Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD
Dosen Fakultas Kedokteran Unand, Padang-Indonesia.
Fellow International Live Stock Research Institute (ILRI), Hanoi-Vietnam
|
Pasbana.com --- “Gara-gara sate setusuk, rusaklah rendang sebelanga”, mungkin inilah ungkapan yang bisa menggambarkan kondisi citra bisnis makanan di Kota Padang dan Sumatera Barat (Sumbar) saat ini. Hal ini terjadi karena beberapa hari yang lalu Kota Padang dikejutkan oleh penggerebekan dan penangkapan pelaku terduga menjual daging babi pada sate dagangannya. Sontak pemberitaan ini mengejutkan semua fihak, baik masyarakat umum ataupun bagi pedagang lainnya.
Bagi masyarakat, adanya pemberitaan ini akan menyebabkan ketakutan dalam membeli daging atau makanan hasil olahan daging yang dijajakan penjual. Adanya satu kasus, masyarakat akan mengasumsikan bahwa masih banyak lagi penjual yang tidak ketahuan.
Bagi para penjual daging dan makanan hasil olahan daging baik sate atau lainnya, ini pulalah yang ditakutkan. Adanya satu orang penjual yang nakal, akan menjadikan image buruk bagi penjual secara keseluruhan. Akibatnya, masyarakat akan lari dan menghindari membeli makanan produk daging dari masyarakat. Jika ini terjadi, tentu akan berdampak buruk bagi penjualan mereka.
Salahkan Menjual Daging Babi?
Ada orang yang bertanya, tidak bolehkah menjual daging babi atau makanan yang mengandung daging babi di Indonesia yang majemuk? Bukankah hukum positif negara kita tidak dilandasi atas Islam yang mengharamkan babi?
Secara umum, permasalahan sebenarnya bukanlah terletak pada boleh atau tidaknya seseorang menjual daging babi atau produknya di Indonesia. Namun, yang sesungguhnya terjadi adalah penipuan dalam penjualannya.
Penduduk Sumbar pada umumnya, Kota Padang pada khususnya adalah Muslim yang mengharamkan memakan daging babi dan segala produknya. Penjual sate di Padang secara implisit tentu memberitahukan dan memberikan kesan kepada masyarakat bahwa sate yang dijualnya adalah daging sapi, yang layak dikonsumsi masyarakat setempat. Masyarakat juga memahami hal yang sama.
Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada pasal 8 ayat 3 disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menjual produk pangan yang rusak, tercemar atau memberikan informasi yang tidak lengkap atau tidak benar. Pada pasal 9 ayat 1 dan 2 juga dinyatakan bahwa pelaku usaha juga dilarang menawarkan, yang tentu termasuk didallamnya menjual secara tidak benar, seolah-olah kesannya tidak seperti yang sebenarnya. Bahkan secara tegas, pada pasal 11-C juga dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mengelabui konsumen, karena sesungguhnya dia tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain.
Jika kita lihat kasus yang terjadi pada penangkapan penjual daging sate tersebut dapat memenuhi syarat pelanggaran pasal-pasal Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut. Tentunya segala pembuktiannya adalah kewenangan proses hukum dan pengadilan. Jika terbukti bersalah melanggar undang-undang tersebut, ancamannya maksimalnya bisa penjara dua tahun/ denda 500 juta rupiah pada pelanggaran pasal 11 atau 5 tahun/ denda 2 milyar rupiah pada pelanggaran pasal 8 atau 9.
Penjualan makan dan ritel di pasar tradisional diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) nomor 5 tahun 2015. Dalam penjualan bahan baku saja mesti diatur pembagian jenis pangan, penempaytan dan penyimpanannya agar tidak terjadi kontaminasi silang atau percampuran, sebagaimana disebutkan pada pasal 2 ayat 3. Secara spesifik, pada Pasal 5.2.5 menyatakan bahwa pangan yang mengandung babi, yang harus dijual terpisah, baik dari pemajangan, peralatan yang dugunakan, orang yang menanganinya, serta penyajuan ataupun penyimpanannya. Bahkan produk babi atau makanan yang dijual wajib mencantumkan logo dengan gambar babi dan bertuliskan “Mengandung Babi”.
Berdasarkan analisis tersebut, kita dapat menilai bahwa yang terajdi sesungguhnya adalah penipuan publik secara langsung oleh penjual. Seolah-olah memberikan kesan yang bersangkutan menjual produk daging sapi dan yang aman dikonsumsi masyarakt di sekitarnya. Jika memang yang bersangkutan ingin menjual makanan hasil olahan daging babi, ia mesti memberitahu konsumen secara jelas, baik lisan ataupun dengan logo yang telah diatur.
Inilah yang juga diterapkan di berbagai negara, bahkan di negara-negara yang mayoritas non-muslim sekalipun. Setiap orang boleh menjual daging apapun atau produk makannya, namun harus mencantukam dengan jelas apa yang dijualnya.
Dampak Pada Citra Kuliner Sumbar
Khusus untuk Sumbar, adanya penjualan makanan mengandung babi tidak hanya berhenti pada permasalahan hukum semata.
Sumbar dikenal dengan daerah yang Islami religius dan sekaligus daerah dengan kuliner yang mempunyai cita rasa baik. Daerah ini sejak dahulu terkenal dengan rendangnya hingga ke mancanegara. Bahkan, secara berurut-turut pada tahun 2016 da 2017 rendang sebagai makanan khas Indonesia dinyatakan oleh CNN sebagai peringkat pertama dalam daftar world best food.
Saat ini Sumbar, khususnya Kota Padang sedang gencarnya menjadikan daerah ini menjadi dstinasi wisata halal di Indonesia dan dunia. Wisata halal meberikan kepastian dan kenyamanan berwisata yang memenuhi kaedah-kaidah syari’ah Islam, seperti transportasi dengan konsep Islami, mudahnya akses tempat ibadah selama perjalanan dan pada tempat wisata.
Tentunya yang paling utama adalah selalu tersedia makanan dan minuman yang terjamin kehalalanya, bersih, dan tidak mengandung produk babi dan alkohol. Wisata halal diaharapkan mampu mendatangkan devisa dari para wisatawan muslim dari manca negara.
Pada tahun 2016, Sumbar mendapatkan penghargaan sebagai World’s Best Halal Culinary Destination atau destinasi wisata kuliner halal terbaik di dunia dalam ajang kompetisi World Halal Tourism Award (WHTA) 2016 yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirate Arab (UEA). Tahun 2018 yang lalu, pada hasil evalusi oleh Indonesia Muslim Travel Index (IMTI), Sumbar meraih peringkat empat sebagai destinasi wisata halal di Indonesia, setelah Lombok (NTB), Aceh dan DKI.
Pencapaian Sumbar tersebut tidak dapat dilepaskan dari kuliner atau maskannya. Ditemukannya sate daging babi menjadikan citra apa yang telah diraih bisa menjadi pudar dan cacat. Bahkan ke depannya, cita-cita ke depan untuk menjadikan Sumbar sebagai destinasi halal utama di Indonesia menghadapi kendala besar.
Padang adalah tolak ukur Sumbar. Bagi orang luar, Padang itu identik Sumbar. Kita tahu, bila kita berada di Jakarta atau daerah lain di Pulau Jawa, orang hanya menyebut orang Sumbar itu dengan orang Padang.
Oleh karenanya, kasus yang terjadi telah meluas pemberitaannya di media nasional. Meskipun kasus yang terjadi di Kota Padang, dalam skala besar “memungkinkan” merusak citra kuliner dan wisata halal Sumbar secara keseluruhan.
Jika ini terjadi, perlu sikap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta pelaku usaha makanan untuk merebut kembali citra yang baik itu. (***)