Oleh: INDRA UTAMA
(Pengamat Kebudayaan)
|
Pasbana.com --Nagari Sumpur Kudus, meskipun tersuruk di balik bukit, susah ditempuh melalui jalan darat karena kondisi jalannya yang berbukit terjal dan jurang, ditambah pula ancaman longsor di waktu hujan lebat, ternyata memiliki sejarah yang panjang sejak dahulu kala. Di waktu Kerajaan Pagaruyung berkuasa, nagari Sumpur Kudus dikenal sebagai tempat bersemayamnya Rajo Ibadat Sultan Alif Khalifullah yang merupakan salah seorang dari Rajo Tigo Selo. Kononnya, jauh sebelum itu, Sumpur Kudus merupakan salah satu wilayah yang pertamakali menerima sebaran ajaran agama Islam oleh Syech Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Niniek Tanah Bato. Kedua tokoh besar Islam tersebut, yaitu Rajo Ibadat Sultan Alif Khalifatullah dan Syech Ibrahim sama-sama dimakamkan di Nagari Sumpur Kudus. Sebagai tanda bersemayamnya Rajo Ibadat Sultan Alif Khalifatullah, di Sumpur Kudus didirikan sebuah masjid yang diberi nama Mesjid Rajo Ibadat.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Nagari Sumpur Kudus menjadi markas Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Syafroedin Prawiranegara. Di nagari Sumpur Kudus ini, tepatnya di Jorong Silantai, pernah diadakan rapat militer PDRI untuk mengatur strategi perlawanan terhadap penjajah Belanda. Selain itu, Nagari Sumpur Kudus juga menjadi basis Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang melakukan koreksi terhadap pemerintahan pusat di Jakarta.
Menuju Nagari Sumpur Kudus dapat ditempuh melalui dua arah, yaitu dari arah Muaro-Sijunjung melalui nagari Silokek, dan dari nagari Padanggantiang-Kabupaten Tanahdatar melalui nagari Kumanis. Antara kedua arah tempuh itu tetap saja mesti melalui tanjakan terjal dan jurang yang dalam dengan ancaman longsor dari kedua sisi jalan. Oleh sebab itu, jika hari hujan lebat, kedua arah jalan menuju Nagari Sumpur Kudus sangat jarang ditempuh kendaraan mobil dan motor. Kecuali tentu saja oleh orang-orang yang nekad karena terdesak waktu atau ada kepentingan yang mendesak untuk diselesaikan.
Dua minggu yang lalu saya berkunjung ke Sumpur Kudus, tepatnya ke Nagari Manganti. Kebetulan ada seorang teman, pelukis Hamzah yang asli orang Manganti dan menjadi dosen di ISI Padangpanjang yang membawa saya ke kampungnya. Hanya dengan referensi yang sangat minim tentang Nagari Sumpur Kudus, saya mencoba menelusuri potensi geografis dan kebudayaan daerah itu. Kebetulan, saya ikut bergabung dengan teman-teman yang sedang menjalankan kegiatan pemeliharaan alam Sumatra Barat melalui aktivitas GeoPark Ranah Minang. Salah satunya adalah di Nagari Sumpur Kudus yang menjadi daerah objek pemeliharaan alam Sumatra Barat itu.
Berada di Nagari Sumpur Kudus, terasa sangat damai tanpa suara bising kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Bilamana siang hari jalanan terlihat sepi, hanya sesekali saja ada mobil dan motor yang lewat di jalanan. Masyarakatnya lebih banyak berada di ladang dan perkebunan. Tetapi bila petang telah tiba, masyarakat nagari Sumpur Kudus mulai keluar rumah dan berkumpul di lepau-lepau untuk sekedar melepas lelah dan maota sambil minum kopi hangat dan makan gorengan.
Penduduk Nagari Sumpur Kudus hidup berkelompok di sepanjang jalan mengikuti aliran sungai yang memanjang dari Jorong Silantai sampai ke Jorong Silokek. Di sepanjang aliran sungai dan jalan itu, masyarakat hidup berkelompok, ber-jorong dan ber-kampung. Sedangkan di daerah-daerah pinggiran kampung banyak terdapat perkebunan sawit yang luas milik masyarakat, juga ada kebun getah, durian, kakao (coklat), cabe, dan limau manis. Selain itu, hampir semua rumah memiliki kolam ikan. Debit air di daerah ini sangat banyak, mengalir jernih, sehingga mencukupi untuk beternak ikan.
Di bahagian lain dari daerah Sumpur Kudus, terdapat tambang emas yang dikelola oleh masyarakat tempatan. Akan tetapi penambangan emas yang dilakukan ternyata memberi dampak yang lain kepada keadaan alam dimana hal tersebut banyak mengakibatkan longsor sehingga air sungai yang berdekatan dengan tambang emas menjadi keruh. Meskipun keruh, di aliran sungai itu sekarang sering dilakukan olahraga dayung arung jeram.
Saya juga menyaksikan pembangunan sebuah mega-proyek yang hampir selesai di Nagari Manganti, yaitu Safi’i Ma’arif Center.
Pembangunan Safi’i Ma’arif Center diprakarsai oleh Buya Safi’i Ma’arif yang memang berasal dari Sumpur Kudus. Di tanah komplek Safi’i Ma’arif Center seluas 15ha ini sedang dibangun Sekolah Pariwisata Perhotelan dengan fasilitas standart Internasional. Salah satu fasilitasnya adalah hotel dengan air-condisioning yang dapat dihuni oleh tamu-tamu bangsa asing. Melihat fasilitas yang sedang dibangun itu, saya sempat berfikir ingin membawa tamu-tamu dari luar negeri, atau membawa mahasiswa untuk melakukan kegiatan jelajah nagari sambil menikmati hasil bumi dan belajar kesenian tradisi di Sumpur Kudus. Sekarang di komplek itu sedang dibangun pula masjid besar yang dapat menampung ratusan jamaah.
Ada hal yang menarik perhatian saya ketika datang ke Nagari Sumpur Kudus. Saya melihat hampir setiap rumah yang saya kunjungi terdapat foto-foto penghuni rumah yang lulus sarjana perguruan tinggi. Umumnya para sarjana lulusan perguruan tinggi itu hidup di rantau yang sebahagian besarnya sukses dalam berbagai profesi dan bidang kehidupan. Tidak mengherankan kiranya, dari Nagari Sumpur Kudus muncul cendekiawan dan para intelektual seperti Buya Safi’i Ma’arif serta dua orang bersaudara yaitu Prof. Dr. Ir. Novirman Jamarun yang sekarang menjadi Rektor Universitas Batam dan Prof Dr. Novesar Jamarun yang sekarang menjadi Rektor ISI Padangpanjang.
Di Nagari Manganti dan kampung-kampung lainnya di Sumpur Kudus terdapat beberapa bentuk kesenian tradisi yang masih dipelihara sampai saat ini. Antara lain adalah talempong unggan, talempong jao, beladiri pancak (silek), tari piriang, randai, saluang dan dendang. Semua bentuk kesenian tradisi itu dulunya selalu ditampilkan di dalam berbagai upacara nagari seperti upacara manakiek gatah, turun ka sawah, manyabik padi, mambangkik lubuak larangan, mambantai ternak saat menyambut bulan ramadhan, dan pesta durian. Namun sekarang, upacara-upacara dimana kesenian tradisi itu dapat ditampilkan nampaknya sudah jarang pula dilakukan. Meskipun demikian, bentuk-bentuk kesenian tradisi tersebut, terutama kegiatan randai, masih terus dilaksanakan oleh anak-anak muda usia sekolah Nagari Manganti yang dibina oleh seorang seniman tradisi yang dipanggil Pak-Am.
Malam itu, saya menyaksikan latihan randai yang dipimpin oleh Pak-Am di sebuah halaman rumah tepi jalan. Para pemain randai terdiri dari anak-anak lelaki dan perempuan. Sedangkan pemain musik talempong dimainkan oleh kaum perempuan yang sudah lanjut usia. Di sekeliling arena latihan nampak ramai dihadiri oleh masyarakat tua dan muda, lelaki dan perempuan. Kelihatan sekali antusias masyarakat untuk menonton latihan randai sekalipun cerita yang dimainkan sudah mereka hafal yaitu cerita Rambun Pamenan. Namun ironisnya, latihan randai tidak memakai sarawa galembong seperti yang biasa dipakai di dalam permainan randai. Tapuak galembong yang menjadi kecirian permainan randai dilakukan dengan menggunakan karung goni plastik yang disarungkan dari pinggang sampai ke betis kaki untuk membunyikan gerakan tapuak galembong. Pak-Am menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai sarawa galembong yang dipakai untuk latihan dan pertunjukan.
Meskipun terasa ironis, namun ada rasa kagum saya terhadap kreativitas yang dilakukan dengan menggunakan karung goni plastik itu. Mungkin hal ini dapat pula menjadi ide baru di dalam permainan randai karena bunyi yang dihasilkan dari gerakan tapuak galembong terdengar sangat kuat dan memberi semangat. Saya membayangkan, suatu saat di Nagari Manganti akan ada sebuah festival seni yang salah satunya menampilkan randai galembong goni plastik ini. Agaknya, untuk menopang kehidupan kesenian tradisi di Sumpur Kudus, perlu kiranya dibuat sebuah upacara baru yang dapat menjadi kebanggaan anak nagari misalnya upacara pertunjukan kesenian tradisional yang ditampilkan pada setiap memperingati hari raya idul fitri.
Padangpanjang, 13 Juli 2019