hidup selamat dan bahagia.
Kedua, adalah dengan mengenali fungsi kehadiran kita di muka bumi, jika melihat sekeliling kita, maka Allah sudah memberikan kepada kita keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu akal. Dengan akal kita diamanatkan untuk mengelola dunia beserta isinya agar dapat dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup. Jika merujuk pada Al-Qur’an maka diri kita dihadirkan ke muka bumi adalah sebagai khalifah; pengurus, pemimpin, dan pengelola. Cara mengenali diri yang ketiga adalah bahwa kita hidup hanya sementara, dan berakhir dengan kematian. Tidak ada yang abadi kecuali Allah SWT, dengan menyadari hal ini kita akan terhindar dari kesombongan, keserakahan dan kezholiman.
Setelah mengenali hakikat diri ini, selanjutnya kita mulai masuk ke tahap memahami diri. Faham terhadap diri sendiri sebagai manusia merupakan tingkat yang lebih menekankan kepada sikap dan kerja nyata. Agar hidup kita selalu dalam aturan Sang Pencipta, maka marilah menjadi hamba yang taat dan menjauhi maksiat, mendirikan shalat sebagai tiang agama. Kehadiran kita sebagai khalifah menuntut kita untuk menjalankan fungsi melindungi dan menjaga, sehingga alam terus dapat dilestarikan, sebagai manusia kita harus banyak menebar manfaat. Yang terakhir sebagai hamba Allah SWT yang hidup hanya sebentar saja, mari berbuat baik sebanyak-banyaknya dan menghindari permusuhan, karena bekal kematian nanti adalah amal baik dan doa orang-orang yang mencintai kita. Semoga kita selalu dijaga oleh Allah SWT berada di dalam kesadaran sebagai hamba-Nya.