Penulis: Sayid Af Ghani (Wartawan Muda) |
"Penari Ular menjadi renunggan malam minggu, mengundang pemikiran bagaimana nasip Pasaman Lima tahun kedepan jika jatuh ketangan seorang bernasip sama dengan cinta kepada Camelia Sintiana"?
Di Pegunungan Pasaman, saat pergelutan politik menjelang pemilihan kepala daerah sedang menjadi perbincangan hangat. Bung Gani menyadari pertarungan politik kali ini, ada yang akan menerima kekalahan. Ia melihat sekelompok pegiat politik mundur dan meninggalkannya tokoh yang disanjungnya. Namun Bung Gani justru beranjak meninggalkan pergelutan ini dan termenung di sudut kamar dan mengingat Camelia Sintiana, penari ular berdarah Jawa yang baru ditontonya di atas panggung tiga bulan lalu.
“Apakah jika sebuah pertarungan politik di menangkan, bisa menciptakan cinta dan kedamaian"....?
Bung Gani mengenal Camelia Sintiana ketika mendampingi investor ke Pulau Jawa. Selama empat tahun memantau perkembangan kinerja pemerintaan di daerhnya. Dimana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) yang digadang-gadangkan waktu kampanye tiba - tiba di tengah jalan direfisi. Sembari memantau dan ingin berbuat untuk lebih maju di daerahnya ia menyempatkan diri untuk menarik investor agat bisa membangun daerahnya dari pula Jawa, serta mendampingi mereka ketanah yang ia kenal sebagai kota Metropolitan. Ketika perjalanan itulah, saat singgah di sudut kota Jakarta di sebuah kedai kecil, ia melihat sesosok perempuan yang sedang menari ular. Maka berkenalanlah Bung Gani dengan penari itu, namanya Camelia Sintiana, perempuan dengan kecantikan eksotis khas kota Jabodetabek.
Perlu diketahui bahwa Bung Gani adalah sorang Jurnalis yang aktif mengkritisi dan menginformasikan pembangunan di daerahnya. Mungkin karena hal inilah ia tidak pernah sempat untuk dekat dengan perempuan. Kalaupun dekat, tidak pernah melibihi dekatnya dengan para pejabat didaerah itu, mungkin ini salah satu faktor kenapa tak pernah ada cinta yang mendalam di dalam dadanya. Namun, sebagaimana segala hal di dunia ini selalu ada pengecualian, Camelia Sintiana adalah pengecualian tersebut. Pertemuan itu kemudian memberikan sebuah pengalaman cinta yang irasional.
Sepulang dari Jakarta ia kembali kepegunungan Pasaman tempat ia dibesarkan dan didik untuk peka terhadap lingkungan. Ketika keheningan malam dimalam minggu mengundang kegelian didalam benaknya, dan kembali membayangkan pertemuanya dengan Camelia Sintiana.
Kegelian ini mencuak kembali karena sebelum lampu kamar malam minggu ia padamkan, pada hari Sabtu siang ia sempat bertemu dengan salah seorang tokoh politik. Ketika itu seorang berjenggot panjang dan bergaya muslim yang mengaku ingin mencalonkan jadi Bupati di daerahnya mengundang segerombolan orang untuk berkumpul.
Siang itu terjadilah perbincangan hangat, di temani kopi dan hidangan aneka makan khas kafe ternama. Namun ketika usai perbicangan tokoh politik tersebut mengaku ketinggalan dompet dan seluruh tagihan dibayar oleh salah seorang tamu yang ia undang.
Kejadian Sabtu siang itu, memiliki kemiripan dengan peristiwa yang ia alami beberap bulan lalu, saat bertemu dengan Camelia Sintiana. Ketika itu ia dihampiri seorang pramusaji menawarkan aneka minuman berbagai merek dari luar negeri. Entah disengaja atau tidak Camelia Sintiana si penari ular melirik kearahnya, seolah menimbulkan reaksi otomatis tangannya untuk bergerak kearah pantatnya dengah harapan kepastian apakah dompet masih dalam keadaan utuh di dalam saku.
"Penari Ular menjadi renunggan malam minggu, mengundang pemikiran bagaimana nasip Pasaman Lima tahun kedepan jika jatuh ketangan soorang bernasip sama dengan cinta kepada Camelia Sintiana"?
Camelia Sintiana si penari ular adalah imajinasi ketika sesorang memiliki kekuasan, diamana ia akan meliuk liukkan jalan politik, dengan harapan mendapat keindahan dengan seni berpolitik yang ia lakukan di panggung jabatan. Apabila salah dengan goyanganya maka ular yang sudah jinak bahkan sudah menempel dibadanya akan mengigit ketika ular tersebut merasa terjepit.
Keheningan malam di iringi suara dentingan hujan di atas atap, tak membuat ia tersentak dalam lamunananya, namun kata-kata pramusaji yang menghidangkan segelas kopi di atas mejanya membuat ia tersentak, "Tuan yang menari itu namaya Camelia Sintiana, kalau tuan suka padanya harus ada mahar, tidak mahal kok, cuma Lima juta satu malam" katanya, bak disambar petir membuat ia kembali mengingat kondisi kantongnya.
Bagaimana mungkin seorang tokoh politik bisa menjadi bupati jika untuk membayar pesanan yang dia makan saja tak mampu ia bayar. Belum lagi mahar Partai pendukungnya, Biaya kampanye, perlengkapan tim sukses, serta biaya tak terduga yang harus dia sediakan. Ujung - ujungnya akan bernasip sama dengan Bung Gani yang hanya bisa menonton tarian cintanya dari kejauhan di temani segelas kopi.