Oleh : Prof Elfindri |
Demam Revolusi Industri 4.0 (R-1 4.0) menjadi mewabah akhir-akhir ini. Belum selesai dibahas, bahkan Jepang sudah mengusulkan mereka masuk ke dalam Revolusi 5.0.
Revolusi 4.0 ditandai dengan berfungsinya teknologi informasi (TI). Setelah sebelumnya berkembang produk yang dihasilkan secara massal dengan bantuan teknologi.
Jepang justru menetapkan satu tingkat lebih tinggi, revolusi tahap 5.0 yang mereka yakini akan mensejahterakan manusia.
Revolusi 4.0 sebagai bentuk lahirnya inovasi, yang membuat berbagai bentuk produksi barang-barang dan jasa-jasa mengalami perubahan.
Dengan terjadinya R-1 4.0, kemudian banyak yang melihat munculnya shifting dari segala bidang. Sebenarnya terjadinya shifting, sebagai akibat inovasi ini pernah diingatkan oleh Joseph Schumpeter, ketika beliau mengajukan bahwa entrepreunership dan innovation dianggap sebagai salah satu faktor produksi baru. Selain pentingnya proses substitusi antara modal dan tenaga kerja.
Pada awalnya penggunaan tenaga kerja dalam menentukan nilai tambah barang-barang dan jasa jasa yang lebih banyak. Saat bersamaan modal fisik sedikit dan dengan teknologi minimum digunakan.
Tahap berikutnya, terjadi penggunaan modal fisik berupa mesin yang lebih banyak dengan mengurangi tenaga manusia. Situasi ini terjadi pada revolusi industry tahap dua. Pada tahap ketiga, penggunaan otomatisasi dan mesin terjadi, dan penggunaan manusia semakin berkurang. Dengan padat modal begitu, teknologi bisa semakin berperan.
Melihat revolusi industri, seperti yang pesat akhir-akhir ini seolah olah kita termenung. Memang terjadi untuk berbagai sektor, misalnya pada sektor transportasi dan perdagangan. Adanya proses penggunaan teknologi IT, telah memudahkan pelayanan tranportasi, perdagangan, dan sejenisnya.
Sebagai akibat model-model pelayanan untuk kedua jenis sektor ini memang terasa sekali, terutama di kota-kota besar. Pelan-pelan sudah pula merambah ke pedesaan. Tahun 2019 ini intensitasnya semakin meningat.
Namun sekali lagi, bahwa jika terjadi Industri 4.0 itu, lantas apakah semua sektor mengalami revolusi?. Apakah Indonesia akan menjadi penonton saja?.
Di sektor pertanian misalnya dengan ditemukannya traktor tangan, telah mengurangi tenaga kerja petani dalam membersihkan lahan. Tapi pada pertanian tradisional, petani masih mengalami banyak masalah dalam budidaya dan hama. Persoalannya belum masuk ke tahap ke 4, namun masih transisi dari tahap revolusi tahap 1 ke tahap 2.
Sekali lagi, bahwa jika kita lihat Revolusi Industri tahap 4.0 memang sudah berjalan, saat bersamaan masih perlu pula kita pahami bahwa pada sektor lain, revolusi ada yang masih pada tahap 2, atau pada tahap 3.
Sebagai akibat kita terlalu konsentrasi pada revolusi 4.0, kita akan lupa bahwa masyarakat kita masih berada jauh di bawah. Inovasi mengangkat mereka memasuki tahap ke dua dank e tiga hanyalah dapat dilakukan melalui penguatan inovasi dan teknologi. Kemajuan teknologi yang ‘relevance’ menjadi sangat diperlukan ke depan.
Gap Teknologi
Boleh dikata, kenapa kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara maju?, pembedanya adalah dampak teknologi. Piere Van der Eng tahun 2008 dari Australian National University pernah melakukan kalkulasi bahwa sumbangan teknologi dalam perekonomian Indonesia hanya berkisar 16%, sementara Korea Selatan dan Jepang sudah melebihi 50%.
Untuk menjadikan negara kita unggul dan menuju kemandirian, maka teknologi yang perlu dikuasai bukanlah teknologi yang sudah dikuasai oleh negara-negara maju. Jika kita mengikuti mereka, maka kita akan menjadi pengikut setia, alias technology follower.
Jika Indonesia mau menuju kemandirian dalam jangka panjang, mestinya kita masuk pada bidang-bidang dimana kita akan semakin unggul. Industri otomatis, mungkin kita tdak akan perlu menguasainya, karena Jepang dan Korea sudah lebih dahulu. Teknologi yang kita kuasai mesti ada pada pangan, energi, teknologi kelautan, pertahanan, transportasi, material, dan tentunya nilai-nilai sosial budaya.
Jika ketergantungan kita pada impor pangan masih tinggi, maka kita cukup pastikan teknologi beras dikuasai, dan menutup kekurangannya masuk pada teknologi pangan lokal. Begitu Jepang sudah menggunakan ubi sebagai makanan tambahan pokok, maka mereka tidak menghadapi masalah serius dalam bidang pangan.
Swasembada obat juga perlu diupayakan, jenis selektif yang bisa dihasilkan melalui teknologi yang dihasilkan oleh dunia kefarmasian. Kita mungkin perlu menguasai teknologi bateray karena keperluannya tinggi. Kita perlu cari alternative angkutan laut yang cepat.
Oleh karenanya, riset-riset yang dilakukan di perguruan tinggi dan litbang seharusnya menuju kepada kemandirian bidang-bidang yang disebutkan di atas. Jika risetnya melebar, dan menuju kepada publikasi internasional, maka jelas teknologi kita akan tetap tertinggal, dan kita akan menghadapi masalah yang luar biasa dalam jangka panjang.
Inovasi Mikro dan Kecil
Penelitian ke depan dapat dilakukan oleh dunia pendidikan tinggi, dengan terfokus kepada bidang prioritas. Penelitian yang bagus adalah penelitian yang relevance, hasilnya dapat diutamakan dirasakan untuk perbaikan kehidupan masyarakat.
Selama ini penelitian yang ada di PT banyak berorientasi discovery, terlalu canggih. Apalagi melanjutkan penelitian dosen pembimbing di luar negeri. Tepat jika mengejar keilmuan, dengan segala laboratorium yang juga mesti canggih. Ketika para peneliti pulang ke tanah air dan tetap melanjutkan riset itu, maka apa yang terjadi, mereka akan frustasi. Penelitian mereka tidak banyak dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Oleh karenanya, pengajaran di PT mestinya sensitif terhadap apa kebutuhan yang riil di sekeliling kita, dan bagaimana masalah itu dapat dipecahkan. Naiknya angka pengangguran Sarjana, salah satunya adalah mereka menunggu pekerjaan dari pemerintah. Padahal inovasi yang diperlukan adalah nyata disekeliling kita.
Penelitian peternakan jelas lebih relevan menghasilkan pakan yang murah dan tersedia di lokal, dan teknologi tersedia. Sehingga jeritan peternak di Payakumbuh bisa diobati melalui penerapan teknologi pakan sederhana.
Teknologi sederhana sangat diperlukan pada usaha kecil dan menengah. Mahasiswa dan dosen perlu sungguh memecahkan masalah produktivitas dan efisiensi, agar suatu kelak bisa diproduksi dengan biaya yang rendah, dan kemudian akan dapat menurunkan biaya pokok produksi.
Kita masih tergantung kepada obat impor. Makanya kawan-kawan farmasi melakukan penelitian yang dapat substitusi obat yang selama ini diimpor, sebutlah agak tiga sampai lima jenis obat. Maka dalam jangka panjang kita fokus kepada jenis obat tersebut dihasilkan.
Bayangan kita tindakan agar penelitian relevance akan menyebabkan sumberdaya yang ada akan diarahkan untuk mencapai itu. Oleh karenanya demam Revolusi Industri 4.0, sebaiknya dipastikan lagi agar demam itu tidak terlalu canggih teknologi yang dikuasai, namun teknologi dan inovasi yang membuat Indonesia mampu untuk mandiri.
Oleh karenanya dapat kita sarankan Pertama, agar segera pendidikan tinggi merumuskan pilihan-pilihan utama tentang teknologi apa yang mereka akan hasilkan dalam jangka lima tahun ke depan. Pada tahap ini universitas mesti menghasilkan rencana strategis yang akan dilaksanakan.
Kedua, penguatan kelembagaan riset dan labortorium, yang akan menghasilkan inovasi-inovasi sederhana, namun berdampak dalam kehiduapn masyarakat.
Ketiga mengembangkan kerjasama penelitian dosen dan mahasiswa, dosen dengan pemerintah daerah, dan dosen dengan dunia usaha yang ada. Lakukan pembaharuan dan inovasi agar suatu saat terjadi peranan inovasi.
Keempat, lakukan sosialisasi secara terus menerus kepada pengguna, agar teknologi yang dihasilkan dapat terpakai pada tahap implementasi. Pada tahap ini, invesi dilakukan di berbagai bidang dengan lintas keilmuan.
Toh akhirnya setelah invasi selesai, maka akan dilakukan tahap berikutnya adalah tahap inovasi. Pada tahap ini, peranan pendanaan keuangan untuk menumbuhkan dan memperluas produksi manjadi kata kunci. Di belakangnya jelas banyak tersedia lapangan pekerjaan.(***)