Ditulis oleh: Alvi Rusyda *)
Akan tetapi, peringatan itu tidak digubris sehingga terjadi kenaikan harga yang mencapai Rp100.000/kg di beberapa daerah.
"Kami pandang kurangnya pasokan bukan karena anomali pasar, atau harga di daerah asal, China mahal, atau ada masalah iklim. Hal ini terjadi karena hambatan rekomendasi impor produk hortikultura di Kementan dan surat persetujuan impor di Kemendag. Ada apa sebenarnya penundaan ini sampai empat bulan berturut-turut. Sampai saat ini juga pemerintah tidak memberikan jawaban," ujarnya, Rabu (15/5/2019).
Pihaknya menduga terjadi rekayasa pasar yang mengarah pada tindakan kartel jilid kedua yang berhubungan dengan keterlambatan penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta penetapan harga jual sebesar Rp25.000 secara sepihak antara Kementerian Pertanian dan para importir atas nama operasi pasar.
Dugaan tindakan kartel ini, menurutnya, bertujuan untuk meningkatkan harga jual bawang putih yang sempat anjlok pada akhir 2018.
Menurutnya, harga Rp25.000/kg yang disepakati oleh pemerintah dan importir tidak memiliki dasar hukum maupun perhitungan nilai keekonomian yang jelas.
Pasalnya, harga bawang putih dari China dan dikapalkan ke Indonesia sebesar Rp14.500 sehingga jika dibanderol dengan Rp25.000 dalam operasi pasar masih terlampau tinggi.
"Penetapan harga ini melanggar Undang-undang 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," ucapnya.
KPPU pernah memperkarakan 19 perusahaan dalam kasus kartel import bawang putih. Dalam perkara dengan nomor registrasi 05/KPPU-I/2013 ini, 19 terlapor terbukti melanggar Pasal 11, Pasal 19 huruf c, dan Pasal 24 UU No.5/1999 dan telah berkekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Keterlambatan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian dalam menerbitkan RIPH, menyebabkan tersendatnya suplai barang di pasar yang berujung pada kelangkaan dan harga yang meroket.
Tidak ada pelaku usaha dalam negeri yang menanam varietas bawang yang sejenis dengan bawang yang diimpor tersebut sehingga kebijakan rekomendasi impor tersebut dianggap tidak beralasan.
Bahkan, kebijakan impor yang menggunakan dasar kuota sebagaimana yang terjadi selama ini justru menyebabkan masyarakat menanggung harga yang sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari jurang harga yang lebar antara harga bawang di negara asal dengan harga yang diterima konsumen di dalam negeri. (inilah.com)
Penyebab Mahalnya Bawang Putih
Dalam sidak ditemukan bawang putih yang sengaja ditimbun menjelang Ramadan. Jumlahnya fantastis, yaitu 182 ton bawang putih.
“Hari ini kami temukan 182 ton bawang putih yang sengaja ditimbun oleh importir, minggu lalu dalam sidak ke pasar kami masih temukan harga bawang putih Rp 45 per kilogram, padahal sebelumnya dalam pertemuan dengan 42 importir di kantor Kementerian Perdagangan, sudah kami sampaikan agar tidak ada penimbunan,” tukas Amran di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Rabu (17/5).
Amran meminta seluruh harga jual harus sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 38 ribu per kilogram. “Untuk itu hari ini bersama tim satgas pangan bergerak cepat kembali ke lapangan,” tukasnya.
Amran mengaku sudah berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan. Importir penimbun akan diberikan sanksi tegas berupa pencabutan rekomendasi dari Kementerian Pertanian.
“Hari ini kami masuk ke Pasar Induk Kramat Jati sebanyak 2 kontainer setara 29 ton kami pasok. Harga bawang putih ini akan dijual dengan harga Rp 25 ribu per kilogram. Tidak ada lagi alasan harga pangan pokok naik dan bergejolak,” tukas Amran. (Jawa pos.Com)
Masyarakat Mengalami Kerugian
Harga bawang putih di Pangkal Pinang pada awal Ramadhan naik dua kali lipat menjadi Rp 60.000 - Rp 65.000 per kilogram. Padahal harga sebelumnya sekitar Rp 30.000 per kilogram.
" Bawang putih bersih kualitas bagus saat ini Rp 65.000 per kilogram. Kami hanya jual sedikit yang ini saja," kata Era, pedagang sembako di Pasar Induk Pangkal Pinang, kepada Kompas.com, Rabu (8/5/2019).
Era mengatakan, harga bawang putih melonjak drastis karena pasokan dari distributor yang terbatas. Padahal dalam waktu bersamaam permintaan masyarakat dan pengusaha kuliner meningkat.
"Kabarnya ada pasokan lebih banyak. Harga nanti bisa turun. Ini pun juga sudah turun dari sebelumnya mencapai Rp 80.000 per kilogram," ujarnya.
Wati, pedagang lainnya mengaku menjual bawang putih Rp 60.000 per kilogram.Selama kenaikan harga itu, penjualan berkurang karena konsumen mengurangi pembelian. "Rata-rata yang beli dua sampai tiga ons saja," ujarnya.
Dampak dari kenaikan harga itu, omzet pedagang eceran berkurang dari biasanya 30 kilogram menjadi 10 sampai 15 kilogram per hari.
Pedagang berharap keuntungan dari penjualan sembako lainnya seperti cabai merah dan sayur-sayuran. Peri, pembeli bawang putih yang memiliki bisnis rumah makan mengaku harus beralih ke bumbu siap saji untuk mengganti bawang putih yang harganya melonjak.
"Porsi bawang putih sedikit dikurangi. Kalau harga murah biasanya kami jadikan bumbu, tanpa tambahan penyedap. Sekarang pakai bumbu siap saji," kata Peri,
Pedagang sembako di Pangkal Pinang hingga saat ini mengandalkan bawang putih impor dari China serta dari Pulau Jawa. Berbeda dengan bawang putih, harga bawang merah stabil di kisaran Rp 28.000 sampai Rp 30.000 per kilogram.
Kapitalisasi di bidang Ekonomi
Mahalnya harga kebutuhan pokok, salah satunya bawang putih ini, sangat mencekik bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang mempunyai usaha yang bahan pokoknya adalah bawang putih. Tentu menjadikan masyarakat susah menentukan harga hasil produksi mereka untuk dijual kepada konsumen.
Selanjutnya berdampak kepada menurunnya minat masyarakat untuk membeli sebuah produk, dan produsen mengalami kerugian bahkan usahanya terancam bankrut.
Pemerintah tidak memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi, abai seolah melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan rakyat.
Akhirnya para pemilik modal semena-mena menaikkan harga barang. Asalkan bisa mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ini baru satu kenaikan harga barang kebutuhan pokok. masih banyak harga kebutuhan pokok lainnya siap-siap mengalami kenaikan harga.
Islam sebagai Problem Solving
Harga adalah hasil pertukaran antara uang dengan barang. Secara alami, harga ini ditentukan oleh supplay and demand (penawaran dan permintaan). Karena itu, jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, sedangkan permintaannya sedikit, maka harga akan turun. Jika barang yang ditawarkan jumlahnya sedikit, sedangkan permintaannya besar, maka harga akan naik.
Dengan demikian, harga akan mengikuti hukum pasar. Karena, hukum pasar tersebut ditentukan oleh faktor supplay and demand, maka untuk menjaga stabilitas harga di pasar, faktor yang harus diperhatikan oleh negara adalah faktor supplay and demand ini. Keseimbangan antara supplay and demand harus selalu diperhatikan oleh negara, sehingga harga tersebut benar-benar stabil.
Ketika harga barang naik, orang berpikir sederhana, agar tidak naik, maka pemerintah harus turun tangan, mematok harga. Pandangan ini sepintas benar, meski faktanya tidak. Dengan mematok harga, memang harga bisa stabil pada waktu tertentu, tetapi cara ini justru menyebabkan terjadinya inflasi.
Karena, diakui atau tidak, pematokan harga ini mengurangi daya beli mata uang.
Karena itu, Islam mengharamkan negara untuk mematok harga. Harga, justru oleh Islam dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, supplay and demand. Ketika zaman Nabi, saat harga barang-barang naik, para sahabat datang kepada Nabi SAW meminta agar harga-harga tersebut dipatok, supaya bisa terjangkau.
Tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Nabi, seraya bersabda, “Allah-lah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok harga.” (HR Ahmad dari Anas).
Dengan begitu, Nabi tidak mau mematok harga, justru dibiarkan mengikuti mekanisme supplay and demand di pasar.
Jika kenaikan harga barang itu terjadi, karena faktor supplay yang kurang, sementara demand-nya besar, maka agar harga barang tersebut bisa turun dan normal, negara bisa melakukan intervensi pasar dengan menambah supplay barang.
Cara ini jelas tidak merusak pasar. Justru sebaliknya, menjadikan pasar tetap selalu dalam kondisi stabil. Kondisi ini bisa terjadi, karena boleh jadi di suatu wilayah telah mengalami krisis, bisa karena faktor kekeringan atau penyakit, yang mengakibatkan produksi barangnya berkurang. Akibatnya, supplay barang-barang di wilayah tersebut berkurang.
Untuk mengatasi hal ini, negara bisa menyuplai wilayah tersebut dengan barang-barang yang dibutuhkan dari wilayah lain. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan oleh Umar, ketika wilayah Syam mengalami wabah penyakit, sehingga produksinya berkurang, lalu kebutuhan barang di wilayah tersebut disuplai dari Irak.
Jika kenaikan barang tersebut terjadi, karena supplay yang kurang, akibat terjadinya aksi penimbunan (ihtikar) barang oleh para pedagang, maka negara juga harus melakukan intervensi dengan menjatuhkan sanksi kepada pelaku penimbunan barang. Sanksi dalam bentuk ta’zir, sekaligus kewajiban untuk menjual barang yang ditimbunnya ke pasar. Dengan begitu, supplay barang tersebut akan normal kembali.
Jika kenaikan barang tersebut terjadi, bukan karena faktor supplay and demand, tetapi karena penipuan harga (ghaban fakhisy) terhadap pembeli atau penjual yang sama-sama tidak mengetahui harga pasar, maka pelakunya juga bisa dikenai sanksi ta’zir, disertai dengan hak khiyar kepada korban. Korban bisa membatalkan transaksi jual-belinya, bisa juga dilanjutkan.
Islam juga mengharamkan bagi semua pihak baik asosiasi pengusaha, importir, maupun pedangan untuk melakukan kesepakatan,kolusi,atau persekongkolan yang bertujuan mengatur dan mengendalikan suatu produk. Hal itu bisa dilihat pada kegiatan persekongkolan untuk menahan stok maupun membuat harga jual sebagaimana yang dilakukan para spekulan saat ini. wallahua'lam.
*) Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang