Dalam acara Sarasehan Kebudayaan "Bahasa Tansi: Warisan Budaya Tak Benda Dunia" yang digelar di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Kamis (8/11/2018) mengungkap kisah penemuan terhadap bahasa Tansi ini.
Elsa yang merupakan kelahiran Sawahlunto sejak kecil bertanya-tanya mengapa kata yang dipakai di daerahnya adalah "duren" bukan "durian", seperti juga "aer" menjadi "air" atau "rante" menjadi "rantai", mewakili makna kata yang sama.
Pertanyaan-pertanyaan soal bahasa itu kembali ia temukan dalam percakapan sehari-hari kawan-kawannya di SD Inpres Pasar Baru Duren. Beberapa kosakata yang dilontarkan kawannya, tak dimengerti Elsa begitu juga orang tuanya yang merupakan keluarga Minang.
Pada 2005 saat Idulfitri, Elsa kembali ke Sawahlunto dari perantauan di Riau. Kala itu ia kembali untuk melakukan penelitian mengenai cara orang-orang Sawahlunto meminta tolong dengan pendekatan sosiopragmatik.
Dari penelitian tersebut, Elsa menemukan kenyataan kebahasaan, bahwa kesantunan di Sawahlunto ternyata dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Ia pun kembali bertanya-tanya, mengapa bahasa Jawa bukan bahasa Minang?
Elsa pun kemudian menemukan, dalam komunikasi informal sehari-hari, masyarakat menggunakan bahasa Slunto, atau yang mereka sebut sebagai bahasa orang Tansi. Pertanyaan demi pertanyaan kembali menggelayuti Elsa apakah bahasa yang ia dengar dari kawan-kawannya semasa SD adalah bahasa Tansi.
Bertahun-tahun penelitian ia lakukan, Elsa pun menemukan bahwa Sawahlunto yang menjadi salah satu kota tujuan berbagai etnik dan bangsa pada masa silam merupakan wilayah pertemuan masyarakat dan melahirkan bahasa campuran.
Mengutip Elsa, bahasa Tansi atau yang disebut juga bahasa Slunto, ternyata adalah bahasa kreol yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Itu adalah bahasa yang dilatari oleh perburuhan tambang batu pada zaman Belanda sekitar abad ke-19.
Lebih jauh, ternyata bahasa Tansi bukan hanya percampuran antara bahasa Jawa dan Minangkabau, tetapi bahasa kreol dengan latar perburuhan di pedalaman Sumatera yang lahir dari percampuran tidak kurang dari 10 bahasa: Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Batak, Cina, Minangkabau, Belanda, dan Melayu sebagai bahasa dasar.
Elsa tentu berbangga hasil penelitiannya saat menempuh S3 di UGM itu bisa menjadi warisan budaya tak benda, namun ia menyayangkan tak ada pemberitahuan terhadap dirinya mengenai pengajuan atau penetapan bahasa Tansi sebagai warisan budaya.
"Secara akademik itu mencederai karena ini proses akademik, proses penelitian, muncul dari proses penelitian, kalau itu artinya kan harus setidaknya konfirmasi, saya dan teman-teman tidak tahu kriteria dianggap warisan budaya tak benda itu apa," ujar Elsa kepada Tirto.id .
Menurutnya, jika ada konfirmasi atau pemberitahuan mengenai penetapan ini maka besar harapan akan banyak penelitian-penelitian lain yang bisa diajukan untuk menjadi warisan budaya.
Hal serupa diutarakan Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, Aprinus Salam, yang juga hadir di Sarasehan Kebudayaan mengenai bahasa Tansi. Ia mempertanyakan pertimbangan UNESCO menjadikan bahasa Tansi warisan budaya tak benda.
"Justru itu yang ingin saya tanyakan juga, sebetulnya kita tentu senang bahsa Tansi jadi warisan budaya, penasaran juga apa pertimbangannya dan standar etik yang dipilih bahasa Tansi sebagai bahasa warisan dunia itu sampai sekarang belum dapat informasi yang cukup," ujarnya.
Founder Pustaka Bergerak, Nirwan A Arsuka menduga, salah satu pertimbangan UNESCO menjadikan bahasa Tansi sebagai warisan budaya adalah karena bahasa ini unik dan berbeda dengan bahasa kreol lainnya.
"Bahasa Tansi cuma butuh satu dua generasi hingga jadi bahasa untuk alat ekspresi. Perkmbangan Tansi tidak umum sebagaimana bahasa kreol yang lain. Dari ilmu pengetahuan ini sangat menarik, itu salah satu pertimbangan saya, tapi persisnya saya tidak tahu karena belum ada pemberitahuan resmi," ujar Arsuka.
Ia pun menyebut, penelitian Elsa mengenai bahasa Tansi membuka banyak kemungkinan kajian yang menarik, terutama kajian linguistik.
Perkembangan bahasa Tansi juga unik, ia muncul karena dibentuk oleh keputusan politik dan ekonomi, di mana saat itu Belanda ingin membuka tambang besar di Sawahlunto, sehingga mereka mendatangkan orang dari berbagai suku bangsa dan latar belakang.
"Orang-orang ini enggak saling mengenal, kemudian buat bahasa untuk saling komunikasi, terbentuklah bahasa Tansi," tandas Arsuka. Bahasa Tansi adalah sebuah kekayaan komunikasi yang membuat kita makin tahu Indonesia.
Dihimpun dari tirto.id dan sumber lainnya