Ditulis oleh : Hera Maitilova Jonar, (ASN BPS Sumatera Barat)
Korupsi tumbuh bagai parasit yang hanya menguntungkan pelakunya tetapi sangat merugikan masyarakat dan negara. Tak heran pemerintah bekerja keras untuk membasminya. Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai angka kasus korupsi di Indonesia hingga tahun 2018 masih terbilang cukup tinggi. Dari level pemerintahan terkecil seperti aparat desa, ICW mencatat sebanyak 141 kepala desa menjadi tersangka korupsi sampai saat ini. Hasil pesta demokrasi yang melahirkan wakil pilihan rakyat di tingkat pusat dan daerah ternodai dengan maraknya kasus korupsi. KPK juga melansir bahwa sejak 2004 hingga akhir Mei 2018 terdapat 205 orang anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) ditugaskan untuk melaksanakan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). SPAK bertujuan untuk mengukur tingkat persimifitas masyarakat terhadap perilaku anti korupsi dengan menggunakan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). SPAK hanya mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) dan tidak mencakup korupsi skala besar (grand corruption). Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), pemerasan (extorton), dan nepotisme (nepotism).
SPAK 2018 menghasilkan IPAK sebesar 3,66 pada skala 0 sampai 5. Lebih rendah dari IPAK tahun 2017 yang tercatat sebesar 3,71. Jika nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya jika nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
Dua dimensi penyusun IPAK adalah persepsi dan pengalaman. Dimensi persepsi berupa penilaian/pendapat terhadap kebiasaan perilaku anti korupsi di masyarakat. Dimensi pengalaman berupa pengalaman anti korupsi yang terjadi di masyarakat. Di tahun 2018, nilai indeks persepsi adalah 3,86 meningkat sebesar 0,05 poin jika dibandingkan dengan tahun 2017. Sebaliknya, terjadi penurunan pada indeks pengalaman sebesar 0,03 poin jika dibandingkan dengan indeks pengalaman tahun 2017. Indeks pengalaman di tahun ini sebesar 3,57 sedangkan di tahun lalu sebesar 3,60. Hal ini mengartikan bahwa pengalaman anti korupsi yang terjadi dimasyarakat semakin rendah sedangkan pemahaman dan penilaian masyarakat terhadap periaku anti korupsi semakin meningkat.
Indikator penyusun dimensi persepsi dikelompokkan dari tiga lingkup yaitu keluarga, komunitas dan publik. Pada lingkup keluarga memperlihatkan bahwa sebesar 77 persen masyarakat menyatakan tidak wajar jika istri menerima uang tambahan dari suami di luar penghasilan tanpa mempertanyakan asal usul uang tersebut. Menariknya, 23 persen masyarakat menganggap hal ini masih wajar. Selanjutnya pada lingkup komunitas, hampir separuhnya yaitu 46 persen masyarakat menganggap wajar jika memberi uang/barang kepada tokoh masyarakat ketika keluarganya melaksanakan hajatan. Pada lingkup publik, salah satu perilaku yang dinilai paling tidak wajar adalah tindakan nepotisme untuk menjamin keluarga/saudara/teman agar diterima bekerja di instansinya bekerja. Masih ada sekitar 30 persen masyarakat menilai fenomena ini wajar ditengah tingginya persaingan pencari kerja.
Berikutnya, pelayanan dalam SPAK mencakup pelayanan masyarakat ketika berhubungan dengan 10 layanan publik dan pengalaman lainnya antara lain pengurus RT/RW, kelurahan/ kecamatan, kepolisian, Perusahaan Listrik Negara (PLN), layanan kesehatan, sekolah negeri, pengadilan, Kantor Urusan Agama (KUA), Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dan Badan Pertahanan Nasional (BPN). Sangat mengejutkan, ternyata terjadi peningkatan persentase masyarakat yang menggangap lumrah jika memberi uang/barang kepada pelayan publik melebihi ketentuan.
Peningkatan sebesar 1,55 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (18,06 persen menjadi 19,61 persen). Ketika mengakses layanan publik, terlihat fenomena masyarakat yang mengakses sendiri layanan tersebut akan tetapi mereka membayar tarif melebihi ketentuan yang ditetapkan. Fenomena ini meningkat dari tahun sebelumnya. Peningkatan tertinggi terjadi pada pengurusan layanan publik di KUA. Hampir 5 persen masyarakat yang mengakses sendiri layanan KUA (misalnya dalam mengurus pernikahan/perceraian) dan mereka mengaku membayar tarif melebihi ketentuan biayanya.
Sejatinya, korupsi tidak akan berdiri sendiri jika tidak ada integritas yang kuat pada sang pengemban amanah. Ditambah lagi dengan faktor lingkungan yang dapat memberikan peluang menggelembungnya praktek korupsi.
Masyarakat sebagai pemakai layanan birokrasi dan politik bisa saja berperan sebagai pemberi peluang positif jika mereka tidak memiliki pemahaman sikap anti korupsi. Sebaliknya, akan mempersempit peluang korupsi jika masyarakat sudah teredukasi sikap anti korupsi. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi ke masyarakat sehingga masyarakat dapat berperan dalam pemberantasan korupsi.