Oleh : Yogi Imam, Lc, M.Ag (* |
Pasbana.com --- Ketika Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman untuk taat طاعة. Maka konsekuensi logis dari taat itu ada dua pengertian.
Pertama, taat bermakna خضوع (khudhu’) artinya memposisikan diri siap diperintah. Orang yang sudah mentasbihkan diri taat kepada sesuatu, maka dia harus siap apa pun kondisinya kapan pun waktunya untuk siap diperintah melakukan apa pun oleh pihak yang ditaatinya. Karena begitulah heirarki dalam sebuah pengabdian. Tidak ada ruang baginya untuk membantah dan menyanggah.
Ketika terjadi bantahan atau pun sanggahan maka yang bersangkutan sudah bisa di cap sebagai orang yang membangkang (orang yang tidak taat).
Kedua, taat bermakna امتثال imtisal, artinya seorang yang dikatakan taat itu musti mewujudkan ketaatannya tadi dalam bentuk tindakan yang kongkrit dan nyata. Apakah itu dalam bentuk perintah melakukan sesuatu atau pun perintah meninggalkan sesuatu.
Kalau belum tampak ketaatan itu dalam bentuk tindakan yang kongkrit tadi, maka taat seseorang itu belum membuahkan hasil dan masih dalam tahap wacana serta belum bisa dinilai. Sebab setelah ada tindakan yang kongkrit tadi barulah bisa tampak nilai ketaatan seseorang. Apakah standarnya masih di bawah atau sudah pada level di atas rata-rata.
Makanya makna taat ini berat dan dalam sebenarnya, sehingga ketika Allah SWT perintahkan taat kepada Allah dan Rasulnya, redaksi kata taat tadi tidak diulang untuk Ulil Amri dikarenakan relatif. Artinya Ulil Amri hanya ditaati ketika dia juga tampak ketaannya kepada Allah dan juga RasulNya.
Wallahu A’alam Bishowab.
*) Penulis adalah Dosen Ilmu al-Qur'an dan Tafsir di IAIN Batusangkar