Oleh: Hardisman, MD, PhD Dosen Universitas Andalas |
Pasbana.com --- Hari Rabu tanggal 17 April ini kita akan menyalurkan hak konstitusi kita untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia ini yang akan kita percaya memimpin dalam lima tahun kedepan. Kita juga akan memili wakil-wakil kita yang akan duduk di DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota, yang akan kita titipkan amanah untuk mewakili suara kita dalam ketatanegaraan.
Dalam satu tahun belakang ini, terutama dalam bulan-bulan terakhir kita telah disibukkan dengan berbagai informasi yang beredar tentang para kandidat.
Informasi tentang mereka datang dari beragai arah dan berbagai persepektif. Kadang kala, ada informasi yang baik namun sebaliknya, banyak pula informasi yang tidak menyenangkan.
Terlebih lagi, dengan membaiknya sistim dan teknologi informasi saat ini, segala informasi tersebar dengan cepat. Apapun informasi yang disebarkan oleh seseoarang akan langsung beredar di internet dan media sosial. Sehingga lalu-lintas informasi itu sangat sulit untuk dibendung dan dihalangi.
Informasi yang kita terima itulah yang mebuat kita bersikap dan berfikir. Sehingga, keberpihakan seseorang terhadap kandidat sangat erat kaitannya dengan siapa temannya dan apa komunitasnya. Komunitas dan kelompok itulah yang sangat berkaitan apa informasi yang selalu ia dapatkan.
Meningkatnya komunitas-komunitas sosial media, yang tentunya di setiap komunitas akan selalu menyanjung kandidat jagoannya. Dalam satu komunitas, hampir dipastikan bahwa akan mendapatkan informasi yang kecenderungannya sama setiap hari. Sehingga setiap kelompok atau komunitas tersebut akan merasa begiutulah informasi yang beredar sesungguhnya. Asumsi ini akan melahirkan kesimpulan baginya, bahwa kandidatnyalah yang unggul.
Padahal, belumlah tentu demikian adanya, karena pada kelompok dan komunitas lain yang berbeda padangan, juga beredar informasi yang berbeda setiap harinya. Di kelompok yang berbeda itu, juga merasa dan meyakini jagoannyalah yang unggul.
Berbagai informasi yang gentayangan itu telah menambah panasnya situasi politik.
Betapa tidak, karena tidak jarang pula dari pendukung berat kandidat yang dijagokannya, tidak hanya membuat atau menyampaikan informasi tentang kebaikan dan rencana kedepan kandidatnya. Akan tetapi, ditambahkan dengan keburukan lawannya.
Bahkan yang lebih distorsi lagi, berbagai informasi itu juga merupakan dugaan, rekaan, atau bualan semata (hoax), yang membuat suasana pemilu yang seharusnya merupakan Pesta demokrasi berubah menjadi Petaka demokrasi. Pemilu yang seharusya menjadi ajang kegembiraan dan kebersamaan, sudah bergeser menjadi ajang permusuhan dan mengores luka untuk perpecahan.
Tidak ada masalah dengan keberpihakan dan menjatuhkan pilihan. Adalah hak setiap orang untuk mengidolakan kandidat dan jagoannnya, selama dilakukan dengan cara-cara bijak dan penuh kebaikan. Akan tetapi, jika diamati dalam waktu sekitar tujuh bulan terakhir, jargon-jargon dukungan terhadaop kandidat jagoan sudah menampakkan permusuhan antar kelompok.
Perdebatan yang telah mengantarkan kepada permusuhan dan memporak-porandakan ukhuwah inilah yang sangat dilarang dalam Islam.
Walau bagaimanapun perbedaan ide dan pandangan kandidat yang bertarung dalam pemilihan presiden-wakil presiden dan anggota legislatif di negeri ini, kita tentu menyadari perbedaan antara setiap kubu bukanlah perbedaan antara Musa vs Firaun bukan pula seperti Ibrahim A.S vs Namrud. Namun adalah perbedaan ide, fokus, dan cara pandang.
Di kelompok manapun kita berdiri, akan ditemukan orang-orang yang punya niat baik. Lalu, kita berikhtiar memilih siapa dan dimana yang lebih banyak manfaatnya, dan paling sedikit mudharatnya.
Oleh karenanya, menjaga ukhuwah lebih utama dibandingkan mempertentangkan pilihan yang menjadi jagoan masing-masing. Khusus bagi sesame Muslim, nilai-nilai ukhuwah mestinya menjadi rambu-rambu dalam berdebat dan beargumentasi.
Islam mengajarkan bahwa setiap mukmin itu adalah orang-orang yang bersaudara (ukhuwah). Kedekatannya melebihi dari sekedar teman (zamil) atau sahabat. Tetapi diibaratkan bagaikan saudara sedarah (akhun). Oleh karenanya, mestilah selalu berdamai, dan membuat kedamaian.
Bahkan mesti menjadi jalan kedamaian bagi orang yang bermusuhan (lihat QS Al-Hujurat [49]:10).
Sikap dan tindakan dalam kehidupan sosial yang harus dihindari adalah dengan perkataan yang ramah, tidak merendahkan, dan memanggil dengan panggilan yang baik (Lihat QS Al-Hujurat [49]:11). Namun apa yang dilakukan dalam perdebatan karena perbedaan pilihan politik, justru sangat bertentangan dengan tuntunan ayat ini. Sudah menjadi kebiasaan, memanggil orang yang berbeda kelompok dengan sebutan binatang kecil yang tak punya kemampuan apa-apa, Cebong dan Kampret.
Islam juga sangat melarang dengan keras berburuk sangka (suudzhan) dan mencari-cari atau mengungkit-ungkit kesalahan orang lain (tajasus) (Lihat QS Al-Hujurat [49]:12. Tapi justru inilah yang paling sering dilakukan selama masa kampanye dan perdebatan dalam dukung-mendukung kandidat dan jagoan beberapa bulan terakhir.
Inilah yang ditegaskan dalam Al-Quran, bahwa semestinya tidak ada perpecahan diantara muslim (mukmin), karena dengan persatuan itulah Rahmat dan petunjuk-Nya akan datang (Lihat QS Ali Imran [3]:103). Permusuhan dan pertikaian yang tidak berujung jutsru akan melemahkan dan menghancurkan ummat itu sendiri (Lihat QS Al-Anfal [8]:46).
Bahkan dengan indah, dalam Al-Quran juga disebutkan bagaimana menjaga keharmonisan antar sesame sebangsa, yang berbeda keyakinan. Caranya adalah dengan menyadari bahwa kita punya banyak kesamaan, lalu saling memahami dan tegur sapa (Lihat QS Al-Hujurat [49]:13).
Ukhuwah itu telah ‘retak’ dan ‘memuai, sehingga dan perlu direkatkan kembali. Caranya adalah dengan kembali kepada petunjuk-Nya, dengan mengamalkan nilai-nilai luhur dalam kita suci itu. Perbedaan pendapat dan perdebatan seharusnya dihadapi dengan lapang dada dan mudah memaafkan. Hindarkan segala bentuk kebodohan baik yang datang dari luar ataupun dari diri sendiri (QS Al-Araf [7]:199).
ooOOoo