Notification

×

Iklan

Iklan

Menatap Rembulan Dan Matahari Soeryadarma Isman Dan Sulaiman Juned

16 Juni 2019 | 20:51 WIB Last Updated 2019-06-16T13:51:06Z

OLEH: MAIZUL *)

Pasbana.com  -    Menganalisa sebuah karya sastra , baik itu berupa novel, puisi dan sebagainya intinya tetap saja kepada kompleksitas yang menyeluruh.

Memandang dari semua sisi sehingga mendapati sebuah hasil kesimpulan. Tentu didapati baik itu berupa kritikan, saran ataupun masukan.  Mengamati sebuah karya sastra puisi sama halnya mengamati penyair itu sendiri, dengan kata lain membaca karya-karya penyairnya secara langsung dapat mengetahui pribadi sang penyair, baik kepekaan sosial dan pandangannya tentang dunia luar. 

Atas dasar itu, dalam membedah Antologi Puisi Rembulan dan Matahari  karya Soeryadarma Isman dan Sulaiman Juned. Penulis membahasnya dari sudut pandang impiris. Baik itu berupa pengalaman pribadi ataupun orang lain dengan harapan dapat menjadi pelajaran.

Jenjang seorang Soeryadarma Isman dalam ruang pengamatan. Sebagai seorang sahabat. Saya sudah lama kenal dengan Sulaiman Juned dan ikut menyaksikan bagaimana ia berjuang sampai menjadi seorang seniman besar seperti saat ini.  Dilain sisi saya juga ikut menyaksikan perkembangan seni seorang Soeryadarma Isman yang tidak lain adalah anak kandung  Sulaiman Juned. Kerap kali disaat Soerya (Pangilan keluarga kepada Soeryadarma Isman) masih duduk di sekolah dasar. Sulaiman Juned sering memperlihat karya-karya puisi Soerya kepada saya.  Joel ini karya anakmu itu yang sering beliau ucapkan. Dari sinilah saya mulai mengamati karya-karya Soerya dan dapat memahami bahwa ia kelak akan bisa seperti abi (ayahnya) walau disisi lain ada kekhawatiran Soerya akan menciplak seluruh style atau gaya sang Abi didalam berkarya. Dari kekhawatiran inilah saya sering diam-diam terus mengamati perkembangan Soerya dalam berkreatifitas. Bahkan dari cara ia membacakan puisi di atas pangungpun kerap tidak luput dari pengamatan saya.  Bagaimanapun saya tidak pernah yakin seseorang akan bisa menjadi besar bila mencontek orang lain.

MENATAP REMBULAN ADALAH MENATAP SOERYADARMA ISMAN

         Ada hal-hal impiris yang menarik dari seorang Soerya diawal-awal memulai karir sebagai seorang penyair. Ini dapat diamati dari karya-karyanya dalam antologi 3 Penyair Cilik berjudul Negeri di Atas Langit, Penerbit Kuflet Publishing (2011). Soerya dalam karyanya yang berjudul Matahari, Awan, Mamak, Bintang, Hujan, Bulan dan sebagainya. Karya-karya Soerya di atas dapat menjelaskan ruang kecerdasan berpikirnya dalam umur yang masih 9 tahun (saat buku itu diterbitkan), Soerya mampu merangkum berbagai problema sosial dan lingkungan disekitarnya.



Hal ini yang menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang penyair.  Sementara dengan bahasa yang sederhana ia dapat menyampaikan  apa yang ia rasakan, dan itu disampaikannya dalam karya-karyanya melalui kejernihan berpikir dan kepolosan.  Negeri Di atas Langit adalah antalogi pertama sekaligus jenjang pertama Soerya untuk menapak lebih tinggi.

Ketika Bang Sulaiman Juned meminta saya untuk jadi pembicara dalam peluncuran Antologi Puisi Rembulan dan Matahari  karya Soeryadarma Isman dan Sulaiman Juned (FAM PUBLISHING Cetakan pertama Februari 2019}  dengan cepat menyetujuinya. Ini didasarkan kepada keingintahuan saya tentang perkembangan kreativitas seni dari seorang Soerya.

Menganalisa karya-karya Soerya, berbagai pertanyaan memenuhi kepala apalagi melihat perkembangan sosial remaja seumur Soerya sekarang. Penyair-penyair muda sezaman saya yang ketika seumuran Soerya lebih dominan berkarya tentang cinta dengan segala problemanya atau alam dengan semua keindahannya. Atau penyair buas yang berusaha menjadi hakim yang menyidangkan semua problema sosial. Menurut apa saja yang menurutnya adalah keadilan dan menumpahkanya kedalam kata-kata puisi. Sebuah karya memang tidak pernah lagi dari ketidakpuasan ataupun kenikmatan yang dirasa namun bagaimanapun tetap mencari seorang penyair murni yang berkata-kata dengan hati nurani, menyampaikannya dengan ketulusan sehingga berpengaruh kepada publik. Sisi inilah yang ingin terlihat dari seorang Soerya.

Coba membaca puisinya, seperti: //Sebelum pada subuh menyerah/Tuhan merubuhkan kampungku dengan cinta// (Menyapa Gempa, antalogi puisi Rembulan dan Matahari hal 9). //Aku sedang menangisi dunia/ Sebab hidup begitu panjang amalan sedikit// (Menangis, Antalogi puisi Rembulan dan Matahari hal 13). //Setiap imajinasi jadi puisi/Penyerahan diri pada Illahi// (Doa, Antologi puisi Rembulan dan Matahari hal 15). //Menyapa puisimu seperti belajar pada laut/ Setia menerima segala puja dan dengki// (Menyapa puisimu, Antalogi puisi Rembulan dan Matahari hal 34).

      Antologi Puisi Rembulan dan Matahari membuat pembaca terenyuh akan ketulusan hati dan kehalusan budi seorang Soerya. Syairnya lembut menyentuh tanpa diberi celah untuk menilai emosinya dalam berkarya.  Kata-kata penuh kasih sayang dan kedekatannya kepada Tuhan membuatnya bijak dalam berkarya. Ini dapat dilihat dari puisi Menyapa Gempa. Begitu pasrahnya ia kepada takdir saat kampungnya dihantam gempa dan bagitu positifnya ia berpikir kepada Tuhan sehingga keluarlah kata-kata //Tuhan merubuhkan kampungku dengan cinta//. Sisi Kedekatan dan pemahaman Soerya kepada Tuhan ini membuat pembaca berapresiasi positif. Bahwa di zaman sekarang masih ada penyair-penyair muda yang tidak melupakan Tuhan.  Sedangkan dalam puisi berjudul Menyapa Puisimu juga terlihat kerendahan hati seorang soerya. Bagaimana ia menghormati senior-seniornya  seraya berkata //Menyapa puisimu seperti belajar pada laut/ Setia menerima segala puja dan dengki//  Seolah ia mau mempelajari dan tidak malu mengambil ilmu dari orang lain.

 Sudut pandang terhadap makna yang dikandung dan keindahan bahasa sastra seorang penyair terkadang menjadikan patokan standar dari  keindahan puisi. Atas dasar itu,  maka dapat dilihat dari puisi-puisi kaum muda sekarang lebih menonjolkan kedua sudut pandang ini dalam karya-karya mereka. Kerap membaca puisi yang isinya mengandung bahasa-bahasa sastra yang menawan diiringi makna yang dalam. Namun dari sisi lain, dalam karya itu dapat pula membaca emosi sang penulis secara vulgar sekalipun ia pandai menyembunyikan bait-bait indah. Sementara Soeryadarma Isman mampu menyampaikan dengan baik mengenai Kebencian,  ketidakpuasan. Kenetralan, kenyataan sosial yang riil  dalam sebuah karya ditambah pula kemampuannya menyampaikan makna secara lembut guna mengubah sebuah kesenjangan atau ketidakadilan adalah sebuah hal penting yang harus dimiliki oleh seorang penulis puisi. Apalagi ditambah dengan kemampuannya membaca puisi akan membuat seseorang mudah untuk menjadi mestro penyair. Hal ini dapat pula berkaca kepada W.S Rendra yang tahun-tahun awal menjadi seorang penyair beringas dengan kritik-kritiknya yang tajam. Namun diakhir hidupnya mampu melahirkan sebuah puisi indah tentang kecintaan dan kerinduannya kepada Tuhan. Kerap para penyair memulai jenjang seninya dari emosi yang labil namun setelah beranjak dewasa menjadi seorang penyair yang lembut penuh kasih sayang. 

Sama halnya menikmati karya-karya Soerya, penulis merasakan bahwa ia tidak melalui tahap-tahap (Emosi) seperti penyair-penyair sebelumnya. Bahkan dapat dinilai dalam umur yang masih 17 tahun ia telah mulai dewasa dalam berkarya. Coba dinikmati puisinya berjudul Memahat Hidup (Antologi Puisi Rembulan dan Matahari, hal: 10): //Langit sebagai kanvas/ Melukis jiwa di bukit berkabut// Bumi terbentang luas/ Memahat catatan tentang kehidupan// Seluas samudera/  Menuangkan cinta keilahian// (Hidup harus berarti, Tuhan beri  jalan tuju). Puisi ini ia memasukkan proses kehidupan, kesulitan dan tujuan dari hidup itu sendiri. Bahasa sastranya indah dan setiap bait mengandung arti dengan  tidak merobah makna umum. Ini beberapa sisi yang dapat terbaca tentang seorang Soerya.

Kemampuannya mengkompromikan apa yang dilihat dengan apa yang ditulis dalam sebuah puisi telah cukup bijak. Soeryadarma Isman mampu menjadi dirinya sendiri dan tidak membawa, meniru ataupun menciplak kebesaran orang lain dalam berkarya.


MENANTANG MATAHARI ADALAH MENATAP SULAIMAN JUNED

        Bagi saya pribadi. Membedah karya-karya Sulaiman Juned tidak ubahnya  menantang matahari. Selain sebagai seorang sahabat dekat. Saya merasa (ikut) menjadi muridnya dalam dunia berkesenian. Bagitu banyak ilmu dan masukan-masukan yang saya dapat dalam proses keseniman. Secara intelektual seni, ia telah memperoleh gelar Doktor.

Sementara sebagai pekerja seni ia adalah seorang aktor, sutradara, penyair yang telah menaiki pangung-pengung gedung kesenian diseluruh nusantara. Tidak ada pangung yang tak pernah ia kuasai. Namun bagaimanapun ada satu hal yang menarik bagi saya terhadap karya-karya puisi Bang Sulaiman Juned, yaitu pemakaian kata ah  pada tiap-tiap akhir bait dari puisinya. Ini sisi yang sangat menarik, apalagi saya pernah membaca puisi beliau (kalau tidak salah) berjudul  Untuk Istriku Titin, Anakku Soeryadarma Isman dari abi. Dimana puisi ini hanya berisi satu bait dan satu kalimat yaitu ah bagi saya pribadi puisi ini mengandung makna yang sangat dalam dan tajam. Dalam kata ah terkandung segala keluh kesah, cita-cita, tawa, air mata, keraguan yang diliputi secercah harapan. Makna secara menyeluruh bahwa tidak ada seorang suamipun yang tidak mencemaskan hari esok keluarganya.  Ini adalah puisi terbaik yang ditulis oleh seorang ayah kepada istri dan anaknya. kalau kita coba telaah lebih jauh maka dapat  ditemukan bahwa kata-kata ah dalam puisi Sulaiman Juned tercipta lebih banyak di Kota Padangpanjang sementara kota ini bukanlah kota keluh kesah. Inilah sisi positifnya mampu melihat gebyar dunia yang disertai kebringasan para penghuninya dari  tempat yang teduh.

        Sementara itu,  Sulaiman Juned sangat pintar meletakkan kata ah itu sendiri. dimana kata ah  tidak menurunkan bobot puisi namun justru mampu menguatkan makna yang ia tuju. Bahkan pemakaian kata ah itu sendiri bisa menjadi makna utama dari puisi yang ia ciptakan.

Bagaimanapun hidup ini memang berisi keluh kesah, duka, tawa, menangis yang semuanya penuh ketidakpastian. Hari ini kita tertawa terbahak, esok lusa menangis tersedu-sedu. Hari ini senang esok lusa sakit. Semua ketidakabadian problema ini mampu  disimpulkan oleh Sulaiman Juned dalam dua kata, yaitu ah .
Terakhir, kalaulah boleh memberi Bang Sulaiman Juned gelar sebagai seorang penyair. Maka gelar Penyair ah adalah sebuah gelar yang tepat untuk disematkan kepadanya.

             Selebihnya, buku puisi Rembulan dan Matahari adalah sebuah antalogi puisi bersama antara Sulaiman Juned dan Soeryadarma Isman. Dikarang oleh dua orang penyair dengan alur yang berbeda dan jenjang yang juga berbeda. Seorang telah sampai kepada puncak karir sebagai penyair sementara yang satu lagi sedang berada ditengah-tengah jenjang. Terus menaikinya dengan riang. Soeryadarma Isman telah mulai menemukan bentuk karyanya sementara sang ayah telah  menduduki singasana kemapanan dalam berkarya setelah hampir empat puluh tahun berjuang menaikinya. Selamat dan semoga sukses selalu dan teruslah berkarya.


*) Penulis adalah penyair/ Novelis dan Pendiri Komunitas Seni Kuflet Kota Padangpanjang, Sumatera Barat.


IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update