Notification

×

Iklan

Iklan

Mutasi di Kedai Kopi

04 September 2019 | 13:41 WIB Last Updated 2019-09-04T06:41:45Z
Penulis: Sayid Af Ghani (Wartawan Muda)



Beberapa hari ini saya sering mendengar orang-orang di warung kopi sedang berbicara tentang kematian. Bukan, bukan kematian seseorang lalu di kafani, disholatkan dan di kuburkan, melainkan kematian dalam mengambil keputusan tentang siapa yang akan di non jobkan dalam mutasi kali ini.

Sketsa obrolan di kedai kopi mirip tulisan fiksi di dalam nopel, dimana pengungkapannya santai, jenaka, membahas topik serius (biasanya politik), dengan latar belakang kehidupan sehari-hari. Topik hangat biasanya syarat sah obrolan, modal pengetahuan urusan belakangan.

Menyimak obrolan di kedai kopi seperti melihat Dunia milik kita sendiri. Daerah dimanana setiap orang merasa memiliki pengetahuan tentang politik. Barangkali, tidak ada topik yang bisa dibicarakan orang-orang dengan berbagai latar agama, suku, gender, status ekonomi, dan tingkat pendidikan selain politik. Kendati ada seseorang yang memiliki legalitas studi ilmu politik, tetap tak akan jadi satu-satunya pendapat tepercaya dalam obrolan politik. Apalagi isu jabatan yang menjadi perbincangan, akan menibulkan perdebatan panjang.

Mordo sebagai tokoh utama dalam “simposium kelas Kedai Kopi" ia lebih menonjol pendapatnya, ketika ia bertanya siapakah orang yang berpengaruh dan yang paling berperan dalam mengambil keputusan ketika mutasi 40 orang pejabat di lingkungan pemkab pasaman kemaren? Pertanyaan ini mengundang perdebatan panjang, apalagi sore itu cuaca sedang mendung, menambah nikmat kopi yang sudah tersaji di atas meja, dimana para penikmat tinggal menambahkan gula kedalam gelas yang sudah berisi adukan kopi.

Seluruh orang yang di mutasi kemaren adalah orang yang sudah di seleksi melalui BAPERJAKAT, tidak ada istilah orang dekat BA 1 D, orang kepercayanan BA 2 D atau titipan BA 6 D, semuanya sudah di seleksi sesuai aturan mainya, sanggah sudir yang juga terlibat dalam perbincangan sore itu.

Mordo tanggap, ia sadar bahwa akan ada seseorang yang akan menangggapi peryataanya seolah tak mau kalah, kenapa seorang juru tulis di daeah kita ini berasal dari latar belakang guru sembari memberikan pertanyaan baru? Padahal guru itu adalah juru tulis di papan tulis ketika ia sedang mengajari siswanya.

Geri yang diangkat penulis sebagai tokoh tokoh kedua, juga tak kalah diam, sembari memberi pertanyaan yang tak kunjung dapat jawaban, kenapa di diaerah kita para pejabat berasal dari latar belakang pendidikan Guru, bahkan ada pejabat yang di impor dari daerah lain, padahal konon kabarnya jabatan yang ia pegangang dicopot secara pakasa.

Ingin merasa pintar dan tak mau kalah dari teman diskusinya, Mordo memberi tanggapan sendiri dari apa yang ia persoalkan, begini tanggapanya, "Bupati Pasaman sudah engucapkan selamat dan sukses kepada para pejabat yang baru saja dilantik". Ini artinya tidak ada lagi persolan dalam proses mutasi ini, serta bupati juga sudah memekankan kepada para pejabat yang di lantik untuk disiplin dalam bekerja, sebut Mordo sembari membayar seluruh minuman di atas meja. Wak izin lu, hari lah Magrib, (bahsa daerah) Sembari mininggalkan kedai kopi.

Begitulah sketsa obrolan cerita fiksi, Bahkan pendapatnya dipercaya lebih ampuh, serta di negara ini, pendapat semua orang boleh disangkal. Apalagi obrolan Mordo dan kawan-kawan menunjukkan suatu kecenderungan masyarakat modern belakangan, dimana matinya sumber informasi dan matinya kepakaran ahli dalam berpendapat.

Pengetahuan mordo dan kawan kawan bersumber dari orang ke orang yang tidak bisa dipertangung jawabkan, ibarat guru yang mengajar administrasi padahal keilmunya dibiadang astronomi.

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update