Sulaiman Juned saat membacakan puisi diatas panggung pertunjukan ( foto: Dok.Pribadi ) |
Ditulis Oleh: Chafid Muntaqo *)
Bang Soel merupakan sesosok yang biasa buat teman, saudara, yang sekaligus bapak dalam melindungi kami seperti anaknya ketika mengalami kesedihan. Suatu hari, kami memang sering bergelut dengan kemiskinan. Kala itu sudah kehabisan bekal uang maupun makanan dengan menahan lapar terpaksa harus bolak-balik minum air kran (air leding/air PDAM) agar perut terisi. Pernah selama dua hari tidak makan, hanya minum air tersebut, hehehehe..ternyata kita masih kuat ya Bang Soel.
Saya masih ingat ketika dipaksa menulis puisi agar dimuat di Surat Kabar. Kemudian harus latihan baca puisi agar bisa ikut perlombaan, berlatih teater untuk dipentaskan. Bang Soel selalu menekankan bahwa kita "BISA" dengan kata tersebut memacu semangat kami untuk berlatih serius. Walaupun dalam hati terpaksa melakukan semua itu. Namun dengan caranya yang khas dalam mengarahkan kami saya akhirnya larut dalam latihan dasar teater bersama Bang Soel. Ada kalimat yang sampai hari ini masih kuingat; "Jadi, menulis dan berteater itu tidak penting punya bakat. Bakat itu tidak dapat menjadikan dirimu hebat kalau tanpa kemauan dan kesungguhan. Adik-adik akan menjadi penulis dan teaterawan hebat jika punya kemauan yang tinggi. Kemauan dapat mengalahkan bakat" begitu tutur Bang Soel pada kami ketika sedang latihan dimana dan kapanpun, kalimat itu selalu diulangnya.
Bang Soel seorang sosok yang pragmatis, yang selalu mengedepankan peran dimana kita berada, ketika kita sedang latihan Bang Soel berharap latihan yang hanya dua jam itu dilaksanakan dengan serius. Bahkan bagi yang latihannya tidak serius bisa saja kena makian, dan akan terbang pula sepatu dan gelas ke wajah kita. Namun jika berada dalam situasi santai Bang Soel sering berseloroh/bercanda dengan gaya dan pembicaraan yang membuat kita terhibur.
Sosok Sulaiman Juned dalam kesehariannya ( foto: Dok.Pribadi ) |
Begitulah Bang Soel yang selalu mengedepankan arti sebuah kebersamaan dalam segala hal. Ini terbukti dalam Sanggar Cempala Karya Banda Aceh yang didirikannya pada tahun 1986. Bang Soel di Sanggar CeKa (Cempala Karya) menciptakan ruang antar sesama layaknya sebagai saudara kandung saja. Pernah suatu ketika, ketika itu kurang sehari lagi Lebaran Haji (Idhul Adha), di Aceh ada budaya hari Makmeugang namanya (potong kerbau/lembu menyambut Lebaran). Bekal makanan saya hanya tinggal satu bungkus mie instan sedangkan rekan-rekan kost yang lain sudah pada pulang kampung. Saya tinggal sendiri karena kampung saya jauh di Banjarnegara, Jawa Tengah, jadi saya tak pulang. Tiba-tiba Bang Soel datang memaksa harus ikut dengannya ke kampung halamannya di Usi Dayah, Beureunuen, Pidie. Entah darimana Bang Soel tahu keadaan logistik saya sudah kritis, bang Soel menyelamatkan hidup saya. Langsung saja saya terima tawaran itu, dan saya bisa makan sepuas-puasnya selama dua minggu saya berada di kampung Bang Soel. Yang paling membuat saya terenyuh, ternyata seluruh keluarga Bang Soel sangat familiar, ibu Bang Soel menganggap saya seperti anak kandungnya. Luar biasa.
Bang Sulaiman Juned yang akrab kami panggil Bang Soel di Aceh lebih di kenal dengan nama pena Soel's J. Said Oesy. Bang Soel dikenal sebagai sastrawan dan teaterawan juga jurnalis. Bang Soel itulah sapaan akrab kudengar 17 tahun yang lalu. Perkenalan antara saya dan Bang Soel bertemu di Kantin Cempala FKIP Lama di kampus Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Ketika itu, saya baru pertama mengenal teater dan baca puisi. Bang Soel gaya pakaiannya seadanya, baju selalu memakai kaos oblong plus celana jeans dengan santai berbicara tentang dunia teater dan juga membahas tentang puisi. Dan anehnya selalu saja menyebut kata "AH!" yang menjadi trade mark setiap puisi karya Bang Soel. Di sanggar CeKa selain sebagai pendiri Bang Soel pernah menjabat sebagai ketua yang mereka cetuskan di Kantin Cempala tersebut yang sekaligus jadi markas Sanggar Cempala Karya Banda Aceh.
Kesan pertama kala itu dengan Bang Soel adalah sesosok yang telah begitu lama berkecimpung dalam dunia seni. Namun dalam berkata-kata selalu merendah dan apa adanya. Memang kalau diskusi tentang mempertahankan kebenaran terkadang meledak-ledak dan tak mau mengalah kalau Bang Soel menyakini yang diucapkannya itu benar. Saat itulah saya masuk dalam dunia seni bersama Bang Soel sehingga seluruh jiwa ragaku larut dalam dunia seni itu. Sejalan waktu berlalu kukorek (ingin mengetahui banyak tentang Bang Soel). Ternyata Bang Soel mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah lama tidak tamat-tamat (mahasiswa abadi). Bayangkan saja ketika saya masuk Bang Soel sudah 9 (Sembilan) tahun jadi mahasiswa. Sampai-sampai saya bertanya-tanya dalam hati kapan Bang Soel selesai kuliah, sebab yang seangkatannya sudah tidak ada lagi di kampus alias Tamat.
Saya masih ingat ketika latihan teater usai lalu kami selalu saja makan bersama. "Nasi tidak boleh makan satu bungkus sendiri. Jadi, buka bungkusan nasi itu dan kita makan bersama" Tutur Bang Soel. Ternyata dengan makan bersama-sama membuat keakraban semakin erat sesama anggota. Suasana dalam Sanggar Cempala Karya Banda Aceh layaknya seperti saudara kandung, apalagi Sanggar CeKa memiliki semboyan "Satu untuk Semua, Semua untuk Satu". Sering kami pulang malam karena latihan atau diskusi di Taman Budaya Aceh, bahkan kalau malam sudah terlalu larut kami tidur bersama-sama di Meunasah Tua Taman Budaya Aceh yang tidak memiliki dinding itu dengan diiringi nyamuk sebagai musiknya. Ya begitu karena masa itu tidak ada autan untuk anti nyamuk. Namun semua itu terasa nikmat. Sering pula pulang latihan dari Taman Budaya pulangnya jalan kaki menuju Darussalam (rumah) karena tidak punya uang untuk naik Robur (Bus Kampus) atau Damri apalagi Labi-Labi (angkot). Kalau kepingin mie Rebus, kopi, rokok kita ngutang di Kantin Seniman Taman Budaya Aceh dengan membubuhi tanda tangan di buku utang CeKa nanti kalau Bang Soel sudah dapat honor tulisan, pementasan teater dan mengisi sinetron lepas di TVRI Stasiun Aceh serta Bang Soel dapat gaji bulanan sebagai Redaktur Budaya Warta Unsyiah atau SKM. Peristiwa barulah utang itu dilunasi. Begitu luar biasanya Bang Soel dimata kami.
Bang Soel yang dulu, kini tiada beda, tak kusangka kami bisa ketemu di Solo (2013) (hehehehe….bedanya semakin tua tapi tetaplah ganteng). Dulu ketika saya bekerja di budi daya ikan lele dumbo CV. Simelur Indah yang berada di Lanteumen Timur Banda Aceh. Masih ingatkah Bang, Kala itu kita makan sisa panen dengan sambal tomat dan kecap manis. Hemmm terasa sekali nikmatnya bagi seorang anak kost yang sudah beerja dan sedikit dapat penghasilan. Sering kita ngumpul di pondok saya sambil melahirkan puisi. Lahir juga beberapa naskah lakon yang akhirnya kita pentaskan baik di panggung maupun kita jadikan sinetron lepas untuk TVRI Stasiun Aceh. Puisi-puisi yang dimuat di Surat Kabar dan juga banyak yang dibukukan dalam antologi bersama penyair-penyair Indonesia. Saya ingat mesin ketik warna merah abang pinjamkan untuk saya agar bisa ngetik karya. Bang Soel ingatkah juga ketika kita makan bakso karena saya bekerja sebagai orang cuci mangkok agar makan baksonya gratis di kantin Cempala sebagai base camp kita. Sambil ngutang kopi pancung dengan tidak lupa membubuhkan tanda tangan di buku kita (CeKa).
Bang Soel, saya ingat ketika dapat bantuan dana dari Rektorat Unsyiah untuk pengembangan UKM-Teater Nol yang abang dirikan itu, guna mendukung sarana dan prasarana, bantuannya kalau dihitung tidak cukup dengan padatnya kegiatan dan pembelian proeferti. Bang Soel bela-belain adu mulut alias bertengkar dengan pihak rektorat Bidang Kemahasiswaan. Bahkan sampai dengan Pembantu Rektor sekalipun Bang Soel berani bertengkar walau hasilnya tetap saja Nol. Makanya teater Kampus itu Bag Soel berinama TEATER NOL dengan motto dari tiada menjadi ada . Bang Soel begitu gigih memperjuangkan keberadaan UKM-Teater Nol Unsyiah agar tetap hidup.
Perjalanan waktu, aku dan Bang Soel, semenjak tahun 1997 Bang Soel aku dengar kabar ke Padangpanjang, aku pikir jadi dosen di sana sesuai tawaran almarhum Prof. Dr. Mursal Esten salah seorang bapak angkat Bang Soel, ternyata bang Soel melanjutkan kuliah lagi di sana sembari mengajar sebagai dosen honorer. Sayapun tak tahu apakah melanjutkan atau kuliah dari Nol lagi karena sepengetahuan saya di jurusan Bahasa dan Sastra FKIP Unsyiah sudah 15 tahun belum lulus ketika saya pulang ke Banjarnegara, faktornya saya tidak paham kenapa atau setelah saya tidak di Unsyiah mungkin Bang Soel lulus tidak tahu juga saya. Semenjak itu, kami sudah tidak pernah ketemu. Namun lima tahun yang lalu pernah nilpun saya, katanya sedang melanjutkan kuliah S-2 di Penciptaan Seni Teater STSI Surakarta, Jawa Tengah sekitar tahun 2005. Saya begitu terhenyak, bercampur tidak percaya seratus persen bahwa Bang Soel bisa menyelesaikan kuliah. Namun sayangnya, waktu Bang Soel sedang kuliah S-2 di Solo, kami tidak pernah ketemu padahal aku dengar kakak Titin (istrinya) Bang Soel beserta Soeryadarma Isman anaknya Bang Soel ikut serta. Setiap janjian ingin berjumpa selalu saja gagal. Aku sangat rindu sama keluarga Bang Soel karena sudah saya anggap sebagai abang kandung, Guru dan Bapakku sekaligus.
Kerinduan berkepanjangan ingin bertemu Bang Soel sekeluarga terus menderu dalam jiwa. Tuhan memang berkehendak lain, setelah lama tak ada kabar tiba-tiba Bang Soel menilpun saya pada tanggal 26 September 2013. Suatu malam Bang Soel mengabarkan dirinya ada di Solo dalam rangka melanjutkan studi di Penciptaan Seni Teater Program Doktoral (S-3) di ISI Surakarta, Jawa Tengah. Saya lebih terheran-heran mengikuti proses kreatif kehidupan Bang Soel ternyata jadi dosen di Minat Penyutradaraan Jurusan Seni Teater ISI Padangpanjang, pernah menjabat sebagai Kepala HUMAS di ISI Padangpanjang, pernah menjadi Sekretaris dan Ketua Pendirian kampus baru Seni Institut seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh (2012-2014). Luar biasa kerja kerasnya untuk dirinya, dunia kesenian yang diyakininya, sekaligus untuk mencerdaskan anak bangsa melalui pendirian kampus seni itu. Sekarang Bang Soel telah jadi Doktor Penciptaan Teater. Luar biasa.
Ini luar biasa, gumamku. Dulu abang saya ini adalah orang yang tak mungkin menyelesaikan kuliahnya (studi). Namun sekarang sedang menyelesaikan program Doktoral, rasanya aneh. Ibaratnya, dulu karena idealismenya untuk menjadi orang saja susah, koq sekarang beda. Dulu Bang Soel asyik dengan dunia sastra dan teaternya. Wah…wah…sekarang Bang Soel jadi seniman yang akademik. Aku bangga Bang. Memang rencana Tuhan tak ada yang tahu, ketika saya ada pelatihan di Solo. Padahal saya ingin membuat kejutan. Rencana saya mau mampir ke rumah kontrakan Bang Soel yang telah diberikan alamat itu. Eeee…eeee malah Bang Soel Telpon saya sudah berada di hotel tempat pelatihan, bang Soel tahu saya berada di hotel tersebut karena membaca postinganku di Facebook. Singkat cerita bertemulah kami.
Sungguh di luar dugaan, ternyata Bang Soel masih seperti dulu dengan gayanya yang khas, pakai kaos Oblong dan celana jeans serta pakai sandal jepit. Bang Soel tidak berubah sedikitpun gayanya, bicaranya, tawanya seperti pertama sekali saya kenal di Unsyiah Aceh. Dari pembicaraan selama dua jam terlihat tingkah dan sikap hidupnya masih seperti dulu. Bang Soel sebagai abangku, temanku, guruku yang sekaligus sebagai Bapakku sudah jadi orang karena Bang Soel sangat sering meng'orang'kan orang lain. Salut dan tabik buatmu guruku. Kini saya dengar kabar telah jadi Ketua Jurusan Seni Teater di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Sumatera Barat (2019-2023)
Banjarnegara, 2019
*) penulis adalah anggota Sanggar Cempala Karya Banda Aceh dan Mantan Ketua UKM-Teater Nol Unsyiah Darussalam, Banda Aceh