Bukittinggi - Menyikapi pemberitaan baik melalui media sosial maupun media meanstream tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan bahwa betapa perlunya kesadaran masyarakat dan jurnalis terhadap pentingnya menghormati hak asasi orang lain. Ini merupakan ancaman serius dan perlu mendapat penanganan yang serius dari pemerintah, maka upaya untuk menanggulanginya pun menjadi bagian penting yang ingin dicapai dalam tujuan pembangunan berkelanjutan.
Media arus utama (Mainstream media, MSM) adalah sebuah istilah dan singkatan yang dipakai untuk secara kolektif merujuk kepada sejumlah besar media berita massa yang mempengaruhi sejumlah besar orang dan merefleksikan serta membentuk keadaan pemikiran yang ada.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Kota Bukittinggi terus berupaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, salah satunya dengan menggelar workshop jurnalistik ramah anak yang berlangsung di Aula Badan Keuangan, lantai 2, jalan Sudirman, Kota Bukittinggi, Senin, (25/11).
Hadir untuk membuka acara workshop jurnalistik ramah anak tersebut Ketua P2TP2A Kota Bukittingggi, Yesi Endriani Ramlan Nurmatias serta Emmalia YI, Psikolog P2TP2A Kota Bukittinggi, Eko YE, Wakil Ketua PWI Provinsi Sumbar, unsur masyarakat serta para jurnalis Kota Bukittinggi.
Menurut Emmalia, harapan berlangsungnya acara workshop ini agar masyarakat dan para insan jurnalis dapat sama-sama melakukan tindakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta mempertimbangkan efek atas penyebaran informasi kekerasan tersebut.
Tidak sedikit kasus yang ditemui di lapangan perlu ditangani melalui beberapa proses secara simultan. Hal itu diperlukan pengelolaan kasus yang baik.
Terkait dengan pemberitaan kekerasan terhadap perempuan dan anak di media meanstream Eko YE, Wakil Ketua PWI Provinsi Sumbar Menambahkan, "Para jurnalis dalam menjalankan tugasnya harus mengacu kepada UU Pers dan kode etik jurnalistik. Dalam point ke 9 kode etik jurnalistik tertuang bahwa Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik."
Artinya para jurnalis harus memperhatikan hak-hak kehidupan pribadi seseorang khususnya perempuan dan anak, baik yang menjadi pelaku maupun korban dalam suatu perkara.
"Caranya dengan mengaburkan gambar identitasnya, memberikan inisial nama, ciri-ciri fisiknya, keberadaan lokasi tempat tinggalnya sampai benar-benar jelas duduk perkaranya saat berada di aparat penegak hukum," ujarnya. (Rizky)