Padang Panjang -- Pengadilan Negeri (PN) Padang Panjang akhirnya memutuskan gugatan yang diajukan warga Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Zaibul Dt. Kabasaran Nan Itam dan Farida, tak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard (NO). Putusan tersebut dibacakan dalam sidang, Selasa (13/7/2020) yang dipimpin hakim ketua Dadi Suryandi, SH, MH dan hakim anggota Prama Widya Nugraha, SH dan Gustia Wulandari, SH.
"Gugatan penggugat tidak dapat diterima," ujar hakim ketua.
Menurut majelis hakim persidangan, gugatan penggugat terhadap Isna yang merupakan warga Nagari Sumpur, Aida Amir (pembeli), Notaris Delon Anas dan BPN Tanah Datar, tidak memenuhi syarat formil sebuah gugatan, yaitu warga Malalo sebagai para penggugat tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan tersebut.
Sementara Juru bicara PN Padang Panjang, Sartika Dewi Habsari yang dikonfirmasi di kantornya, Kamis (15/7/2021), membenarkan. Usai pembacaan putusan oleh hakim, kedua belah pihak diberi kesempatan 14 hari untuk menyatakan banding atau mengajukan gugatan baru.
"Saat ditanya majelis hakim. kuasa hukum penggugat maupun tergugat belum memberikan tanggapan apakah mengajukan banding atau tidak,"katanya.
Sementara, kuasa hukum para tergugat, Didi Suryadiningrat mengatakan, hakim memutus perkara ini berdasarkan fakta dari rangkaian persidangan. Hakim sampai pada putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima karena kapasitas dan kewenangan penggugat selaku mamak kepala waris, Zaibur Dt. Kabasaran Nan Itam tidak punya kedudukan hukum.
"Penggugat tidak bisa membuktikan kedudukannya sebagai mamak kepala waris berdasarkan kesepakatan kaumnya, sehingga hakim menyatakan penggugat tidak memiliki legal standing untuk menggugat,"katanya.
Sementara itu, Tim Tanah Ulayat Nagari Sumpur, H. Yohanes menyebut, putusan majelis hakim yang menyatakan penggugat tidak punya legal standing membuktikan bahwa penggugat yang merupakan warga Malalo tidak memiliki kedudukan secara hukum untuk menggugat dalam perkara ini.
"Saya melihat, hakim memutus perkara ini berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, baik berupa bukti surat, bukti keterangan saksi dan keterangan ahli dan bukan karena ada hal-hal lain di luar persidangan," kata pria yang akrab disapa H. Yos itu.
Dengan adanya putusan hakim tersebut, lanjut H. Yos, maka status sertifikat tanah warga Sumpur yang termasuk dalam tanah 60 hektar di Jorong Suduik, Nagari Sumpur ini, sampai saat ini tetap sah secara hukum dan hak-hak yang melekat pada pemilik tanah yang bersertifikat itu dilindungi oleh negara sesuai aturan yang berlaku.
"Dari 60 hektar lahan yang sudah disertifikatkan, cuma satu objek sertifikat saja dengan luas 5.870 m2 yang digugat. Sementara objek lainnya tidak digugat ke Pengadilan Negeri Padangpanjang,"jelas H.Yos.
Sebelumnya dalam gugatannya, penggugat mengatakan jika objek perkara adalah harta pusaka tinggi kaumnya yang terletak di Jorong Rumbai, Nagari Padang Laweh Malalo, Batipuh Selatan.
Sedangkan tergugat yang merupakan warga Nagari Sumpur sebagai penjual dan pembeli serta notaris dan BPN Tanah Datar meyakinkan jika objek perkara berada di Jorong Suduik, Nagari Sumpur, Batipuh Selatan yang dibuktikan dengan bukti sertifikat dan pembayaran PBB, SK Bupati No 1 tahun 1955 yang memuat Peta administrasi tiga nagari, yaitu Nagari Bungo Tanjung, Sumpur dan Padang Laweh Malalo, serta dokumen lainnya.
Terpisah.
SUDAH DITETAPKAN PEMERINTAH SEBELUM MERDEKA
Busyra: Konflik Batas Nagari tak Perlu Terjadi
Sengketa batas wilayah antar nagari di Sumbar, mestinya tidak perlu terjadi. Pasalnya, batas nagari itu sudah ditetapkan pemerintah sebelum Indonesia merdeka. Seperti yang kini terjadi dan bergulir di pengadilan antara warga Nagari Malalo dengan warga Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Batas kedua nagari sudah ditetapkan pemerintah pada zaman Belanda, kemudian dituangkan dalam SK Bupati Tanah Datar No. 1 tahun 1955.
“Batas wilayah itu sudah ditetapkan pemerintah sebelum Indonesia merdeka dan ada yang setelah merdeka. Pada daerah tertentu mengacu pada peta yang dibuat Belanda, seperti Malalo dan Sumpur di Tanah Datar ada peta zaman Belandanya dan kemudian dikuatkan dengan SK Bupati No. 1 Tahun 1955,” kata Pengamat Hukum Pertanahan Uninersitas Andalas Padang, Prof. Busyra Azheri saat berbincang kemarin.
Hanya saja dengan adanya UU tentang Desa tahun 1979 yang menyeragamkan pemerintahan terendah adalah desa, maka perubahan nagari menjadi desa di Sumbar menyebabkan batas-batas wilayahnya menjadi tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum. Ketika reformasi, pemerintah mengembalikan pemerintahan terendah itu sesuai hak asal usul daerah. Di Sumbar, desa kembali menjadi nagari.
"Saat kembali ke nagari itu, ada nagari asal dan ada nagari pemekaran. Sampai saat ini pemerintah belum menetapkan batas nagari tersebut. Malah pemerintah membebankan pada nagari untuk menentukan batas wilayah pemerintahannya. Hal ini yang menjadi pemicu konflik," terang Busyra Azheri.
Terkait sengketa warga Nagari Sumpur dan warga Malalo, maka mestinya Pemkab Tanah Datar jangan terkesan menghindari konflik yang muncul di tengah masyarakat. Batas wilayah kedua nagari, lanjut Busyra Azheri, telah ditetapkan Pemkab Tanah Datar melalui kesepakatan ninik mamak dan pemerintah daerah tahun 1955.
"Pemerintah dalam hal ini harus menjadi penengah agar tidak terjadi konflik. Bukti-bukti yang ada, berupa SK Bupati tahun 1955 itu tentu bisa menjadi acuan pemerintah daerah menyelesaIkan persoalan. Jangan dikembalikan ke nagari yang tengah berada dalam konflik, " ujar Busyra.
Mereka tidak mengetahui persis tentang peristiwa, kondisi dan situasi yang terjadi di masa lalu. Sehingga mereka tidak memiliki sebuah kepastian tentang batas wilayahnya. Karena tidak ada kejelasan dan kepastian hukum itu, maka masyarakat hari ini berpatokan saja pada pesan leluhurnya warih bajawek.
Hal ini juga berlaku di daerah lainnya.
Agar persoalan serupa tidak berulang dan berlarut-larut hingga menempuh jalur hukum atau proses persidangan di pengadilan untuk mendapatkan kepastian hak-haknya, maka pemerintah daerah setempat, dalam kasus ini Pemkab Tanah Datar, DPRD Tanah Datar, mesti memiliki komitmen yang jelas dan harus cepat mengambil sikap untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Jangan sampai masyarakat kita melahirkan pemikiran, bahwa setiap persoalan harus diselesaikan di pengadilan. Kondisi tersebut sama dengan sikap pembiaran dari pemerintah daerah. Jika tidak ada kepastian hukum dalam penetapan batas yang akhirnya memicu sengketa antar wilayah dan berakibat tindakan pidana, maka pemerintah daerah bisa digugat atas kelalaiannya," tegas Busyra. (*)