Ditulis oleh: Hera Maitilova Jonar (ASN BPS Provinsi Sumatera Barat)
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengabulkan gugatan para penggiat perlindungan anak dan perempuan. Gugatannya terkait dengan rendahnya batasan umur dan perbedaan batasan umur perkawinan antara laki-laki dan perempuan pada Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974. Undang-undang menetapkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan mencapai umur 16 tahun. Keputusan tersebut dipresiasi sebagai langkah awal untuk menghapus diskriminasi gender serta perkawinan anak.
Di Tahun 2008 silam, kita dikejutkan oleh kabar pologami terhadap anak yang berusia 12 tahun. Sempat menghebohkan masyarakat, kemudian berujung dipenjaranya sang laki-laki karena telah melanggar undang-undang perlindungan anak. Mereka pun dipisahkan bukan untuk pembatalan pernikahannya tetapi izin poligaminya diperbolehkan setelah anak tersebut berumur 16 tahun. Belum lama ini, juga beredar kabar dari Pulau Celebes bahwa telah terjadi perkawinan dibawah umur.
Perkawinan pemuda yang berumur 16 tahun dengan anak yang berumur 14 tahun mendadak viral di jagad maya (detik.com). Walaupun kasus ini bukan pertama kali terjadi, tetap saja pernikahan anak sangat mengkhawatirkan. Bahkan data UNICEF mencatat bahwa Indonesia menjadi negara tertinggi ketujuh di Asia Tenggara dalam kasus perkawinan anak (mediaindonesia.com). Merupakan persoalan serius bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Pemuda (dalam batasan usia 16-30 tahun) merupakan kelompok usia produktif yang diharapkan berpengaruh besar terhadap kualitas bonus demografi yang akan dialami oleh Indonesia pada beberapa tahun mendatang. Akan menjadi beban negara jika pemuda yang masih berusia sekolah banyak yang berhenti sekolah bahkan melakukan perkawinan pada usia sekolah tersebut. Alih-alih mempersiapkan diri untuk lebih berkualitas, kenyataannya mereka harus memiliki tanggung jawab penuh terhadap keluarga kecilnya. Keuntungan yang diharapkan dari bonus demografi dapat terancam jika perkawinan anak masih tinggi.
Faktanya, berdasarkan data Statistik Pemuda Indonesia yang dikeluarkan oleh BPS, mencatat bahwa di tahun 2018 sebanyak 8 dari 10 pemuda di Indonesia kawin pada usia kurang dari 25 tahun. Didominasi oleh pemuda perempuan dengan persentase 90,18 persen sedangkan pemuda laki-laki sebesar 70,18 persen. Mirisnya lagi, walaupun sudah diatur oleh undang-undang perkawinan, masih ada pemuda laki-laki yang kawin dibawah usia 19 tahun sekitar 6,77 persen dan pemuda perempuan yang kawin dibawah usia 16 tahun sekitar 3,72 persen. Seharusnya pada usia tersebut mereka masih mengenyam bangku pendidikan sekolah dasar atau sekolah menengah. Padahal secara psikologis, pada usia tersebut emosi masih labil. Serta sel-sel pada sistem reproduksi perempuan belum sempurna.
Secara umum, perkawinan dini tidak terlepas dari faktor ekonomi, pendidikan dan tempat tinggal. Masyarakat dengan kondisi ekonomi lemah memiliki keterbatasan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kebalikannya, anak yang kawin dini akan putus sekolah dan berujung suramnya masa depan mereka dikarenakan tidak memiliki keterampilan hidup dan pemikiran yang matang. Sehingga akan kesulitan untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Begitu juga dengan masyarakat di wilayah pedesaan, kecenderungan pemuda dengan usia kawin pertama kurang dari 16 tahun lebih besar dua kali lipat jika dibandingkan dengan pemuda di wilayah perkotaan (3,42 persen berbanding 1,59 persen).
Selanjutnya dari segi faktor ekonomi rumah tangga, pemuda yang kawin pertama pada usia kurang dari 16 tahun lebih besar pada kelompok pengeluaran rumah tangga 40 persen terendah jika dibandingkan dengan kelompok pengeluaran rumah tangga diatasnya. Rendahnya akses pendidikan membuat minimnya pengetahuan sehingga tak jarang pernikahan dini terjadi pada masyarakat ekonomi lemah dan pendidikan rendah.
Bagaimana dengan kondisi di Sumatera Barat? Tahun 2018 Sumatera Barat memiliki pemuda yang lebih banyak tersebar di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan. Persentase pemuda dengan usia kawin pertama kurang dari 16 tahun selama kurun waktu 3 tahun terakhir memperlihatkan penurunan. Angka di tahun 2018 sebesar 1,31 persen menurun sebesar 0,09 persen jika dibandingkan dengan tahun 2017. Seiring dengan kondisi Nasional, persentase terbesar yang melakukan perkawinan dini juga berada pada wilayah pedesaan dan tetap didominasi oleh pemuda perempuan. Walaupun angka pernikahan dini tergolong rendah, kita perlu mengantisipasi bahkan menihilkan angka perkawinan dini.
Peningkatan edukasi ke masyarakat level bawah agar anak-anak dapat menikmati haknya untuk tumbuh dan menikmati pendidikan minimal 12 tahun. Semoga dapat memanifestasikan pemuda yang berkualitas dari segi pendidikan, pekerjaan dan kesehatan karena merupakan investasi yang besar bagi negara. Terbentuknya pemuda yang produktif akan berujung kepada produktifitas secara ekonomi. Agar tidak menjadi beban negara dan memiliki peran terhadap bonus demografi.