Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD (* |
Pasbana.com --- Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Untuk memenuhi kebutuhannya, seseorang tidaklah dapat mengandalkan dirinya sendiri, tak peduli apakah ia kaya atau miskin, berpangkat tinggi atau tidak, semuanya tergantung dengan keberadaan orang lain.
Interaksi Sosial dalam Kebaikan
Kebutuhan kita dalam hidup tidak dapat dipenuhi sendiri. Setiap orang selalu membutuhkan orang lainnya.
Kebutuhan kita dalam hidup tidak dapat dipenuhi sendiri. Setiap orang selalu membutuhkan orang lainnya.
Semua orang tergantung dengan petani, karena semua orang membutuhkan makanan yang bahan dasarnya merupakan hasil pertanian. Sebaliknya, petani juga membutuhkan orang lain, seperti para pedagang dan produsen pupuk dan lain sebagainya.
Seorang pengusaha kaya butuh karyawan dan buruh untuk menjalankan usahanya, para buruh dan pekerja juga butuh peluang pekerjaan yang disediakan oleh pengusaha. Sebaliknya para pekerja butuh lapangan pekerjaan yang disediakan oleh para pengusaha.Begitulah dinamika sosial kehidupan di dunia ini.
Kalau kita sedikit mau merenungkan hikmah dari sebutir nasi, maka kita akan sangat takjub karena dari hanya sebutir nasi melibatkan puluhan bahkan ratusan orang untuk menghasilkannya.
Mulai dari orang yang menyemai benih, menanam padi, petani yang merawat, pemanen, pekerja mesin pengolah beras, pedagang beras. Sungguh kita tidak dapat hidup sendiri, meskipun hanya dari aspek terkecil sekalipun.
Oleh karena itu, mutlak dibutuhkan silaturrahmi atau hubungan yang baik antar sesama. Sebagaimana Allah SWT telah menegaskan bahwa manusia yang sekarang milyaran jumlahnya, diciptakan dari seorang lai-laki dan perempuan maka hendaknya senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama (silaturrahmi) (QS An-Nisa [4]:1).
Inilah yang disebut sebagai salah satu Ulul Albab yang mendapat pelajaran dari Allah SWT (Ar-Raad [13]:19-21).
Allah SWT telah memerintahkan orang-orang yang yakin akan kebenaran-Nya utuk senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran itu dan selalu memelihara silaturrahmi. Sebaliknya Ia melarang perpecahan dan permusuhan (Ali Imran [3]:103 dan 105).
Banyak tuntunan yang diberikan oleh Allah SWT, diantaranya selalu berkata-kata baik, tidak angkuh dengan memandang orang lain lebih rendah, tidak berprasangka buruk dan tidak membicarakan keburukan orang lain (Al-Hujurat [49]:11-12).
Sabar dan Pemaaf Sebagai Kunci
Tatkala dalam berinteraksi sosial seseorang mendapatkan kezaliman, Allah SWT menuntun untuk tetap berbuat baik. Ketika kita menjadi korban perbuatan kesalahan orang lain, maka jalan yang diridhai-Nya adalah menjadi pemaaf.
Sebagaimana yang ditegaskannya dalam Al-Quran untuk berpaling atau menjauh dari keburukan orang itu namun dengan memberikan maaf atau ridha atas kesalahan yang dilakukannya (QS AlAraf [7] ayat 199 dan Surat Asy-Syura [42] ayat 39-43).
Dalam ayat-ayat tersebut secara jelas disebutkan, bahwa diperbolehkannya kita membalas kejahatan orang yang berbuat zalim terhadap diri kita yang dapat mengakibatkan kondisi yang fatal. Namun hal ini dilakukan dalam upaya membela diri.
Pembalasan yang dilakukan juga tidak dilakukan secara membabi buta dan melampaui batas nilai-nilai kemanusiaan. Bila membalas dengan seperti itu, maka telah jatuh pula kedalam perbuatan zalim, yang sama saja nilainya dengan pelaku yang menzalimi sebelumnya.
Namun bila kejahatan orang terhadap kita bukan kekerasan fisik, bersabar dan memaafkan adalah jalan terbaik. Bersabar dan memaafkan inilah yang akan mendapat balasan yang baik pula dari Allah SWT (QS Asy-Syura [42]:40 dan Ali Imran [3]:149).
Hal seperti inilah yang telah dicontohkan oleh rasulullah SAW. Bagaimana beliau memaafkan orang-orang yang menghina, mencaci dan menzalimi pribadinya.
Inilah yang pernah dinasehatkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, tatkala ada seorang sahabat yang meminta nasehat.
Inilah yang pernah dinasehatkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, tatkala ada seorang sahabat yang meminta nasehat.
Beliah bersabda Jangan marah. Meskipun berkali-kali sahabat itu bertanya, beliau tetap menjawab Jangan marah (HR Al-Bukhari, sebagaimana juga salah satu Hadits Arbain An-Nawawiyah ke-16).
Sabar dan menahan marah terhadap perbuatan orang lain yang telah menzalimi, lebih utama lagi tatkala punya kekuatan untuk itu. Kamampuan untuk sabar tatkala punya kekuatan dan kesempatan untuk marah, itulah yang menjadi salah satu tanda orang yang bertaqwa (QS Ali Imran [3]:134).
Sabar dan memaafkan kesalahan orang lain datang dari dalam jiwa yang lapang, yang dutandai dengan memberikan ketridhaan terhadap perbuatan orang itu. Sehingga setelah itu tidak ada beban fikiran dan perasaan terhadap kesalahannya.
Memaafkan itu adalah memberikan keridhaan terhadap perbuatan yang telah dilakukan orang itu. Keridhaan itu ditandai dengan tidak lagi mengungkit-ungkit kesalahan orang setelag itu. Bahkan jika orang yang sama melakukan kesalahan terhadap kita, maka kesahalannnya sekarang tidak lagi dikaitkan dengan kesalahannya yang telah lalu.
Memaafkan dengan keridhaan, bukan menganggapnya tidak ada yang terpendam ke dalam jiwa. Jika perbuatan orang lain terhadap kita yang terpedam seperti api dalam sekam yang sepertinya tidak ada, namun suatu ketika siap menjadi api yang membakar dan meladak.
Memberikan maaf dengan keridhaan, hati sanubari dan jiwa menjadi tenang. Secara kesehatan, ini akan berdampak kepada kestabilan hormonal dan sistim saraf otonom simpatis dan parasimpatis.
Ketenangan dengan kestabilan sistim saraf dan hormon memberikan manfaat pula terhadap kestabilan irama jantung, tekanan darah dan kesehatan secara paripurna. Inilah salah satu makna, bahwa apa setiap perbuatan baik yang kita lakukan, termasuk memberikan maaf justru berarti berbuat baik untuk diri kita sendiri (QS Al-Isra [17];7)
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - Padang, Ketua Program Pascasarjana Kesmas & Manajemen RS,
email: hardisman@fk.unand.ac.id.
email: hardisman@fk.unand.ac.id.