Oleh: Irsyad Syafar |
Pasbana.com -- Rujukan utama kita dalam konstitusi negara terkait urusan pendidikan nasional adalah UUD 1945 pasal 31. Dari pasal tersebutlah kemudian lahir dan mengacunya UU sisdiknas dan peraturan perundang-undang pendidikan lainnya.
Bila membaca pasal 31 UUD 1945, maka kita akan pahami bahwa Negara mendukung dan mengapresiasi pendidikan yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia. Ini tercantum dalam pasal 31 ayat 3, yaitu:
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang."
Kemudian, konstitusi negara kita juga menjunjung tinggi nilai-nilai agama di dalam pendidikan. Ini jelas pada pasal yang sama ayat 5, yang berbunyi:
"Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."
Kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, dicantumkan bahwa:
"Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Maka sejatinya negara pada posisi mendukung dan mengapresiasi seluruh tindakan guru dan seluruh perangkat sekolah yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didiknya. Bila ada guru yang memerintahkan dan menghimbau siswi yang beragama Islam untuk memakai pakaian seragam muslimah, maka ia layak mendapat dukungan dan apresiasi.
Sementara itu, SKB 3 Menteri justru melarang tindakan yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan tersebut. Sebab, dalam SKB dilarang memerintahkan, mensyaratkan dan menghimbau pemakaian atribut agama. Yaitu pada Diktum KETIGA:
"Dalam rangka melindungi hak peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA, Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan dan menghimbau atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu."
Bahkan tidak sebatas larangan saja. Ada ancaman sanksi bagi pemerintah daerah atau pihak sekolah dan para guru yang masih tetap melaksanakannya.
Pada diktum KELIMA poin a dinyatakan:
"pemerintah daerah memberikan sanksi disiplin bagi kepala sekolah, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;"
Dan pada poin b dinyatakan:
"Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memberikan sanksi kepada Bupati/Wali kota berupa teguran tertulis dan/atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Bahkah yang akan terkena sanksi juga adalah anak-anak peserta didik. Yaitu sanksi terkait Biaya Operasional Sekolah. Sebab BOS itu bukan hak sekolah. Melainkan hak anak peranak. Baik yang di sekolah negeri maupun yang disekolah swasta. Kenapa pula anak-anak yang kena sanksi? Poin d menyebutkan:
"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada sekolah yang bersangkutan terkait dengan bantuan operasional sekolah dan bantuan pemerintahl ainnya yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Dengan demikian, bila ada guru atau tenaga kependidikan menghimbau atau mengajak dan menasehati anak didiknya yang beragama Islam untuk memakai pakaian muslimah, maka guru ini telah melanggar SKB 3 Menteri dan layak terkena sanksi.
Padahal sebenarnya ia telah melaksanakan amanah konstitusi yang menyuruh untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia para peserta didik. Dan pakaian muslimah itu jelas-jelas ada dalam Permendikbud no 45 tahun 2014. Tentu menjadi terasa aneh dan lucu.
Apa jadinya dunia pendidikan kalau kepala sekolah dan gurupun dilarang menghimbau anaknya untuk memakai seragam kekhasan agama. Apakah para guru hanyalah buruh dan pekerja yang tugasnya hanya mengajar, dan tidak boleh membimbing atau menghimbau? Bukankah ketaqwaan dan keimanan itu adanya di agama?
Bahkan kalau ada sekolah yang mewajibkan pakaian kekhasan agama tertentu bagi pemeluknya masing-masing, maka itu sebenarnya bukanlah dalam konteks pemaksaan. Itu hanyalah pembiasaan. Sama halnya dengan kewajiban memakai sepatu, warna merah, biru atau abu bagi celana dan rok sekolah. Semua itu tidak pemaksaan, tapi diwajibkan untuk tertib dan terbiasa. Sebab para pelajar dan siswa belumlah bisa dibiarkan bebas seperti mahasiswa yang sudah dewasa dan dapat berpikir dan bertindak lebih matang.
Sesungguhnya untuk kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan untuk terlaksananya amanah konstitusi dalam dunia pendidikan, SKB 3 Menteri ini sebaiknya sedikit direvisi. Dan kita akhiri polemik ini untuk lebih serius menghadapi permasalahan besar negara ditengah pandemi ini. (*)