Zainal Abidin, Praktisi Akademisi Universitas Fort De Kock, Bukittinggi |
Bukittinggi - Menurut sejarah, Bukittinggi yang dulunya bernama Nagari Kurai Limo Jorong, merupakan bagian dari Luhak Agam. Oleh karenanya orang Bukittinggi juga disebut orang Agam karena secara kultural Bukittinggi merupakan bagian dari Luhak Agam, salah satu dari tiga Luhak yang diyakini sebagai daerah asal orang Minangkabau.
Menurut Praktisi Akademisi Universitas Fort De Kock Bukittinggi, Zainal Abidin bahwa untuk membahas Kota Bukittinggi tidak bisa lepas dari Kabupaten Agam. Sejarah juga membuktikan, berkembangnya ekonomi di Bukittinggi juga tak terlepas dari peran orang Agam. Senin, (02/03).
Secara administratif Bukittinggi dan Agam merupakan wilayah Tingkat Dua yang berbeda dan sejajar namun secara sosial-budaya kedua daerah ini sebenarnya satu.
Lanjut Zainal, berbagai industri kecil atau usaha kecil menengah yang menghasilkan produk seperti souvenir, produk konveksi, produk makanan serta hasil bumi kebanyakan berasal dari Kabupaten Agam. Begitu juga dengan sekolah-sekolah yang terdapat di Bukittinggi, cukup banyak siswanya yang berasal dari Agam.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam pembangunan atau kesuksesan suatu wilayah tidak luput dari keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dan masyarakat di wilayah sekitarnya. Sudah menjadi budaya masyarakat Minangkabau bahwa tidak ada satupun orang yang terabaikan, semuanya bisa difungsikan sesuai dengan kapisitasnya masing-masing.
Seperti pepatah Minangkabau, 'nan buto paambuih saluang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah penunggu rumah, nan cadiak lawan baiyo, nan kayo tampek batenggang'. Kalau itu tidak difungsikan maka kekuatan masyarakat tidak bisa dihimpun untuk menerobos suatu perubahan atau menyelesaikan permasalahan yang bisa menyenangkan semua pihak.
Zainal selaku Penasehat Yayasan Fort De Kock Bukittinggi menambahkan, "Dalam pembangunan butuh kebersamaan, yang mengutamakan kepentingan semua orang. Tidak bisa kita gunakan seperti pepatah 'cadiak mambuang kawan, gapuak mambuang lamak' atau 'jan sampai rumah siap, tukang dibunuah' dalam pengertian sederhananya yaitu, mentang-mentang kita orang yang cerdas sehingga kita tidak butuh lagi pendapat teman."
Jika hal ini diterapkan, hati masyarakat akan tercerai-berai, kehidupan terasa sempit dan harus segera dirajut kembali. Merajut hati masyarakat tidak bisa dengan kata-kata, merajut hati harus dengan perbuatan seperti dengan cara memperhatikan kebutuhan hidupnya, memperhatikan permasalahannya dengan cara win-win solution.
Lanjut Zainal, ketika, para tokoh masyarakat Bukittinggi-Agam bersatu, maka dengan sangat mudah untuk mencari solusi permasalahan masyarakat. Bukittinggi tidak bisa di lepaskan keterikatannya dengan Agam, makanya ada lagu Elly Kasim yang judulnya Bukittinggi Rang Koto Agam.
Akhir perbincangan Zainal berpesan, "Sebaiknya dalam bermasyarakat kita menerapkan pepatah Minangkabau seperti 'dapek nan dihati, dak dapek bakanda hati' yang artinya apa yang kita inginkan sesuai juga dengan kehendak orang lain tanpa memaksakan kehendak kita terhadap orang lain." (Rizky)