Oleh : Riri Maryosel Padna
Pasbana.com -- Manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individual. Untuk memenuhi kebutuhan hasratnya sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa untuk berinteraksi dan bekerja sama baik antarindividu maupun antarkelompok. Proses sosialisasi antar manusia hanya dimungkinkan karena adanya bahasa.
Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya supaya ia dapat memenuhi dua hasrat sosial yakni; Pertama, hasrat bergabung dengan manusia sekelilingnya, yang dalam sosiolinguistik, manusia sekeliling ini disebut speech community (masyarakat ujaran). Kedua, hasrat bergabung atau menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Karena itu, manusia dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan.
Bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian secara internal ini akan menghasilkan varian –varian bahasa itu saja tanpa adanya kaitan dengan masalah lain diluar bahasa.
Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur yang ada dalam disiplin linguistic saja. Sedangkan kajian secara eksternal akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat.
Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen. Penutur yang berbeda latar belakang sosial dan kebiasaan, maka bahasa tersebut menjadi beragam baik dalam segi fonologis, morfolgis, sintaksis maupun leksikon.
Pertama, fonologis adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya (KBBI:1997). Setiap bahasa terdiri atas bunyi-bunyi dasar. Fonologi adalah sistem bunyi dari sebuah bahasa, termasuk bunyi yang digunakan dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dapat dikombinasikan (Menn dan Stoel-Gammon, 2005).
Adapun fonem merupakan satuan dasar dari bunyi dalam suatu bahasa. Fonem adalah satuan terkecil dari bunyi yang memengaruhi makna. Sebuah contoh menarik dalam bahasa Minang yaitu pada kata benda untuk memanggil seorang perempuan (wanita minang) “kau”.
Di Padang Panjang memakai kata “kau”, sedangkan di Nagari Batipuah “gau”, yang terdengar agak kasar.
Kedua, morfologis adalah cabang linguistik tentang bagian-bagian kata (morfem) dan kombinasi-kombinasi bagian dari struktur yang mencakup kata dan morfem tersebut (KBBI:1997). Morfem merupakan satuan minimal dari makna; morfem adalah sebuah kata atau bagian yang lebih kecil yang mempunyai makna.
Sebagai contoh dalam bahasa Minangkabau pada kata “palalok” yang memiliki dua morfem yaitu “pa” berarti ‘orang yang’ dan “lalok” berarti ‘tidur’.
Ketiga, sintaksis adalah pengaturan dan hubungan kata dengan kata atau dengan satuan yang lain yang lebih besar (KBBI:1997). Sintaksis melibatkan cara mengombinasikan kata-kata untuk menyusun frase dan kalimat yang dapat diterima.
Keempat, leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa (KBBI:1997).
Sebagai contoh, bahasa Minang yang digunakan di Padang Panjang tidak sama persis dengan bahasa Minang di Pariaman maupun di Batusangkar. Misalnya, berikut perbandingan perbedaan bahasa Minang yang digunakan. Di Padang Panjang “Apo kecek nyo ka kau?” “Apa katanya kepadamu?”.
Sedangkan di Pariaman, “A kato e bakeh kau?”. Kedengarannya memang berbeda namun memiliki makna yang sama yaitu “Apa katanya kepadamu?”.
Bahasa itu Manusiawi
Bahasa itu bersifat manusiawi, artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki oleh manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi berupa bunyi, gerak atau isyarat, tidak bersifat produktif dan tidak dinamis alias statis. Ini dikarenakan hewan tidak mempunyai akal dan pikiran yang membantu proses perkembangan bahasa yang dimiliki manusia.
Berbicara masalah bahasa, ada satu hal yang menarik untuk dibahas yaitu bahasa “caruik” dalam bahasa Minangkabau. Bahasa Minangkabau atau Baso Minang adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa Melayu yang dituturkan oleh Orang Minangkabau sebagai bahasa ibu khususnya di Provinsi Sumatera Barat (kecuali Kepulauan Mentawai), bagian barat Provinsi Riau, dan Negeri Sembilan, Malaysia.
Bahasa Minang dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa Banjar, bahasa Betawi, dan bahasa Iban. Sempat terdapat pertentangan mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu. Dimana sebagian pakar bahasa menganggap bahasa Minangkabau sebagai salah satu dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan didalamnya. Sementara yang lain justru beranggapan bahwa bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan bahasa Melayu.
Dialek itu sendiri merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tinggal penutur. Bahasa Minang memiliki banyak dialek, bahkan antarkampung yang dipisahkan oleh sungai sekalipun dapat mempunyai dialek yang berbeda.
Perbedaan yang sangat menonjol adalah dialek yang dituturkan di Kabupaten Pesisir Selatan dan dialek Kota Payakumbuh. Kedua Kabupaten dan Kota ini memiliki ciri tersendiri, sehingga apabila berbicara cenderung mudah diketahui dari mana asalnya.
Bahasa Minangkabau berada dalam kategori cukup aman dari yang namanya kepunahan. Karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Minangkabau. Banyak orang Minangkabau yang merantau ke berbagai daerah, namun bahasa Minangkabau masih tetap mereka bawa dan mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari dengan sesama orang Minang.
Bahasa "caruik" di Minangkabau
Setiap bahasa itu memiliki ciri khas masing-masing yang menjadi suatu ketertarikan dalam mempelajarinya. Namun, tidak semua hal yang menarik itu dapat dipelajari. Ada kalanya hal yang menarik itu hanya sebatas pengetahuan saja, tidak perlu dikaji lebih dalam. Salah satunya yaitu bahasa “caruik” Minangkabau yang ada di kehidupan masyarakat Minangkabau.
Bahasa “caruik” “carut” Minangkabau adalah tipe bahasa Minangkabau yang mengandung kata-kata kotor, cabul dan keji yang sering digunakan kebanyakan masyarakat Minangkabau dalam kesehariannya . Maka daripada itu walaupun bahasa ini menarik dan cukup populer di kalangan masyarakat Minang tetapi tidak pantas untuk ditiru maupun dicontoh.
Bagi sosiolinguistik, konsep bahwa bahasa alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit sebab seperti yang dikemukakan Fishman (1972) bahwa yang menjadi persoalan linguistik adalah “who speak what language to whom, when and what to end”. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa itu, antara lain, dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
Begitu pula dengan bahasa “caruik” Minangkabau dapat kita ketahui karakteristiknya melalui fungsi bahasa diatas. Dilihat dari segi penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960) menyebutnya fungsi emotif.
Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.
Bahasa “caruik” Minangkabau merupakan salah satu sarana untuk menunjukkan emosi ataupun perasaan. Salah satu contohnya yaitu pada kata “kalera” menunjukkan si penutur sedang megumpat karena ada sesuatu hal yang menganggu kegiatannya.
Dan ada juga kalanya si penutur merasa marah kepada seseorang bisa jadi kepada anaknya dengan mengatakan “Anak kalera kau mah!” “ Dasar anak tidak berguna kamu!”. Secara psikologi itu sangat tidak baik untuk kejiwaan anak.
Dalam studi yang dilangsungkan terhadap ratusan orang tua anak berusia 13 tahun di Filadelfia, Amerika Serikat itu para peneliti menanyakan frekuensi berteriak, memaki atau melabeli anak dengan kata-kata seperti “bodoh” atau “tidak berguna”. Diketahui, banyak dari 900 orang tua pernah menggunakan kata-kata itu. Sebanyak 45% ibu mengaku pernah melakukannya dan 42% ayah mengaku pernah melakukannya.
Ketika dibandingkan dengan tingkah anak berusia 13 tahun yang sering dimarahi dengan kata-kata kasar di bahasa “caruik” tersebut cenderung menunjukkan bertingkah nakal dan mengalami masalah serius sampai depresi berat.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973) menyebutnya fungsi instrumental dan (Jakobson 1960) menyebutnya fungsi retorikal. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan si pembicara.
Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan. Sebagai contoh pemakaian bahasa “caruik” yaitu “Woi Baruak! Biaso se lah ang ngecek ndak. Ndak usah baurek lo” “Woi Monyet! Bisa tidak kalau bicara biasa saja. Tidak usah emosi”.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa di sini berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974) menyebutnya interpersonal dan (Halliday 1973) menyebutnya interactional, yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah bepola tetap, seperti pada saat berjumpa, pamit, membicarakan cuaca atau menanyakan keadaan keluarga.
Sebagai contoh sederhana, masyarakat Minangkabau sering menggunakan bahasa”caruik” dalam ungkapan-ungkapan yang dimaksud diatas pada saat berjumpa. Seperti yang dilakukan sesama sopir angkutan umum, mereka saling menyapa dengan mengatakan “Woi Anjiang! Kama ang?” “Woi Anjing! Mau kemana kamu?”.
Selanjutnya dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973) menyebutnya representational, (Jakobson 1960) menyebutnya fungsi kognitif, dan ada juga yang menyebutnya fungsi denotatif dan fungsi informatif.
Di sini bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran tentang bagaimana pendapat si penutur tentang dunia disekelilingnya.
Sebuah contoh dalam bahasa “caruik” sebagai bukti fungsi bahasa dari segi topik ujaran yaitu pemakaian kata benda “poyok” yang berarti “wanita jalang yang tidak punya harga diri”. Biasanya kosakata ini ditujukan kepada seorang gadis yang secara susila tidak pantas untuk dicontoh. Seperti kalimat berikut ini “Tu ha, alah laruik malam baru ka pulang si poyok tu” “Itu dia, sudah larut malam baru mau pulang si Jalang itu”.
Kalau dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974), yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Memang tampaknya agak aneh. Biasanya bahasa itu digunakan untuk membicarakan masalah lain, seperti masalah politik, ekonomi, atau kemiliteran. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa dimana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa.
Begitu juga dengan bahasa “caruik” di Minangkabau, akan terasa aneh jika penggunaan kosakata “caruik” dalam membahas masalah yang butuh kajian dalam dan pengetahuan tinggi. Sebab bahasa “caruik” itu tidak pantas untuk menjadi morfem yang berkelas sosial tinggi. Bahasa “caruik” cenderung dipandang tidak berpendidikan karena mengandung kata-kata kotor.
Dari segi amanat yang akan disampaikan, bahasa itu berfungsi imaginatif (Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson) menyebutnya fungsi poetic speech. Pada dasarnya, bahasa itu digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan baik yang sebenarnya maupun sebatas imajinasi (rekayasa). Fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya.
Sebagai contoh dalam bahasa”caruik” yaitu pada kalimat berikut ini, “Ang kampuang baa ko. Sajak tadi sibuk se jo HP baru. Bantuak Baruak diagiah bungo ang tu. Mambuek den iri se ang Kanciang!” “ Kamu ini seperti orang kampungan saja. Dari tadi sibuk dengan HP baru. Seperti monyet dikasih bunga. Membuat saya iri saja kamu sialan!”.
Pembahasan selanjutnya ialah konotasi bahasa “caruik”. Konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seorang ketika berhadapan dengan sebuah kata.
Konotasi sering dipahami sebagai makna yang ditambahkan pada makna denotasi. Denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif.
Dalam beberapa kata bahasa “caruik” Minangkabau itu terdapat konotasi yang unik walaupun mempunyai makna yang sama. Seperti yang diketahui sendiri, bahwasannya bahasa itu beragam. Begitu pula dengan bahasa”caruik” Minangkabau yang memiliki beragam kata dan makna tergantung pola dan kebiasaan masyarakat di suatu wilayah.
Ada sebuah contoh kosakata yang berbeda namun mempunyai makna yang sama tetapi bernilai rasa yang berbeda. Kata dalam bahasa “caruik” seperti “pantek” dan “kanciang”. Pada kata “pantek” mempunyai nilai rasa yang ‘tinggi’ sedangkan “kanciang” mempunyai nilai rasa yang lebih ‘rendah’ dari kata “pantek”.
Padahal kedua kata tersebut mempunyai makna denotasi yang sama yaitu “sialan” tetapi dewasa ini kedua kata itu mempunyai nilai rasa yang berbeda.
Kebanyakan dari kosakata yang dipakai dalam bahasa “caruik” Minangkabau itu memakai nama hewan seperti “anjiang”, “baruak gadang”, “babi” dan sebagainya. Bila dilihat secara makna yang diungkapkan, konotasi kata-kata tersebut bukan berarti mengatakan orang tersebut “anjiang”, “baruak gadang”, “babi” dan sebagainya itu tetapi berarti sebagai makna tambahan yang melambangkan orang yang dituju. Namun ada kalanya jika itu hanya sebatas lelucon belaka tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi sifat manusia untuk selalu memperhalus pemakaian bahasa seperti kata-kata pada bahasa “caruik” Minangkabau di atas.
Oleh karena itu, usahakanlah membentuk kata atau istilah baru untuk mengganti kata atau istilah yang dianggap sebagian besar orang berkonotasi negatif. Sehingga budaya dalam bertutur kata kita dapat dipahami secara halus sebab tidak samua istilah bahasa “caruik” dimengerti oleh orang Minangkabau. (*)